Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Tuesday, May 31, 2005

Bab 10 HARDI

Aku tak pernah menyangka keputusan malam itu akan mempengaruhi aku seumur hidupku. Hanya karena godaan sepiring steak, aku telah membawa diriku ke dalam sebuah pusaran air. Pusaran air yang akan menyedot diriku hingga aku sesak nafas.

Semestinya aku berpikir lebih jernih. Berpikir lebih jauh. Peraturan pembatasan relasi klien dan konselor bukanlah sesuatu yang dibuat begitu saja. Peraturan itu dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kedekatan pribadi selalu bisa menimbulkan ekses-ekses yang tidak diinginkan. Seorang konselor bisa kehilangan kejernihan pikirannya bila ia terlibat terlalu dalam secara emosional. Ia bisa ikut sedih akibat berempati terlalu dalam. Hal seperti bukanlah sesuatu yang diinginkan. Konselor harus bisa tetap berpikiran jernih, apa pun petaka yang dihadapi kliennya. Ia harus menjadi cermin yang bersih bagi kliennya. Sebagai cermin ia harus berdiri netral, tidak memihak. Klien yang terlalu dekat dengan konselor juga bisa terlalu tergantung. Semacam candu. Candu psikologis. Tatkala ia dengan konselornya ia merasa nyaman, dan untuk itu ia akan berusaha terus dekat dengan konselornya. Hal ini menciptakan ketergantungan, yang bukannya menyembuhkan, melainkan menciptakan penyakit baru. Untuk kasus ekstrim ia malah menolak untuk sembuh karena bila ia sembuh, konselingnya akan selesai, dan ia tidak ada kesempatan lagi untuk bertemu dengan konselor “kesayangannya”. Jelas bukan, bahwa bila batas ini dilanggar, akan merugikan kedua belah pihak.

Seharusnya aku berpikir sejauh ini, sebelum aku menerima tawarannya. Ini baru aku sadari berbulan-bulan sesudahnya, tatkala aku sudah masuk terlalu dalam, tatkala sudah terlambat untuk menarik diri. Seperti sebuah panah yang masuk ke dalam daging, yang apa bila dicabut malah akan menyebabkan perdarahan yang berakhir dengan kematian saat itu juga.
Aku telah memasukkan diriku ke dalam sebuah dunia tanpa pilihan hanya demi sepiring steak!

Bab 9 HARDI & DWINA

Malam minggu, malam yang panjang, kata orang. Kata orang kurang kerjaan lebih tepatnya. Bagi orang yang banyak aktivitas tidak ada malam yang terlalu panjang. Kalau bisa satu hari dibuat lebih dari dua puluh empat jam. Kalau bisa malamnya yang diperpanjang, biar bisa untuk istirahat. Siangnya cukup dua belas jam, malamnya diperpanjang menjadi dua puluh empat jam, total tiga puluh enam jam. Kalau siangnya juga diperpanjang dua kali lipat bisa berabe, jam kerja atau kuliah bisa panjang sekali. Yang kita butuhkan adalah malam yang panjang. Untuk tidur untuknya, dan untuk ngerjain pe er, terutama pe er termo.

Malam minggu, seperti biasa aku di sini. Malam minggu biasanya agak sepi, kalau tidak mau dibilang sepi sekali. Mengharap klien seperti adegan menunggu godot. Ayo tahu tidak godot itu apa? Pokoknya begitulah. Dan bukan hanya klien yang sepi. Konselor pun sepi. Hampir pasti setiap malam minggu hanya aku sendiri di sini. Konselor yang lain “punya kerjaan”. Kesepian ini bagi beberapa orang mungkin kedengarannya menyedihkan. Bagiku malah menyenangkan! Inilah malam kebebasanku! Malam di mana aku bebas mengerjakan apa saja, tanpa takut bangun telat besok karena kuliah pagi.

Malam ini aku membawa sebuah novel sebagai teman. Novelnya Sydney Seldon, lumayan untuk teman menghabiskan waktu, plus ditemani secangkir kopi, dan duduk selonjor di sofa yang empuk. Dan sofanya bukan sembarang sofa, melainkan sofa yang tipe reclining-seat. Wuah, nikmatnya malam mingguan di sini.

Tak terasa empat jam sudah berlalu begitu saja. Kopi sudah habis tiga gelas. Sebentar lagi aku sudah harus pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 9:14. Telepon sebelahku berdering.
“Biro Konsultasi BIRU, ada yang bisa kami bantu?” jawabku otomatis setelah mengangkat gagang telepon.
“Ini Dwina,” ia berhenti sejenak, “Mas Hardinya ada?”
“Saya sendiri. Kok tumben kamu nelpon?”
“Iya lagi bete nih.” Katanya sih bete tapi nada suaranya tidak menunjukkan tanda bete sedikit pun. Wah lagi bohong nih anak.
“Bete yang mana nih?” tanyaku asal.
“Emang ada berapa jenis bete?” sahutnya cepat.
“Yang pertama bosan total, yang kedua butuh tatih-tayang, yang ketiga birahi tinggi…”
“Asal…”
“Kok bete, habis malam mingguan mestinya kan ceria. Lagi pula masak jam segini udah bubaran malam mingguannya, kan masih pagi.”
“Hei, terserah gue dong pengen bubaran jam berapa?” suaranya mulai menaik.
Tiba-tiba terbersik keinginanku untuk membalas dendam.
“Kamu kalau bete kok nelpon ke sini. Cowokmu dikemanain?”
Sejenak ia diam, hanya terdengar nada diam di telepon. Mungkin aku telah menyinggungnya. Sedikit menyesal juga, bagaimana pun aku adalah seorang konselor. Kupikir aku telah melangggar batas. Harus kukembalikan lagi ke batas semula dengan segera.
“Ya, sudah, aku cuma bercanda kok. Ada apa Dwina?”
Ia masih diam.
Tak lama disusul isak tangis.
Kubiarkan ia menangis.
“Dwina aku di sini untuk mendengarkanmu…” suaraku langsung berubah menjadi rendah.
Aku langsung merasa kasihan. Tidak semestinya aku punya keinginan membalas, bagaimanapun ia adalah klienku, seorang yang harus kubantu.

Ada sekitar satu menit ia menangis.
“Mas Hardi…” suaranya melembut di sela isak tangisnya.
“Ya….”
“Ia nggak datang hari ini. Entah ke mana. Ngasih kabar juga tidak. Dan ini bukan yang pertama, ini sudah yang kesekian kalinya.”
“Hmm…”
Diam lagi. Ia butuh waktu. Kuberikan waktu itu untuknya.
“Aku sebenarnya nggak tahan lagi sama dia.”
“Ya, aku mengerti…”
“Aku menelepon ke sini, sebenarnya karena aku ingin ngobrol.”
“Ya…”
“Aku kesepian.”

Dilema buatku. Aku yang sekarang terdiam. Kami tidak seharusnya bertemu dengan klien di luar jam kantor, dan bertemu di luar kantor. Nampaknya pembicaraan ini mengarah ke sana.
“Kamu bisa bicara di telepon. Aku masih tetap di sini. Nggak apa-apa kok, mesti sudah lewat jam kantor.”
Kupikir jawabanku cukup bijak. Aku memberi kesempatan ia untuk curhat tanpa harus bertemu di suatu tempat dengannya. Aku masih ingin memberi jarak antara klien dan konselor. Bila batas itu ditembus ceritanya bisa berabe.
“Kita nggak bisa ketemu malam ini?” katanya sedikit berharap.
Pertanyaan yang sudah kuduga. Sekarang bola kembali dilemparkan ke aku. Bagaimana aku harus menjawabnya tanpa membuat ia tersinggung?
“Dwina, sebaiknya tidak. Kami terikat peraturan tidak boleh bertemu dengan klien di luar kantor.”
“Pertemuan biasa saja kok. Aku janji nggak curhat.”
“Dwina…”
“Aku janji tidak menangis lagi.”
“Dwina, aku tidak bisa.”
“Please…, aku butuh teman malam ini.”

