Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 27 HARDI

Sore itu aku tugas jaga di biroku lagi. Kali ini aku tidak sendirian, jaga berdua dengan kakak kesayanganku, Maria. Kegiatan di kampus sedang sepi, tidak ada ujian maupun acara-acara besar. Biasanya dalam suasana seperti ini, yang terjadi adalah obrolan ngalor-ngidul ke sana kemari tanpa arah yang jelas. Pada mulanya sungguh sulit memang mengubah kebiasaan burukku dari seorang yang suka ngobrol menjadi seorang konselor yang nota bene adalah pendengar yang baik. Selalu ada godaan untuk berkomentar. Eh, elu goblok banget sih. Atau, gitu aja kok repot. Misalnya juga, ngapain aja kamu selama ini. Yah, semuanya itu harus ditahan dan kita harus bisa memaklumi semua orang, apa pun kesalahan yang telah diperbuatnya di masa yang lalu. Kadang kala kesalahan yang dibuatnya adalah itu-itu saja. Mendengarkan curhat orang lain memang mengasyikkan pada mulanya, namun begitu engkau sudah mendengarkan cerita yang sama diulang-ulang oleh orang yang sama, dan cerita yang itu-itu juga diceritakan oleh klien yang lain, engkau akan cukup muak untuk mendengarnya setiap hari. Yang harus dilatih adalah bagaimana caranya supaya kita tidak menunjukkan bahwa kita telah mendengar cerita yang seperti itu, dan tidak menunjukkan kebosanan itu di depan mereka. Bukan berarti kita memakai topeng untuk mengelabui mereka, melainkan menunjukkan bahwa kita memperhatikan cerita mereka, walaupun kita sudah sering mendengar cerita-cerita yang seperti itu.

Menjadi seorang konselor adalah panggilan jiwa, meskipun sebenarnya setiap orang sebenarnya bisa menjadi seorang konselor. Yang dibutuhkan hanya hati dan telinga yang besar, dan mulut yang kecil. Setiap orang mestinya punya itu kan? Cuma saja tidak semudah yang dikira orang. Kita semua punya ego, ingin selalu dianggap benar, ingin dianggap hebat, ingin selalu memberi nasehat. Itu semua harus dikikis. Menjadi seorang konselor adalah seorang pendengar yang baik. Ia menjadi semacam cermin dari orang yang berkonsultasi. Mereka yang sedang dirudung masalah tidak bisa melihat masalah mereka dengan jernih. Mereka membutuhkan orang lain, bisa saja teman dekat mereka, orang tua, atau konselor misalnya. Orang lain itulah yang menjadi cermin yang jernih yang bisa membuat mereka melihat masalah mereka sendiri dengan jernih. Setelah bisa melihat dengan baik, mereka biasanya mampu melihat penyelesaiannya sendiri, tanpa dibantu. Kadang kala untuk masalah yang agak berat mereka harus sedikit dibantu. Pandangan mereka yang biasanya menjadi sempit karena masalah kita bantu untuk diperlebar. Mereka kita bantu untuk melihat masalah tidak hanya seluas daun kelor, dan melihat tidak hanya dengan kaca mata hitam putih. Kita beri mereka alternatif-alternatif yang mungkin tidak terpikirkan oleh mereka. Kita juga beritahu konsekuensi-konsekuensi dari alternatif-alternatif tersebut. Selanjutnya biarlah mereka menjadi tenang dulu, lalu biarkan mereka mengambil keputusan sendiri.

Kupikir aku harus cerita dengan Mbak Maria tentang Dwina. Mumpung lagi sepi. Sebenarnya tidak terlalu memberatkan sih, cuma kupikir aku butuh pembenaran. Dan orang yang paling bisa dimintai pendapat ya siapa lagi selain Mbak Maria, orang yang paling mengenali diriku.

“Mbak, aku mau ngomong sebentar nih.”
“Apa. Masalah cewek itu lagi, siapa namanya, Dwina?”
“Ah, Mbak, pura-pura lupa.”
“Kenapa. Kamu suka beneran sama dia.”
“Bukan begitu Mbak. Aku justru ragu akan perasaanku ke dia.”
“Apa yang kamu rasakan.”
“Aku senang kalau berada di dekat dia. Tapi di lain pihak aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tidak tahu bagaimana harus menempatkan diri. Dia kan klienku Mbak.”
“Kamu itu terlalu banyak mikir Di. Tidak semuanya berjalan serumit yang kamu bayangkan. Jalani saja, nanti juga ketahuan ujungnya. Kamu tidak perlu terlalu pusing memikirkan semua skenario yang bakalan terjadi.”
“Tapi kan kita harus selalu siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.”
“Ya, tapi cuma seperlunya. Tidak seperti kamu yang “terlalu” siap, kamu selalu menghabiskan energi terlalu besar untuk segala persiapanmu itu.”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sendiri Mbak.”
“Coba deh jujur sama Mbak. Kamu suka nggak sama dia.”

