Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Sunday, June 05, 2005

BAB 13 HARDI

Aku tidak bisa tidur lagi malam ini. Sejak dari angkot sampai di ranjang, aku tidak bisa mengampuni diriku. Apa yang telah kuperbuat padanya. Salah apa aku padanya. Perasaan aku malah belum berkata apa-apa. Mengapa ia langsung menarik diri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? …

Pertanyaan terus mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Aku tak bisa tidur…


“Hardi! Hardi!” teriak temanku.
“APA!” teriakku tak kalah kerasnya.
“Ngebakso yuk?” ajaknya bernada lapar.
“Tunggu bentar, hampir game nih,” aku masih berkonsentrasi pada permainan kelerengku.
“Cepatlah, bentar lagi masuk.”
“Nggak apa-apa telat-telat dikit. Pelajaran IPA, Pak Darwin pasti telat masuk lagi,” kilahku.
“Terserahlah, susul nanti yah.”
“OK boss,” jawaban anak-anak sok kebule-bulean, meniru film barat yang baru ditonton di bioskop waktu pertunjukan minggu matinee.
Kuteruskan permainan kelereng yang memang sudah hampir selesai. Tinggal menunggu pukulan terakhir.
“Kena!” aku langsung berlari mengemas kelerengku dan berlari ke warung bakso kesayanganku.
Saking terburunya aku menabrak seseorang. Gubrak! Aku jatuh, semua kelereng dalam kantongku tumpah berceceran. Aku tidak langsung marah dan naik pitam, karena itu memang bukan gayaku. Lagi pula kayaknya aku yang salah, aku yang menabrak. Sedikit meringis kulihat siapa yang kutabrak. Seorang gadis kecil kakak kelasku. Ia berbeda dengan gadis yang lain, ia sudah “dewasa”. (Tentu saja waktu itu aku belum mengerti bahwa ia sudah haid dan oleh karena itu ia “agak berbeda” dengan teman-teman putriku yang lainnya. Aku sudah lupa sekarang bagaimana raut wajahnya dulu.)
“Maaf, nggak sengaja, lagi buru-buru ke tukang bakso. Sudah hampir habis jam istirahat.”
“Nggak apa-apa Di, aku tahu kok kamu nggak sengaja,” jawabnya manis.

Yah, aku terkenang lagi sebuah kenangan di masa kecilku. Sebuah kenangan yang sudah lama terpendam di alam bawah sadarku. Entah mengapa perasaan itu muncul kembali. Perasaan yang sama yang kualami sepuluh tahun yang lalu. Perasaan yang hanya muncul sekali, namun merasuk dalam sanubariku.


“Ciee…, Hardi ada yang naksir nih ye…”
“APAAN!” teriakku gusar.
“Itu tuh yang tabrakan kemarin, enaaaaaak…” gurauannya semakin tidak lucu.
“Apanya yang enak, tabrakan itu sakit goblok!”
“Tapi kan jatuhnya empuuuuuk.”
“Terus kenapa? Dia itu udah gede. Nggak boleh pacaran sama perempuan yang lebih gede,” otakku pintar memutar alasan untuk membela diri.
“Tapi suka kaaaan…” godaannya semakin menjadi.
“Pokoknya aku nggak naksir dia!” jawabku sengit.
“Tapi dia bilang dia suka kamu lho…”
“Wah, kurang ajar nih, mesti dijelaskan nih!”
Aku langsung beranjak dari bangku menuju kelasnya. Kucari dia. Aku gusar. Dia seenaknya menebar gosip kalau ia suka sama aku. Masak sih cuma tabrakan sekali saja sudah dianggap suka. Keterlaluan nih!
Begitu ketemu orangnya langsung aku tanya.
“Kamu bilang ke anak-anak kalau kamu suka aku yah?”
Teman-teman langsung mengerubut dari belakang seperti wartawan majalah gosip sedang meliput pasangan selebriti yang sedang diklarifikasi.
Ia bukannya marah, eh, malah tersenyum.
“Kamu itu lucu…,” katanya tidak menjawab pertanyaanku.
“Aku tidak lucu!” kataku sengit.
“Kamu mungkin cocok jadi pacarku!”
Langsung darahku naik. Tak sadar kuambil kantong kelerengku dan kuhempaskan sembarangan. Kelerangku tak segaja melayang ke arahnya, mengenai pelipisnya. Berdarah…
Ia langsung berlari, tapi tidak menangis. Mukaku memerah menahan rasa marah dan malu. Benar-benar situasi yang tidak mengenakkan. Kelerengku tersebar ke sana kemari tanpa ada yang peduli. Dalam kondisi biasa anak-anak pasti sudah berebut mengambilnya. Tapi tidak sekarang. Semua tertegun.
Aku pun lari, kuambil tasku dan langsung pulang, aku bolos hari itu.