I’m speechless. Aku benar-benar tidak tahu mau bilang apa. Di satu pihak aku kasihan padanya. Di pihak lain aku sadar kalau garis ini aku lalui konsekuensi bisa jadi besar di kemudian hari.
“Apa benar-benar harus malam ini?” tanyaku masih mencoba menghindar.
Pertahananku kelihatan sudah sedikit goyah.
“Ya dong, betenya kan sekarang, kalau besok nggak bete lagi.”
Kelihatannya ia sudah mencium goyahnya pertahananku.
“Bagaimana ya?” jawabku kebingungan sambil mencoba mengulur waktu.
“Aku traktir steak deh, terus aku ajarin ngebedain sirloin dengan tenderloin,” nadanya semakin berharap.

Tergoda juga aku mendengar kata “traktir”. Makan-makan adalah kata yang sensitif untuk seorang mahasiswa yang kirimannya pas-pasan seperti aku ini. Kelihatannya, ia sudah menyerang tepat pada sasarannya. Ah, what the hell, lah! Makan-makan nomor satu!

“Iya, deh...,” suaraku lemah seperti orang kalah.
“Asyik, aku tunggu di Cilaki yah!” suaranya berubah menjadi ceria, seakan melupakan bahwa beberapa menit yang lalu ia baru menangis. Ia memang bagaikan cuaca di musim pancaroba. Kadang panas, kadang hujan.
“Ya, aku berangkat sekarang.”

Bab 8 DWINA

Asyik juga tadi, bisa nyela tanpa balas dicela. Sudah lama aku tidak menemukan keasyikan seperti tadi. Terutama sejak setahun terakhir ini. Dulu aku dengan Steve juga begitu. Aku bisa nyela dia tanpa menjadi marahan. Apakah itu semua karena kami baru jadian, jadi masih saling menahan diri? Belakangan ini setiap argumen sekecil apa pun sudah cukup untuk menyulut sebuah perang mulut berkepanjangan, dan biasanya hanya berakhir dengan satu hal, air mataku. Mungkin di sini aku bisa mendapat sebuah oasis, sebuah tempat persinggahan dari segala beban hidupku. Meskipun kami belum terlalu kenal, aku bisa bercanda akrab dengannya tanpa prasangka sedikit pun, dan tidak perlu takut ia marah. Sepertinya orang seperti Mas Hardi bisa dijadikan sahabat.

O ya, aku tahu, aku harus mengajak Hardi makan steak. Anaknya sih asyik, cuma sayangnya kurang gaul. Biar dia tahu bedanya sirloin dengan tenderloin, T-bone dengan rib. Tuh anak cuma makannya di warung padang kayaknya. Kalau harus nraktir juga nggak apa-apa. Hitung-hitung bayar biaya konsultasi, soalnya bironya gratis. Kuajak ke mana yah? Mungkin sebaiknya ke Cilaki. Harganya murah, terjangkau kantongku.

Tapi kalau ketahuan Steve bagaimana yah? Ini bisa menyulut pertengkaran lagi. Huh, gimana nanti sajalah. Pokoknya aku mau enjoy. Lagi pula aku belum balas dendam karena ia kemarin jalan bareng dengan Vero. Kenapa ia boleh jalan dengan cewek lain sedangkan aku tidak boleh? Lagi pula ia kan cuma konselorku. Di antara kami memang tidak ada apa-apa kok. Lagian, siapa juga yang bisa naksir dengan cowok tipe kayak Hardi. Tampang pas-pasan kalau nggak mau dibilang jelek. Memang sih, ada manisnya, tapi cuma dikiiiiit. Perlu ditambah lagi gula satu ton.
Pokoknya aku mesti berhasil ngajak cowok nggak gaul itu jalan bareng. Dan hasilnya, lihat saja nanti!

Bab 7 HARDI

Semalaman aku masih kesal memikirkan apa yang terjadi tadi. Kenapa sih aku bisa lepas kontrol. Bukankah biasanya aku bisa selalu tenang dan berpikir jernih. Apa benar kata Maria kalau kali ini aku kena batunya. Mungkin juga. Aku benar-benar penasaran, apa yang membuat aku kesal setengah mati dengan dia. Aku benar-benar dibuat tidak bisa tidur karenanya. Siapa sih dia, sampai menyedot porsi pikirinku melebihi pe er termo.

Buru-buru tadi aku pulang ke rumah supaya tidak ketinggalan nonton X-Files. Tapi sesi tadi bersama Dwina benar-benar mematikan seleraku. Meskipun di depan mata tertayang film kesukaanku, pikiranku melayang entah ke mana. Cercahan kekesalan terlintas terus dalam benakku. Remote TV yang tidak bersalah sebetulnya sudah mendapat giliran pertama, kubanting hingga tutup baterenya lepas. Untung saja aku miskin, kalau tidak TV-ku sudah kupecahkan tabungnya dengan lemparan sepatu. Seluruh dunia seakan menyinggungku, hingga daun pintu pun bersalah.

Akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata, karena nampaknya tidak ada gunanya kulanjutkan aktivitas hari ini. Aku telah kehilangan konsentrasi seluruhnya. Dan dialah yang telah mengambilnya seluruhnya. She has ruined all my day. Aku akan berpikir panjang nampaknya untuk menerima dia lagi dalam sesi berikutnya. Masalah ini harus kujelaskan dengan koordinator, dan tentunya sebelumnya dengan Maria, “kakakku”.

Tidur, hayo tidur. Sudahlah hari ini, besok aku harus pulih. Untungnya aku punya kelebihan. Aku tidak punya masalah tidur, seberat apa pun masalah yang kuhadapi. Obat tidur adalah bahan tertawaan bagiku. Mungkin tipe seperti aku ini yang disebut light-sleeper, bahasa indonesianya pelor, nempel-molor. Well, selamat malam, selamat tinggal hari ini yang kejam.

Bab 6 HARDI & DWINA

Rabu ini adalah Rabu depan, satu minggu setelah pertemuanku yang pertama dengan Dwina. Gimana kabarnya anak itu. Tapi sesungguhnya aku tidak benar-benar memikirkan dia. Lagi pula tidak ada yang istimewa dalam dirinya. Saat ini dia hanyalah seorang klien baru yang menarik rasa penasaranku saja, dan biasanya rasa penasaran itu hilang setelah pertemuan ke empat atau ke lima. Kalau boleh jujur, pikiranku lebih termakan oleh episode X-Files malam ini, yang merupakan kelanjutan dari minggu lalu. Ya, aku lebih memikirkan hubungan Mulder dengan Scully. Sungguh menarik untuk menduga-duga apakah mereka saling menyukai satu sama lain, sementara mereka saling bersedia mengorbankan nyawa satu sama lain. Adakah cinta di antara mereka? Dapatkah rekan berlainan jenis dapat begitu saling melindungi tanpa sedikit pun rasa cinta di hati? Betulkah cinta platonik itu memang ada? Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang di telingaku, dan nampaknya juga di telinga semua penggemar serial ini.

Hari ini aku tidak sendirian bertugas, aku berdua dengan partnerku Maria. Maria, seperti nama suster dalam sebuah lagu lama. Kadang kupikir ia memang mirip suster, kendati ia kuliah di jurusan farmasi. Ia hanya setahun di atasku. Meskipun demikian aku kerap menganggapnya seperti kakakku sendiri, seperti kakak kandung yang memang tidak kumiliki. Kami akrab begitu kali pertama bertemu. Dan persahabatan kami pun berlanjut sampai saat ini. Lagi pula ia yang merekrutku untuk bekerja di biro ini.

