Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 26 HARDI

Sudah cukup kalau aku bisa mendampingi ibuku, sampai hari tuanya. Aku tidak minta ditemani oleh perempuan lain dalam hidupku.

Sejak pertama aku melihatnya aku tahu ada sesuatu yang sangat akrab yang aku kenal dalam dirinya. Aku merasakan perasaan yang sama di depannya seperti di depan ibuku. Semacam kedekatan, atau malah kejauhan. Aku tidak pernah bisa menjadi pengganti bapakku. Di kala aku dekat dengan ibuku, sering kali aku melihat matanya menerawang seakan aku tidak di situ. Ia masih mencintai bapak, sekali pun telah ditinggalkan. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana seorang perempuan bisa mencintai laki-laki yang tidak mencintainya.

Tidak banyak yang bisa aku ingat tentang bapakku, meskipun ia meninggalkan kami ketika aku sudah cukup besar. Ia memang jarang di rumah. Kadang aku iri melihat teman-teman yang punya bapak yang sering mengantar mereka ke mana-mana. Aku iri melihat teman-temanku yang sering berolah raga bersama bapaknya. Ibuku memang sering menemaniku, tapi rasanya pasti berbeda. Aku kerap kali merasa malu karena ditemani ibu, teman-teman pasti berseru aku anak mami. Mulanya aku kesal. Aku marah dengan mereka, kadang kalau sudah memuncak kulempari batu. Batu kerikil kecil tentu saja. Cukup untuk membuat mereka kabur tanpa membuat mereka terluka. Mungkin aku belajar ini secara tidak langsung dari bapakku. Meskipun ia meninggalkan kami, ia tidak pernah sekali pun memukul aku, apalagi memukul ibu. Aku kadang melihat rasa hormatnya yang mendalam kepada ibu, seperti seorang anak kepada ibunya. Mungkin karena itulah ia memilih wanita lain, wanita yang bisa didominasi dirinya, untuk memperlihatkan kejantanannya. Ibuku memang bukan orang yang pemarah dan keras, namun dengan kelembutan dan ketenangannya, ia ibarat beringin ratusan tahun yang tidak tergoyahkan. Dan ego laki-laki bapakku terluka dan hanyut dalam ketenangan ibuku.

Aku baru memahami ini ketika aku beranjak dewasa, setelah aku banyak berinteraksi dengan orang lain. Mulanya aku langsung menyalahkan bapakku karena meninggalkan kami. Tapi lama-kelamaan aku mulai bisa memahami pikirannya. Ia butuh kebebasan yang tidak diperolehnya dalam naungan sayap ibuku.

Tanpa bapakku sebenarnya ibuku tidak terlalu berkurangan. Ia perempuan yang cerdas. Ia bukan tipe perempuan yang harus bergantung pada laki-laki. Ia cukup mandiri. Bahkan sebelum bapak meninggalkan kami ia sudah memulai usaha katering, meskipun kecil-kecilan. Sesudah bapak meninggalkan kami usaha katering ibu benar-benar dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kami, biaya sekolahku dan adikku. Secara keuangan kami tidak pernah berkekurangan, meskipun juga tidak berkelebihan.

Ibuku memang seorang pejuang. Mungkin lebih mirip pejuang yang kalah. Meskipun boleh dibilang ia sukses membesarkan kami berdua, terlihat ada sisi kosong yang tak pernah terisi. Aku selalu berusaha mengisi ruang itu. Dan sampai saat ini aku masih gagal.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home