Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Monday, June 06, 2005

Bab 19 HARDI & DWINA

Bergegas aku bersiap ke Cilaki. Waktu terasa berjalan begitu perlahan. Ingin rasanya kubayar sopir angkot itu lima ribu rupiah supaya ia tidak ngetem dan langsung lurus ke tujuanku. Tidak, aku belum se-desperate itu. Kusabar-sabarkan diriku. Sambil menyusun kata-kata untuk kuucapkan nanti. Salah, bukan kata-kata. Kata-kata tidak akan banyak membantu. Aku harus lebih banyak diam, diam mendengarkan. Kupikir itu yang akan kulakukan.

Setelah waktu yang berjalan begitu perlahan akhirnya aku sampai juga. Ia sudah di sana. Berdiri di tengah kedinginan udara malam. Jaket biru tebal yang selalu dipakainya melindunginya dari terpaan angin dingin. Aku tidak berjaket. Kegelisahanku sudah cukup untuk membuat badanku meriang.

“Dwina,” kusapa ia terlebih dahulu.
Ia tidak langsung menjawab. Ia raih tanganku.
“Lebih baik kita bicara sambil jalan saja.”
“Ya,” aku mengiyakan.

Ia mulai berjalan, perlahan tangannya mengendur dan aku pun melepaskan diri dari genggamannya, entah ia sadar atau tidak.
“Maafkan aku atas ulahku minggu yang lalu, aku tak seharusnya begitu dihadapanmu. Kau belum tahu siapa diriku.”
“Dwina, aku mengerti kegelisahanmu.”
“Aku takut. Aku takut sendirian. Aku takut sekali ditinggalkan pacarku. Tanda-tandanya sudah mulai terlihat.”
“Kau melihatnya?”
“Ya, ia sering ingkar janji. Ia juga terlihat bosan denganku. Apakah semua lelaki seperti itu?”
“Aku tidak tahu Dwina.”
“Mungkin semua lelaki memang seperti itu. Semua pacarku yang dulu juga seperti itu.”
“Engkau takut sendirian?”
“Ya, aku tidak berani hidup sendiri. Lebih takut lagi aku mati dalam kesendirian.”
“Apa yang kau rasakan?”
“Entahlah. Hidup mungkin terasa lebih ringan kalau kita bisa berjalan beriringan. Beban yang berat pun dapat terasa lebih ringan.”
“Bagaimana dengan teman-temanmu?”
“Ada sih, tapi kan kita tetap butuh yang spesial, yang selalu ada di sisi kita setiap saat kita membutuhkannya. Teman yang lain kan tidak bisa diharapkan setiap saat.”

Begitukah pikirnya. Aku tentunya berpendapat lain. Teman yang sejati juga bisa diandalkan setiap saat. Bahkan ada yang bersedia menyerahkan nyawanya demi sahabatnya. Apakah ia memang tidak mempunyai teman sejati? Saat ini pertanyaan itu masih harus kusimpan untuk diriku sendiri. Belum saatnya untuk ditanyakan. Ingat, aku harus lebih banyak mendengar.

Kuberanikan diri kupegang tangannya. Kugenggam hangat untuk memberikan dukungan kepadanya. Hal ini belum pernah kulakukan pada siapapun. Kupikir ia membutuhkannya. Ia membutuhkan dukungan, dan bukan sekedar dukungan dengan kata-kata. Ia juga mengeratkan genggamannya. Ia berbalik menatapku dalam-dalam.

“Maukah kau menjadi sahabatku.”
“Tentu Dwina, aku akan menjadi sahabatmu. Aku akan mendukungmu.”
Ia tersenyum, manis sekali. Sebuah kelegaan terbit di hatiku. Ternyata tak sesulit yang kuduga.
“Jadi aku bukan lagi klienmu lagi, ya…,” nadanya ceria.
“Kau temanku mulai sekarang.”
“Aku masih boleh ke biro kan?”
“Ya tentu lah. Tapi bilangnya jangan mau konsultasi, tapi mau nyari aku.”
“Kalau kamu nggak di sana.”
“Telpon saja rumahku,” seraya kuberikan nomornya kepadanya.
“He…he…, akan sering kuganggu nanti kamu.”
“Akan kutunggu gangguan darimu.”
“Nggak boleh marah lho kalau diganggu.”
“Kalau ngeganggunya keterlaluan boleh dong.”
“Nggak boleh!”
“Lho, kok gitu,” protesku masih dengan nada bercanda.
“Pokoknya nggak boleh marah,” ia mulai merajuk seperti seorang anak kecil.
Diayun-ayunkannya lenganku.
“Ya…ya…,” kupikir ia masih terlalu lemah untuk dikerasi. Kubiarkan saja sambil berjalannya waktu.
“Sekarang temani aku pulang. Kau harus tahu di mana aku tinggal.”
“Jalan kaki?”
“Ya, jalan kaki. Aku masih ingin menikmati malam ini.”

Jalan kakinya sih tidak apa-apa. Tapi hilangnya kegelisahan membuat dinginnya malam justru mulai menunjukkan taringnya. Aku kedinginan. Aku tidak boleh menunjukkan kedinginanku dihadapannya.

Sepanjang jalan ia dan aku bertukar cerita. Cerita-cerita lucu dan ringan seputar kehidupan mahasiswa. Meskipun kami berbeda kampus, namun kehidupan mahasiswa tidak terlalu banyak berbeda.

“Ngapain sih kuliah akuntansi, ngitungin duit orang, mending duit sendiri.”
“Kamu itu kuno banget sih. Tanpa akuntansi, perusahaan nggak akan jalan. Mereka nggak akan bisa menentukan barang itu mau dijual dengan harga berapa dan pegawai mau digaji berapa.”
“Apa sih susahnya nentuin harga barang sama gaji pegawai. Bahan baku ditambah ongkos lelah jadi harga barang. Ongkos lelahnya ya sesuaikanlah dengan berat ringannya pekerjaan.”
“Nggak segampang itu. Semua ada hitungannya. Belum lagi untuk ngitung pajaknya.”
“Alah, paling juga nyogok pegawai pajak, supaya pajaknya dikurangi.”
“Aku sih jujur, menghitung pajak sesuai dengan peraturannya.”
“Kalau kamu diminta perusahaanmu untuk merubah hitungan?”
“Aku akan lapor ke dewan profesi.”
“Kalau kamu diancam dipecat?”
“Aku kan bisa pindah ke tempat lain.”
“Kalau gajinya lebih kecil.”
“Aku akan minta selisihnya ke kamu.”
“Lho, kok gitu?”
“Soalnya yang mulai diskusi masalah ini kan kamu?” dicubitnya lenganku.
Aku berusaha menghindar dan gagal. Lumayan sakit juga cubitan cabe rawit yang satu ini.
“Berani main cubit yah…”
“Kenapa nggak berani.”
“Aku balas nanti,” ancamku setengah nggak niat.
“Emangnya berani.”
“Berani.”
“Coba…,” ia menantangku.
Kucubit pipinya, sayangnya ketimbang cubitan balas dendam lebih mirip cubitan sayang.
“Sakit!” teriaknya.
“Eh, maaf.”
“Ye, kena bohong.”
Ia berlari begitu aku berniat benar-benar membalasnya.
Ia berlari terus belok masuk ke asrama. Dari jauh ia berteriak.
“Sampai nanti, daag…”
Anak nakal. Awas nanti.

Ia telah menempati sebuah tempat di hatiku. Tempat apa aku masih belum jelas. Aku hanya ingin melindunginya. Seperti aku melindungi Mama. Ya seperti aku melindungi Mama.