“Mbak Maria, mau kubuatkan teh atau kopi?”
Nampak ia tidak begitu konsen dengan ucapanku karena mata dan pikirannya sedang tersedot ke dalam layar kaca. Sinetron kesayangannya sedang diputar. Sinetron, satu-satunya jurang pemisah di antara kami, ia pecinta, aku pembenci. Di luar itu kami klop habis.
“Teh atau kopi, Mbak?” kataku setengah berteriak.
“Eh, teh manis,” katanya singkat seolah tak ingin melepaskan sedikit pun konsentrasinya.
Padahal ia sering kucela, nonton sebulan sekali pun nggak apa-apa, karena cerita begitu-begitu saja, gampang ditebak. Paling ia merengut mendengar ujarku dan menggerutu, kalau nggak suka nggak usah nonton. Aku biasanya hanya tertawa-tertawa saja, menikmati pertengkaran kecil kami yang memang tidak pernah kami masukkan ke dalam hati.

Biasanya ia yang selalu menyeduhkan teh atau kopi untukku, dan malam ini adalah malam tidak biasanya, alias malam acara nonton sinetron kesayangannya. Bukan berarti bias jender kalau ia selalu menyeduhkan teh atau kopi untukku, melainkan karena buatannya memang lebih enak. Aku memang selalu menikmati seduhannya, nasgitel, panas legit kentel, sesuatu yang tidak kutemui di tanah kelahiranku.

“Mbak ada klien,” interupsiku sambil membawakan teh manis untuknya.
“Udah, kamu saja, lagi seru nih.”
“Ya sudah, aku ke ruang konseling ya.”
Ia tidak menjawab.

Hmm, Dwina rupanya. Ia memang berjanji untuk datang seminggu lagi, tapi aku terus terang tidak berharap banyak. Klien masalah cinta biasanya tidak konsisten. Mereka kalau datang kalau sedang ada masalah saja. Kalau sedang asyik-asyik saja, mana mungkin ia ingat dengan kami. Ini menambahkan satu lagi alasan bagiku untuk rada malas menerima klien masalah cinta.

“Selamat malam Dwina,” sapaku kepadanya sok resmi.
Ia sudah duduk di sofa, sepertinya ia dipersilahkan masuk langsung oleh Pak Joko, satpam kami, karena memang belum ada klien lain yang datang.
“Malam juga,” jawabnya singkat.
“Gimana seminggu ini,” kataku sambil duduk di kursi singgasanaku.
“Capek, ngeladenin dosen rese.”
“Sama dong.”
“Apa boleh buat, dikerjaiin dosen, kalau enggak, bisa tidak lulus-lulus.”
“Kamu enak, udah mau lulus, aku sih belum jelas.”
“Enakan kamu dong, masih nyantai.”
Jadi ngelantur ngobrolnya, harus cepat kubelokkan sebelum lebih ngelantur lagi.
“OK, gimana ceritanya malam mingguan kamu.”
Dia diam sejenak, seakan menyusun skenario dulu di kepalanya.
“Biasa aja.”
“Yang biasa gimana?”
“Ya biasa, kayak orang pacaran biasanya,” katanya sedikit defense.
Biasanya gimana, gerutuku dalam hati, sudah seperlima abad aku hidup aku memang belum pernah pacaran.
“Emangnya orang pacaran itu gimana sih?”
“Ya sayang-sayangan,” katanya mulai ketus kehilangan kesabaran.
Meskipun aku nggak pernah pacaran bukan berarti aku begok soal beginian. Mungkin yang dimaksudnya adalah making out, sebuah istilah yang nggak ada padanan bahasa Indonesianya. Aku hanya ingin memastikan model pacaran seperti apa yang dijalaninya.
“Kalau begitu nggak ada masalah, dong.”
“Bukan begitu ceritanya. Kalau lagi baik ya baik, kalau lagi bertengkar ya bertengkar.”
“Bukannya memang begitu, setiap relasi kan ada pasang surutnya.”
“Ya, kalau lagi bertengkar, sakitnya luar biasa,” katanya sedikit lirih.
Kudiamkan ia sebentar, seraya membenarkan sandaran kursiku.
“Jadi kesimpulannya malam mingguan kemarin tidak bertengkar.”
“Ya. Kebetulan saja lagi baik.”
“Kok nada suaramu kedengarannya sedikit kurang senang,” tanyaku menyelidik.
“Masih kesel sama dosen pembimbing.”
“O…,” dengan mulut monyong agak dibuat-buat.


Diam, tembok itu muncul lagi. Memang yang seperti ini biasanya membutuhkan waktu. Orang yang mempunyai masalah dengan keluarganya sendirinya biasanya lebih mudah kuruntuhkan temboknya. Spesialisasiku memang disitu sih. Tapi yang ini terus terang aku tidak ahli. Kubiarkan saja waktu yang menyelesaikannya, dan terutama sekali aku butuh waktu untuk mendapatkan kepercayaannya.

“Coba ceritakan tentang skripsimu,” aku menjalankan strategi diversi, mencoba mengalihkan perhatian sambil mencoba memperoleh rasa percayanya kepadaku.
“Akuntansi manajemen sebagai penunjang pengambilan keputusan di bla…bla…,” kupingku langsung sakit mendengar kata akuntansi.
“Wow, tidak usah sedetil itu, aku tidak paham akuntansi.”
“Katanya minta cerita.”
“Ceritakan bagaimana kamu menjalaninya.”
“Ya begitu, ngumpulin data, diolah secara statistik, dan bla…bla…,” lagi-lagi ujaran teknis yang aku tidak mengerti sama sekali.
“Kamu menikmatinya?” mudah-mudahan ini pertanyaan pancingan yang tepat.
“Sebetulnya ya, asalkan dosen pembimbingku tidak se-strict itu.”
“Baguslah kalau kau menikmatinya. Apa kau memang menyukai bidang akuntansi?”
“Memang dari dulu aku sudah menyukainya. Aku memang senang dengan angka, dari dulu matematikaku selalu dapat bagus.”

Smart-alecky, alias sok pintar pikirku. Belum ketemu integral vektor dan elemen hingga kamu, kalau ketemu baru teriak-teriak gelagapan. Hei, tegurku pada diriku sendiri, tidak boleh membuat praduga, gali sedalam-dalamnya tanpa membuat penilaian awal.
“Dari dulu cita-citamu memang menjadi akuntan?”
“Ya, kupikir setelah lulus aku bisa kerja di salah satu firma.”
Lagi-lagi over-confident. Lama-lama menyebalkan juga nih anak.
“Kamu berniat jadi wanita karir?”
“Aku tidak boleh tergantung dengan lelaki secara finansial. Bisa diinjak-injak suamiku nanti, kalau aku tidak punya penghasilan sendiri.”
Untuk hal ini aku seratus persen setuju dengan dia. Lagi pula tidak jamannya lagi perempuan hanya tinggal di rumah, apalagi yang model kayak di depanku ini.
“Bagus untukmu. Kamu sudah bisa berpikir untuk mandiri semenjak dini. Tidak semua perempuan punya keberanian untuk mengambil keputusan seperti dirimu. Mereka masih merasa dirinya inferior terhadap lelaki. Kodrat katanya, go to hell with kodrat,” kataku seraya mencoba mencari dukungan darinya.
“Benar itu, satu-satunya kodrat yang tidak bisa dihindari cuma datang haid setiap bulan, dan melahirkan serta menyusui.”
Feminis sejati rupanya nona kita yang satu ini. Aku akan mencoba berpihak kepadanya untuk memperoleh kepercayaannya lebih jauh.
“Kalau ingin menjadi akuntan fisikmu harus kuat lho, kerjanya kayak kerja rodi di saat tutup buku.”
“Aku pernah belajar silat, dan kondisiku …, uhk…uhk…,” tiba-tiba ia batuk berkepanjangan tanpa sebab. Cepat-cepat aku ambilkan air putih dari dispenser di sebelahku dan segera keberikan kepadanya.
“Kamu sedang sakit?” tanyaku setelah batuknya reda.
“Ah, tidak apa-apa kok, keselek aja.”
“Makanya ngomongnya agak direm yah. O ya, kayaknya kamu butuh minyak rem nih, kopi atau teh?”
“Kopi aja, jangan terlalu manis,” katanya dengan sedikit serak.
“Iya sudah tahu, nanti kubawakan cermin, supaya kalau kurang manis lihat mukamu sendiri.”
Senyumnya mengembang dengan indah, meskipun dengan sedikit meringis masih menahan batuk. Duh manisnya. Jadi pengen punya yang kayak begini di kos-an. Wah, jadi liar deh imajinasiku, harus segera ku-cut sebelum berkembang kemana-mana.