Sejenak aku berpikir. Aku sebenarnya masih ragu untuk menjawab apa. Untung saja yang didepanku ini Mbak Maria.

“Suka sekali sih sebenarnya tidak. Iya bukan tipeku. Mbak tahu sendiri tipeku kayak apa. Hanya saja aku mulai mengkuatirkan tentang dirinya.”
“Hmm… Kamu mulai kuatir tentang dirinya? Jangan-jangan ini malah awal dari sebuah cinta…”
“Apa Mbak berpikir begitu? Apakah rasa cinta bisa muncal dari rasa kasihan.”
“Mbak pikir itu malah mungkin cinta yang lebih murni ketimbang cinta yang sekedar suka. Cinta yang sekedar suka hanya mengerti menerima, sedangkan cinta dari kasihan hanya peduli dengan memberi.”
“Tidakkah cinta yang seperti itu berat sebelah Mbak, memberi tanpa menerima.”
“Mbak tidak bisa menjawab itu. Mbak cuma sekedar bisa memberi komentar kalau kamu bisa jadi sudah mulai mencintai dia tanpa kamu sadari. Sejauh mana kamu mengkuatirkan dia?”
“Aku mulai berpikir bagaimana sebaiknya menyelesaikan masalah hidupnya, sesuatu yang sesungguhnya sudah diluar kapasitasku sebagai seorang konselor.”
“Pernahkah kamu berniat untuk memilikinya?”
Secepat kilat kujawab, “Tak sedetik pun!”
“Tak inginkah kamu memilikinya?” tanyanya sudah mulai mencecar aku. Kalau saja orang lain yang bertanya seperti itu aku pasti sudah mulai merasa tersinggung.
“Buat apa sih Mbak. Aku toh belum kenal siapa dia. Memiliki kan tidak sesederhana itu Mbak. Orang Jawa kan bilang ada bibit-bebet-bobot. Kan masih panjang ceritanya Mbak.”
“Tapi hatimu berkata apa?”
“Tidak berkata apa-apa,” jawabku tegas.
“Tidak terasa berdebar-debar bila dekat dengannya?”
“Tidak… ,” aku berusaha untuk menjawab semeyakinkan mungkin, seakan diriku sendiri kurang yakin akan jawaban aku sendiri.
“Jawabanmu terlihat lebih seperti untuk meyakinkan dirimu sendiri ketimbang meyakinkan Mbak.”

Telak aku ditembaknya.
“Itulah Mbak. Aku bingung…”
“Ya sudah, dibawa tidur saja dulu. Kamu seperti Mbak bilang, terlalu banyak pikiran. Sedikit rileks lah. Tidak perlu semua kemungkinan kamu telusuri karena kamu bukan Tuhan. Percayalah sama Mbak. Semua akan baik-baik saja kok. Kenyataannya tidak akan seburuk yang kamu bayangkan. Cooling down saja dulu.”
“Kayaknya sih emang gitu Mbak. Nggak usah terlalu dipikirin aja dulu ya Mbak. Emangnya dia mikirin aku apa. Rugi sendiri kan Mbak.”
“Kamu sendiri yang bilang begitu.”

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

oni,

pada bab ini aku merasa.."onni banget!"
hahahaha...

terusin..terusin... bagus kok!

salam tetap semangat,
sulis
(kedengerannya kayak si rika yg suka kasih "salam tetap semangat")

4:00 AM  
Anonymous Anonymous said...

Cool blog, interesting information... Keep it UP » »

3:26 AM  
Anonymous Anonymous said...

Wonderful and informative web site. I used information from that site its great. &apos &aposbuy ionamin html &apos Hamburger model for persuasive writing How do i block spam and pop ups Marietta georgia rental cars pennsylvania mortgage refinancing Mexican nexium order online Kitchen layout guidelines Shields paxil Supplement supplier in malaysia Steel kitchen cabinet Ca contribution of liability Teens giving blowjobs nude Sources in germany for o.e. audi parts

4:54 PM  

Post a Comment

<< Home