Setelah aku siap dengan dua cangkir kopi, satu untukku dan satu untuknya, ia kelihatan sudah lebih tenang.
“Nggak batuk lagi kan?”
“Iya,” suaranya masih sedikit menyisakan serak dari batuk tadi. Parah sekali batuknya tadi sampai aku sedikit panik. Masih terlihat sedikit air mata di sudut matanya.
“OK, kamu jangan kebanyakan ngomong deh kayaknya. Istirahat dulu,” kataku sambil senyum untuk menghiburnya sedikit.
Ia menyeruput kopi yang kusuguhkan untuknya sedikit demi sedikit. Kuperhatikan dia dari sudut mataku. Mungkin sesi malam ini harus kusudahi, dan kututup dengan obrolan ringan saja.
“Sudah baikan.”
“Sudah, thanks ya, kopinya enak sekali.”
“Oh, di sini aku ahlinya menyeduh kopi.” Belum tahu dia kopi buatan Mbak Maria yang berapa kali lipat lebih nikmat dari buatanku. I can take the credit once in a while.

Sambil ia masih menyeruput kopi, terus kuperhatikan wajahnya. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Terbersit sedikit kesedihan. Matanya seperti menerawang. Nampaknya memang ada hal lain yang belum diceritakannya. Kupikir aku tidak boleh terlalu memburunya. Aku harus melangkah hati-hati sekali.

“Kamu suka nongkrong di kafe jalanan?” Kafe jalanan memang sedang ngetren semenjak krisis ekonomi beberapa bulan yang lalu.
“Ya, biasanya bersama Steve.” Tentu saja, goblok sekali aku.
“Biasanya mesen apa?”
“Steak, aku suka tenderloin.”
“Kalau aku nggak bisa ngebedain sirloin dengan tenderloin. Aku cuma bisa ngebedain steak dengan rendang.”
“Dasar, selera kampung. Tenderloin lebih lembut dari sirloin.”
“O, begitu,” kataku sok bego.
“Lain kali kuajak kamu deh biar ngerasain makanan orang kota.”
Wah, bisa ditindak atasan aku karena melewati batasan antara konselor dan klien. Tapi untuk menjaga perasaannya kuiyakan saja dulu, urusannya nanti belakangan.
“Tapi kamu yang traktir yah,” jawabku seenaknya.
“Enak aja. Lagi pula murah kok, cuma belasan ribuan, terjangkau sama kantong mahasiswa.”
“Ya, kita lihat saja nanti, kalau sempat.”
“Seleramu memang perlu di-upgrade. Biar nggak malu-maluin.”
Nyebelin juga cewek satu ini, sok tahunya keluar lagi. Kalau ia bukan klienku pasti sudah kubalas.

“Gimana, ada lagi yang mau kamu ceritakan?”
“Kayaknya segitu aja dulu deh, lumayan juga ada yang bisa dicela. Hitung-hitung menghilangkan kesal karena dosen rese satu itu.”
O, jadi begitu yah. Aku ini cuma jadi tong sampah untuk menumpahkan kekesalannya.
“Sampai jumpa lagi kalau begitu. Selamat malam,” sapaku sambil bangun dan mempersilahkannya ke pintu keluar.
“Mas Hardi ada minggu depan?”
Ingin sekali aku menjawab kalau aku tidak jaga minggu depan. Lagi pula aku bisa minta tukar jadwal dengan temanku.
“Ya,” mulut usilku terlanjur berbicara.
“Kalau begitu aku ke sini lagi minggu depan, lumayan ada teman berbicara.”
“Silahkan, kalau aku ternyata tidak ada pasti ada temanku yang lain yang jaga.”
“Nggak ah, enakan dengan Mas Hardi saja. Enak, bisa dicela dan nggak marah,” katanya sambil tersenyum simpul.
Sialan juga nih cewek. Aku diam saja sambil sedikit tersenyum meringis menahan kesal.
“Dah… see you next week!” serunya dengan ceria.

Kulambaikan sedikit tanganku tanpa berkata apa-apa. Segera aku masuk ke ruang santai tempat Maria sedang nonton tivi dengan mengambil nafas panjang. Sinetronnya sudah selesai.
“Ada apa, klien sialan lagi.” Seharusnya kami tidak boleh menyebut sialan terhadap klien, tapi ini sudah menjadi rahasia kami berdua, sekedar untuk menumpahkan kekesalan kalau ada klien yang agak mengganggu.
“Iya nih, klien sok tahu. Aku jadi sedikit pura-pura bego.”
“Ha…ha…, bukannya kamu bego betulan.”
“Enak, aja! Kalau aku bego jangan minta diajarin kalkulus lagi yah.”
“Gitu aja kok sewot.”
“Habis ia betul-betul nyebelin sih Mbak. Sok tahunya itu nggak ketulungan. Sok pintar. Ingin sekali kukerjain, sudah gatel rasanya.”
“Tumben kamu sewot, bukannya kamu biasanya paling sabar menghadapi klien. Kemarin ibu yang cerewet itu kamu hadapi dengan tenang sekali.”
“Mbak kan tahu aku paling males menghadapi masalah cinta.”
“O, jadi tadi kamu jadi dokter cinta. Nggak pernah punya pacar kok jadi dokter cinta.”
“Hei, nggak harus pernah jantungan untuk jadi dokter jantung!” debatku.
“Ya sudah. Cuma mbak heran saja, soalnya kamu biasanya cukup tenang. Pasti ada yang mengganggu pikirinmu.”

Aku diam sejenak. Iya juga sih, mungkin karena egoku sempat terinvasi tadi. Ah, kupikir tidak juga, aku pernah menghadapi bapak-bapak yang lebih sok pintar tapi aku masih tenang-tenang saja. Apakah aku bereaksi seperti karena ada sesuatu di alam bawah sadarku? Entahlah.
“Entahlah mbak, kesel saja rasanya.”
“Ya sudah. Cerita saja sama mbak, ayo, keluarin aja semua.”
“Anak itu sepertinya suka merendahkan orang lain.”
“Sebentar, mbak potong dulu. Namanya siapa.”
“Dwina.”
“Nama yang manis, orangnya manis nggak?”
“Nggak, jelek!” kataku seenaknya.
“Coba dipikir dulu, manis apa jelek?” katanya menggodaku.
“Mbak, serius nih. Ia menganggap aku anak kampung, ingin sekali aku langsung mengeluarkan KTM-ku untuk menunjukkan kalau aku kuliah di kampus paling terkemuka di negeri ini.”
“Biarkan saja. Toh IP-mu jeblok juga kan.”
“C di kita sama dengan A di kampus lain.”
“Sepertinya ada yang lain yang kamu rasakan.”
Mbak Maria memang paling tahu perasaanku, lebih dari aku sendiri. Memang ada sesuatu yang membuat aku kesal, yang aku tidak bisa jawab.
“Entahlah mbak.”
“Kamu biasanya kan nggak pernah tersinggung dikatain goblok. Pasti ada apa-apa nih. Kamu ingin tampil beda di depan dia yah?”
“Ngapain juga tampil beda.”
“You wanna try to impress her.”
“Hmm…,” aku cuma mampu menggumam. Ada benarnya juga kupikir. Tapi tetap saja pertanyaanku belum terjawab sepenuhnya. Kenapa aku punya keinginan seperti itu?
“Biasanya kamu selalu bisa pegang kendali. Nampaknya kali ini kamu kena batunya. Hati-hati, permainan kali ini bisa lepas kontrol.”
“Iya mbak, aku harus mawas diri,” ujarku membatin.
“Ada klien baru tuh, biar mbak saja. Kamu endapkan betul apa yang terjadi barusan.”

Maria melangkah ke ruang konseling meninggalkanku yang masih penuh dengan pikiranku sendiri.

Bab 5 DWINA

Macet sekali hari ini, gara-gara aku sedikit terlambat bangun, harus dibayar dengan setengah jam terlambat. Kenapa sih angkot-angkot itu nggak pernah bisa tertib, kan sedikit banyak bisa mengurangi kemacetan. Jakarta mungkin macet karena kebanyakan mobil pribadi, tapi Bandung karena kebanyakan angkot. Mungkin cuma kalah sedikit dibandingkan dengan Bogor. Pokoknya bagaimana pun, aku terlambat untuk asistensi hari ini!

Jamku menunjukkan pukul 9.36, seharusnya aku tiba setengah jam yang lalu, dan dosenku yang satu ini lulusan Jerman dan disiplinnya juga disiplin Jerman. Alamat aku tidak akan diterima masuk ke dalam kantornya.

Kuketuk pintu kantornya perlahan, lalu masuk tanpa permisi seperti yang biasa kulakukan sebelumnya.
Tanpa nada marah ia menyapaku, “Kau tentunya tahu jam berapa sekarang.”
“Di jalan macet banget, Pak.”
“Kau tentunya tahu aku tidak akan menyediakan waktu karena engkau datang terlambat.”
“Tapi saya bukannya sengaja datang terlambat,” kataku tak kalah sengit.
“Sudah pernah kukatakan, datanglah selalu lebih awal, engkau tidak akan tahu apa yang terjadi di jalanan,” katanya tetap dengan suara yang tenang.
“Yang penting kan niatnya, Pak.”
“Ini yang kedua kalinya, keledai saja tidak pernah jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.”
“Tapi kan saya bukan keledai Pak,” aku masih tak mau mengalah.
“Aku hargai keberanian dan persistensimu. Namun bagaimanapun aku sudah berkata, kalau kau terlambat, kau tidak bisa asistensi, dan kita sama-sama setuju. Kau harus membuat janji lagi.”
“Saya sudah kepepet Pak, bisa nggak kekejar wisuda kali ini.”
“Kamu sendiri yang menentukan, bukan aku.”
“Tolonglah Pak,” kataku mulai memelas.
“Aku ada waktu besok pukul tujuh sampai sembilan, jangan terlambat lagi.”
“Waduh pagi sekali Pak.”
“Take it or leave it, ” katanya tegas.
Well, aku tak ada pilihan lain. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali besok.

Pak Reinhart sebenarnya baik hati, cuma tegasnya itu yang nggak ketulungan. Dan kalau sekali ia telah bersabda, tidak ada koreksi dan akan ditaatinya sampai mati. Lebih tepat kalau namanya ia ganti saja dengan Lionheart, mengikuti Richard the Lionheart. Tapi, seperti kataku, meskipun keras, ia orang yang fair. Ia tidak pernah main belakang. Aku beruntung sebetulnya dapat pembimbing seperti dia.

BAB 4 HARDI

Angin sepoi-sepoi di kampus sungguh meningkatkan semangat hidup (semangat untuk kuliah nanti dulu!). Apalagi di pagi yang cerah seperti ini. Keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang mewah di Bandung. Hampir setiap pagi di Bandung seperti ini. Memang Bandung dari sononya dibangun untuk menjadi sebuah tempat peristirahatan orang Belanda. Apalagi daerah Dago, tempat perumahan mereka yang sampai sekarang masih menjadi tempat kediaman orang-orang kaya. Tapi yah itu, namanya juga kota yang didesain sebagai sebuah tempat peristirahatan, kadang kala aura malas semacam membuai badan sehingga enggan berpikir dan bekerja. Entah hal seperti ini juga dialami oleh Bung Karno dan angkatannya yang dulunya juga kuliah di TH (Technische Hogeschool) ini. Lagi pula Bung Karno semasa mudanya juga anak kos, sama halnya dengan kami-kami ini. Entah siapa yang punya ide gila untuk membangun sebuah sekolah teknik di tempat peristirahatan, yang mestinya lebih cocok dibangun sekolah perhotelan seperti NHI.

“Di!” sebuah seruan membuyarkan lamunanku.
Si Andre, anak sialan itu rupanya. Ia termasuk anak pagi. Cuma sayangnya ia bukan datang pagi karena rajin, melainkan untuk menyalin PR. Rajin juga sih, rajin menyalin! Mungkin kalian terkejut karena kebiasaan menyalin PR itu bukan hanya kebiasaan anak-anak SD, melainkan juga kebiasaan mahasiswa. Lagi pula tidak banyak yang merasa keberatan dengan hal ini, kecuali dosen tentunya! Mahasiswa sejak masuk sudah diajarkan untuk bersolider dengan sesamanya oleh seniornya. Nampaknya mahasiswa mengartikan makna solider ini juga termasuk solider membagi PR dengan teman sekelas. Setahuku tidak ada yang pernah mencoba untuk menjadi mahasiswa “sombong” yang tidak mau membagikan pekerjaannya. “Sombong” sewaktu ujian mungkin, tapi PR, no lah…
“PR Termo udah belum…”
“No 8 belum. Nggak cocok sama kuncinya.”
“Nggak apa-apa,” tanpa basa-basi ia langsung menjambret lembar kertas dari tanganku.
“Liat Johan nggak. Dia pasti bisa.”
“Johan itu pasti telat datangnya. Tenang, nanti kita nyalin di kelas aja, duduk di belakang,” kataku seenaknya.
Andre langsung mencari tempat untuk menyalin dan aku ikut dengannya. Meskipun ia malas tapi sebenarnya otaknya encer, jadi ia bisa diharapkan untuk memeriksa PR-ku sekalian ia menyalin. Jadilah kami berdua duduk, ia menyalin sesekali mengoreksi kerjaanku.
“Kalau aku punya Dora Emon aku pasti minta MESIN PENJAWAB TERMO”, kataku tanpa berpikir.

Ha…Ha… Kami berdua tertawa terbahak-bahak berdua. Anak-anak farmasi yang manis-manis langsung menoleh ke kami, yang tertawa tanpa sebab yang jelas. Kami cuek saja. Itu pemandangan biasa kok. Mahasiswa teknik memang setengah gila, kalau nggak gila beneran.

Bab 3 DWINA

Masih sakit rasanya hati ini karena pertengkaran dengan Steve kemarin. Aku nggak habis pikir, betapa pengecutnya ia. Anak mami. Di depanku ia sangat manis. Kalau aku minta bulan mungkin akan dikabulkannya. Tapi begitu di depan ibunya ia seperti seekor kerbau dicucuk hidung. Semua kejantanannya yang aku kagumi hilang. Padahal kalau ia sedang berduaan denganku, ia selalu berkata bahwa ia berani melawan ibunya. Apakah semua cowok kayak begitu. Setahuku hanya cowok Italia yang begitu. Aku tidak akan bisa merebut tempat perempuan yang paling dicintainya, ibunya. Steve. Bukankah kau selalu berkata kau benci ibumu. Kau benci diperlakukan sebagai anak kecil. Kau pernah cerita betapa malunya engkau karena ibumu pernah mengantarkan susu untukmu ke sekolah untuk kau minum di saat istirahat dan semua anak-anak berteriak, susu mami nih ye… Kau juga pernah cerita bagaimana malunya dirimu karena dibela ibumu saat berantem dengan tetangga sebelah rumahmu. Seminggu engkau harus menanggung malu karena selalu disoraki punya mama Robocop. Tapi kenapa? Kenapa kau selalu bertekuk lutut di depannya. Kalau ia bukan ibumu, pasti aku berpikiran bahwa kau sudah kena pelet. Tapi rasanya tidak mungkin ada ibu yang memelet anaknya sendiri. Berarti hanya ada satu kemungkinan, bahwa kau pengecut! Atau… kau sebenarnya tidak mencintaiku sebesar cintamu pada ibumu. Steve, aku cemburu. Kau hanya milikku. Bukankah laki-laki harus meninggalkan kedua orang tuanya untuk bersatu dengan istrinya. Ah, mungkin semua harus kulupakan dulu. Bisa kacau skripsiku kalau aku harus memikirkanmu. Aku harus ketemu dosen hari ini. Aku harus berangkat sekarang juga.

Bab 2 HARDI

Kubuka kedua mataku perlahan, hari masih gelap rupanya. Kuangkat pergelangan tanganku untuk melihat jam tangan yang selalu kupakai walaupun sedang tidur, seakan aku butuh untuk tahu jam berapa ketika sedang bermimpi. Pukul lima tepat, kulihat dari jarum arloji berfosfor yang memang kubeli untuk keperluan seperti ini, melihat jam tanpa perlu menyalakan lampu. Seperti biasanya malaikat pelindungku selalu membangunkanku tepat pukul lima untuk bisa menghadiri misa pagi di kapel. Aku pun segera bangkit lalu menyambar handuk dan sikat gigi. Sekeluarku dari kamarku, terasa sekali udara masih sangat dingin. Untuk yang tidak biasa mandi pagi, udara seperti ini bisa mengurungkan niat untuk menyentuh air. Sebagai seorang anak kos, tentunya air panas merupakan sebuah kemewahan, karena hanya air dinginlah yang tersedia. Kecuali kalau mau bangun pagi-pagi sekali untuk menjerang air panas. Dan aku termasuk yang lebih baik menjajal air dingin langsung ketimbang harus menjerang air terlebih dahulu. Sudah menjadi hal yang diketahui umum bahwa air dingin hanya dingin pada guyuran pertama. Sesudah itu sebenarnya tidak begitu dingin lagi, apalagi kalau sudah terbiasa setiap hari.

Byur… Segar…!! A nice way to start a new day! Rasa-rasa kantuk yang masih menempel sedikit langsung melayang. Entah kenapa di benakku terbayang sebuah muka. Dwina. Muka yang belum begitu kukenal, tapi entah mengapa mulai menempel. Apakah karena ia cantik? Tidak juga. Menarik? Sedikit mungkin, tapi nggak juga kupikir. Cuma rasanya aku sudah mengenal dia sejak lama. Sebuah perasaan dekat yang tidak bisa dijelaskan. Kalau aku seorang Buddhis pasti aku sudah berpikir bahwa aku pasti sudah mengenalnya di kehidupan sebelumnya. Rasa penasaran bercampur dengan rasa suka (mungkin…). Tanpa sengaja aku tersenyum sendiri. Ah… jadi malu sendiri.

Monday, May 30, 2005

Bab 1 HARDI

Malam itu tidaklah berbeda dengan malam-malam biasanya. Gelap, dengan sedikit penerangan lampu jalan yang sebentar mati sebentar hidup. Sialannya, jalan itu pun cukup sepi dari lalu lintas, sehingga tidak bisa berharap banyak dari penerangan lampu mobil yang lewat. Cukup seram, sebenarnya. Cuma karena aku sudah biasa, makanya dengan cueknya aku berjalan sepanjang jalan itu. Cuaca pun cukup dingin, khas daerah Bandung bagian utara. Dan seperti biasa pula aku memakai jaket kesayanganku yang kumal, yang telah menemaniku sejak aku menjadi mahasiswa. Malam ini giliranku untuk berjaga di biro konsultasi, tempat magang aku sebagai seorang konselor.

Malam itu aku bertugas sendiri karena partner-ku, berhalangan hadir. Maklum, musim mid-test. Agak bosan sebetulnya berjaga sendirian, hanya ditemani TV yang acaranya sinetron melulu, atau paling film Cina ngamuk (film kungfu maksudnya). Aku berharap ada orang yang datang berkonsultasi, biar nggak sepi-sepi amat.

Sambil nonton sembari berkhayal, aku membayangkan ada klien yang datang. Wanita, cantik, putih, rambut ngebob, mirip Winona Ryder. Tampang indo sedikit, pas sesuai dengan seleraku.
Sebelum dia menyapa, kusapa dia duluan, “Selamat malam, mbak, ada yang bisa saya bantu,” sapaan khas yang selalu diucapkan untuk menyambut klien.
“Maaf Mas, mau nanya, ini alamatnya nomor 17 bukan?”
Lah… Cuma numpang lewat nanya alamat. Namanya juga khayalan…

Tak lama berselang ada klien betulan yang masuk. Melihat penampilannya sekilas sepertinya mahasiswa. Semakin mendekat makin jelas rupa dan raut wajahnya. Seorang mahasiswi rupanya, lengkap dengan jaket sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Biasanya kalau klien yang model begini, kalau nggak masalah kuliah pasti masalah cinta. Kalau masalah kuliah, dengan senang hati kubantu. Hitung-hitung ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, pikirku. Kalau masalah cinta, sebenarnya aku agak setengah hati untuk membantunya. Bosan… Masalahnya pasti itu-itu saja. Cowoknya selingkuhlah, dianya sendiri yang selingkuhlah, pokoknya selalu masalah orang ketiga. Paling-paling variasi lainnya hanyalah hubungan yang tidak direstui orang tua, terus backstreet.

Kusapa dia, “Selamat malam, Mbak, ada yang bisa saya bantu.”
Sekilas kutatap raut mukanya. Biasa saja, agak ceria malah. Kulit sawo matang dengan hidung khas Jawa yang agak pesek dan mata sedikit belo tapi cukup menarik. Secara keseluruhan kuberi nilai 6,5, C+.

Dia tidak langsung menjawab, melainkan sedikit terbatuk dulu, seakan membersihkan tenggorokannya lebih dahulu.
“Ini biro konsultasi, ya Mas.”
“Betul,” jawabku, “ada yang bisa saya bantu.” Kuulangi lagi sapaan pertamaku seakan tadi dia tidak menangkapnya.
“Di sini bisa terima konsultasi masalah cinta nggak ya?”
Tuh, kan, cinta lagi, cinta lagi, gerutuku dalam hati.
“Mari silahkan masuk dulu,” kataku dengan ekspresi yang sebenarnya dibuat-buat.
Memang kami telah dilatih untuk mengontrol perasaan pribadi untuk tidak menampilkannya di depan klien.

Kubuka pintu ruangan konsultasi sambil berteriak ke satpam di depan yang kudakwa merangkap resepsionis malam ini, “Pak Joko, nanti kalau ada yang datang suruh tunggu di depan dulu, yah.”
“Ya, den.”
Aku duduk dulu di kursi konselor sambil mempersilahkan ia duduk. Kunci pertama, buat klien serileks mungkin
“Nama saya Hardi,” sambil kuulurkan tanganku, “dengan mbak siapa?”
“Panggil saja Dwina.” “OK, mbak Dwina, santai saja, terserah mau mulai dari mana.”
“Begini mas, hubungan saya tidak direstui orangtua pacar saya.”
Hmm, aku bergumam sambil manggut-manggut.
Lalu ia melanjutkan, “Ibunya nggak setuju ia punya pacar lain suku dan lain agama.”
“Dia suku apa,” tanyaku sekenanya.
“Cina.”
Ah, masih ada saja orang yang mempersoalkan perbedaan suku di jaman kemerdekaan ini.
“Lalu…,” ujarku seraya menunggu jawabannya.
“Sekarang kami tidak lagi diijinkan bertemu. Jadi kami backstreet. Dan hari ini ketahuan sama ibunya, dan kami pun bertengkar hebat karena ia membela ibunya.”
“Maaf saya potong dulu, bisakah Mbak ceritakan latar belakang keluarga Mbak dan juga keluarga dia?”
“Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak saya baru saja menikah dan adik saya baru saja masuk kuliah. Saya sendiri sedang skripsi. Orangtua keduanya di Jakarta dan saya tinggal di asrama mahasiswa. Orangtua dia orang kaya, dan dia anak tunggal sehingga sangat dilindungi. Over-protective. Ibunya nggak ingin belajarnya terganggu. Cuma kupikir sih ibunya memang tidak suka padaku.”
“Jadi kamu anak kedua, yah,” seakan aku benar-benar berminat dengan ceritanya, dan memancing dia untuk bercerita lebih dalam tentang dirinya.
“Ya,” jawabnya singkat.
Ia berhenti sejenak, entah memikirkan apa. Aku pun diam sambil memeluk buku-buku jariku sendiri.

Saat-saat diam seperti ini kadang-kadang bisa bercerita lebih banyak dari kata-kata. Voice of the silence. Cuma butuh kepekaan yang sangat dalam untuk bisa menangkap makna sebuah diam. Aku sendiri belum sampai ke tahap itu, maklum masih belajar, namanya juga magang. Hampir semenit rasanya kami berdiam diri berdua seperti itu. Kuangkat mataku dan kutatap wajahnya untuk menunjukkan rasa percaya diriku. Cuma saja aku tak berani menatap matanya. Aku belum setangguh itu. Menatap mata adalah menatap relung hati yang terdalam. Di sana kau bisa menemukan berlian, atau pun kebalikannya, limbah membusuk yang telah menahun. Aku takut. Takut untuk mengetahui kebenaran. Butuh keberanian yang luar biasa untuk menguak sebuah kebenaran.

Kami yang masih magang memang tidak disarankan tidak untuk masuk terlalu dalam. Bila kami menemukan indikasi-indikasi kasus klinis, kami harus segara meneruskan kasus tersebut ke psikolog beneran. Kami memang hanya berfungsi sebagai pembuka jalan. Memang dibutuhkan ribuan jam terbang untuk profesi seperti ini, seperti halnya juga pilot. Bedanya kalau pilot hanya menghadapi beberapa jenis pesawat. Sedangkan kami menghadapi manusia, yang satu sama lain tidak ada duanya. Semuanya unik. Setiap klien adalah cerita tersendiri.

Melihat bahwa kami menghantam sebuah tembok es, aku berusaha mencairkan suasana.
“Mau minum?” tawarku (bukan basa-basi).
Kelihatannya ia bingung untuk menjawab ya atau tidak.
Sebelum ia menjawab aku sudah berkata, “Kopi atau teh.”
Ini adalah trik. Membatasi pilihan dengan tidak memberi ruang untuk jawaban lain. Dalam beberapa hal memang jelek, namun ini sangat efektif untuk orang yang agak bingung memilih.
“Kopi saja,” jawabnya singkat.
“Tunggu sebentar yah. O ya, mau yang manis?”
“Nggak, saya sendiri sudah cukup manis kok,” katanya sambil agak nyengir.

Hmm, kayaknya tembok esnya sudah mulai mencair. Memang, manis juga ia kalau tersenyum. Sayang, seleraku bukan yang model begini. Huss, nggak boleh naksir sama klien.
Sambil membuat kopi aku mulai memutar otakku mulai menyusun rekonstruksi dari cerita yang ia sampaikan. Anak kedua dari tiga bersaudara. Aku biasa menyebutnya dengan anak-tengah-complex. Anak tengah seperti halnya juga anak sulung, bungsu atau pun tunggal memiliki problematikanya sendiri. Misalnya anak sulung cenderung menjadi control freak. Anak bungsu manja tentunya, sehingga cenderung lambat mandiri. Yang tunggal biasanya lebih parah lagi. Bukan hanya manja, tapi juga sulit bergaul karena memang tidak ada teman bermain di rumah. Anak tengah sendiri cenderung merasa disingkirkan, karena tidak mendapatkan tempat khusus, bukan sulung yang bossy, atau pun bungsu yang dimanja. Semacam anak yang dilupakan. Apalagi kalau adik bungsu yang lahir dengan jarak waktu yang cukup lama, lebih dari lima tahun misalnya. Adiknya yang bungsu sering dianggapnya sebagai perampas hak bungsu yang pernah dimilikinya. Cuma saja setiap orang berbeda-beda. Jadi aku tidak boleh mengambil kesimpulan terlalu dini.

“OK, ini dia kopinya. Kalau kurang manis, bisa ngaca sendiri yah,” kataku tak mau kalah.
Ia nyengir lagi, kali ini terlihat sederetan giginya yang putih bersih dan berkawat. Hmm… Pasang kawat gigi rupanya. Tipikal orang yang memperhatikan penampilan. Dan dari kalangan ekonomi mampu rupanya.
“Kamu memang suka ngopi?” tanyaku sekedarnya, sambil memanfaatkan momen untuk menjalin keakraban.
“Lumayan, terutama kalau ada ujian.”
“Kalau aku sih sudah nggak mempan. Minum kopi terus langsung tidur juga bisa.”
“Udah resisten sama kafein kali.”
“Ya. Tapi aku ada cara yang lebih efektif. Garam. Menghisap uap garam.”
“Ha?” agak terkejut ia nampaknya.
“Nggak percaya, coba saja sendiri. Efektif banget lho.”
“Awas ya kalau bohong.”
“Ngancem nih…”
“He… he…, “ tawanya kecil.
Semakin diperhatikan, imut juga nih anak.
“Nanti deh kubuktikan untuk nonton bola nanti malam.”
“Wah, cewek ada yang suka bola juga yah…”
“Ya dong, bola kan bukan hanya monopoli laki-laki.”
“Klub favoritmu apa.”
“Juventus.”
Klub musuh bebeyutanku. Klub yang paling dibela wasit.
“Pasti kamu cuma ngelihat Del Piero-nya.”
“Ya juga sih. Habis ganteng.”
“Kamu nonton bolanya apa pemainnya.”
“Ya dua-duanya. Emangnya nggak boleh suka ngelihat cowok ganteng. Emangnya cuma cowok yang boleh ngecengin cewek. Emansipasi dong.” katanya sedikit emosi, entah beneran entah dibuat-buat.
“Lho, tapi kan yang penting jago mainnya apa nggak. Biar tampangnya jelek asalkan mainnya OK.”
“Alah, nggak usah munafik lah. Suka nonton tenis cewek kan. Jangan bilang kamu nggak suka Anna Kournikova. Apalagi kalau roknya agak ngangkat waktu mukul bola.”
Wah, diskak mat aku.
“Tapi cowok kan beda. Dari sononya memang udah begitu,” kataku masih mencoba berkelit, padahal sudah jelas aku kalah.
“Dasar cowok,” katanya dengan sedikit melengos.
Agak galak juga rupanya. Nyelekit.
“Cowok kamu begitu nggak,” aku mencoba dengan sedikit manuver untuk kembali ke pembicaraan semula.
“Sama juga sih. Kaummu itu memang susah. Otaknya sepuluh senti di bawah pusar semua.”
Wah, kritis juga nih cewek.
“Tapi suka kan?” kataku asal-asalan, karena aku sendiri sudah kehilangan kata-kata.
Dengan sedikit melengos ia berkata, “Apa boleh buat, kami kaum perempuan tidak bisa memproduksi sperma sendiri. Di luar negeri kayaknya lebih enak deh, bisa ke bank sperma.”
Wah, wanita modern nampaknya. Boleh dibilang aku cukup tertipu dari kesan pertama sewaktu memandangnya. Independent women.
“Kalau begitu tinggalin aja cowokmu. Aku percaya masih banyak cowok yang mau donor sperma untukmu.”
“Andaikan saja bisa begitu. Aku sudah terlanjur sayang sih sama dia,” nada suaranya mulai sedikit turun.
Nampaknya kami mulai memasuki titik yang agak sensitif. Aku nggak boleh main-main lagi, saatnya untuk lebih serius.
“Memangnya sudah berapa lama kamu jalan sama dia?”
“Masuk tahun ketiga,” jawabnya singkat.
“Wah cukup lama juga. Pantas saja kamu sayang banget sama dia.”
“Yah, begitulah. Makanya aku ke sini, siapa tahu bisa ngasih solusi.”
“Kamu kenalan dengan dia di mana?”
“Dia senior satu jurusan, setahun di atasku.”
“Kenalan waktu ospek ya.”
“He eh.”

Dasar senior. Trik kotor yang sudah biasa dimainkan. Trik good boys bad boys. Salah satu dari mereka akan berlaku sebagai bad boy, lalu datanglah seorang lagi yang akan menjadi juru selamat. Anak baru yang polos pun akan merasa diperhatikan dan jatuhlah ia ke tangan senior-senior sialan itu. Ah, aku kayaknya terlalu melebih-lebihkan. Banyak kok dari mereka yang akur-akur saja sampai sekarang. Mungkin aku agak sengit soal ini karena aku memang tidak setuju dengan segala jenis perpeloncoan seperti itu apa pun namanya, ospek, mapram, whatever.

“Den, ada Mbak Maria, tuh di luar,” kata Pak Joko setengah berteriak untuk memastikan bahwa aku mendengarkan kata-katanya.
“Tunggu sebentar ya Dwina, ada temanku di luar mencariku. Paling satu menit kok,” kataku sambil bergegas bangkit dari kursiku.
“Nggak apa-apa. Aku juga sudah mau pulang. Kapan aku bisa datang lagi?”
“Kapan saja,” kataku.
“Tapi ketemu Mas Hardi lagi nggak.”
“Kalau mau ketemu aku, aku pasti di sini hari Rabu dan Sabtu.”
“OK deh aku akan ke sini lagi Rabu depan.”
Tentu saja ia tidak bisa datang Sabtu besok, kan acara malam mingguan. Dan terus terang aku dapat selalu dapat tugas jaga Sabtu juga karena teman-temanku yang lain malam mingguan. Nasib…
“Sampai jumpa minggu depan.”
Begitulah cerita kami bermula. Biasa saja, seperti juga dengan puluhan klien yang kami tangani. Tidak ada yang luar biasa.

Prolog

Alkisah di awal penciptaan, dunia belum mengenal suara. Tiada sunyi, tiada gaduh. Makhluk belum ada yang bertelinga. Tuhan melihat hal ini kurang baik adanya. Maka diciptakanlah dua bersaudara, Sunyi dan Gaduh. Meskipun mereka bersaudara, namun mereka sangat bertolak belakang. Yang satu selalu diam dan menyukai ketenangan, yang lain selalu berisik dan menyukai keributan. Ditempatkanlah mereka berdua di dunia, di tengah tempat tinggal manusia. Mereka sangat menyukai manusia dan manusia pun menyukai mereka. Maka cerahlah dunia dengan suara-suara, dan telinga pun disematkan kepada makhluk untuk menikmatinya. Mereka terkagum-kagum oleh kicau burung, gemericik air, desau angin, dan tertakut-takut oleh suara guruh, gelora badai, letupan api. Dan semuanya itu dilihat Tuhan baik adanya.

Sunyi dan Gaduh bekerja sama dengan baik. Mereka juga selalu berdekatan dengan Siang dan Malam, saudara mereka yang lahir terlebih dahulu. Hari dimulai dengan Gaduh, lewat kokok ayam jantan yang segera disusul dengan mulai bergeraknya kehidupan, tanda Siang sudah datang. Burung mulai keluar dari sarangnya dan ternak mulai menggeliat meninggalkan kandangnya. Manusia pun mulai bergegas menuju ladang, gunung, maupun laut. Suara bermunculan di mana-mana, sebagai penanda kehidupan. Tatkala matahari mulai tergelincir ke barat, semua kembali pulang ke tempat peristirahatannya. Burung pulang ke sarang dan hewan liar pulang ke liang, dan begitu pula dengan manusia. Sunyi kini datang seiring dengan Malam. Kini manusia berteman dengan gelap ditemani sesekali bunyi jangkrik diselingi kodok dan cicak. Semua beristirahat untuk memulihkan tenaga untuk bekerja lagi pada keesokan harinya. Demikianlah Gaduh dan Sunyi datang silih berganti, dan kehidupan pun berkembanglah.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, abad berganti abad. Umat manusia pun tumbuh berkembang memenuhi bumi. Jumlah manusia semakin ramai, dan dunia semakin ribut. Gaduh sangat menyukai dunia ini karena ia memiliki semakin banyak teman. Sebaliknya Sunyi mulai merasa tersingkirkan karena tidak banyak lagi tempat yang mau menerima kehaadirannya. Sebagian besar manusia menyukai Gaduh karena keriangan dan keramaian yang ditawarkannya. Sebaliknya Sunyi yang menawarkan ketenangan semakin tidak diminati. Ia hanya ditemani para pertapa, pemikir, perenung dan para pencari kebenaran yang memang tidak banyak jumlahnya. Karena tiadanya tempat bagi mereka, menyingkirlah mereka ke gunung, gurun atau pulau terpencil, ditemani Sunyi. Malam yang dulunya merupakan teman Sunyi pun mulai mengkhianatinya. Malam kini tak lagi sunyi, melainkan terang benderang dan hingar bingar oleh buatan manusia. Kadang mereka bahkan tidak lagi beristirahat melainkan ribut sampai menjelang pagi. Sunyi pun semakin tersingkir karena nampaknya Sang Waktu tidak berpihak kepadanya.

Kini ia bersembunyi, hanya ditemani para pecintanya di selubuk bumi yang belum terjamah Gaduh. Ia menunggu dan menunggu, kapan lagi manusia akan merindukannya kembali, sebagai teman yang memberikan ketenangan, kedamaian dan cinta.