Perasaan yang sama. Perasaan bersalah yang dalam. Bedanya waktu itu aku masih kecil dan membuat sebuah kebodohan anak kecil. Gengsi, malu ditertawakan punya pacar. Malu ditertawakan teman-teman. Amarah bercampur gengsi telah membuat aku menyakiti seorang perempuan.


Keesokan harinya aku masuk sekolah dengan sedikit harap-harap cemas. Peristiwa kemarin tidak kuceritakan kepada kedua orang tuaku. Aku berjanji akan menanggung semuanya sendiri, bila dipanggil ke ruang kepala sekolah hari ini. Aku adalah anak laki-laki! Dan seorang laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Aku akan maju sendiri.
Jam istirahat sudah tiba. Panggilan yang kuharapkan tidak kunjung tiba. Apakah ia tidak melaporkan aku ke kepala sekolah? Atau pulang sekolah nanti mungkin. Hari itu terasa begitu panjang. Jam istirahat ke dua aku juga tidak dipanggil. Seberuntung itukah aku lolos begitu saja. Aku seakan tidak percaya. Tapi aku tetap saja tidak merasa lega. Bagaimana pun aku telah melukainya. Sengaja atau pun tidak sengaja, akulah yang melukainya. Aku lebih baik menerima hukuman atas kesalahanku ketimbang harus memendam rasa bersalah di dalam hati.
Pulang sekolah aku tak kunjung di panggil. Bahkan bolosku kemarin pun tidak dipersoalkan. Teman-teman pasti telah menutupi kesalahanku dengan berbohong. Aku berjalan pulang dengan lunglai, masih diliputi oleh perasaan bersalah. Kulihat ia berjalan mendekat ke arahku. Aku tertunduk tak berani mendekat juga tak berani menjauh. Aku bagaikan seekor anjing yang sedang dimarahi tuannya.
“Di, aku nggak marah kok. Aku tahu kamu nggak sengaja. Aku juga tahu kamu begitu karena malu.”
Aku masih diam. Tak berani bernafas.
“Sudahlah, kakak maafkan. Nggak apa-apa kok lukanya. Cuma kegores sedikit. Nih lihat, nggak apa-apa kok. Sudah ditempel Handyplast.”
Kuberanikan diri mengangkat wajahku untuk melihat bekas lukanya. Syukurlah memang tidak apa-apa. Untung saja mengenai pelipis. Bagaimana kalau mengenai kedua bola matanya?
“Maafin aku yah…,” aku minta maaf sambil menelan ludah, “aku benar-benar nggak sengaja. Aku malu banget kalau kalau dibilang pacar kamu.”
“Ah, sudahlah. Kakak benar-benar nggak marah kok. Lagi pula siapa yang mau jadi pacar kamu. Kamu kan masih kecil.”
Aku jadi tersenyum malu.
“Kalau kamu sudah besaran dikit mungkin kakak mau…”
Lho…!

Sejak peristiwa itu akan berjanji tidak akan menyakiti perempuan. Aku akan bertindak hati-hati, karena perempuan adalah makhluk yang lembut, yang harus dilindungi. Mereka akan kujaga, seperti aku menjaga ibuku. Tapi apa daya, aku baru saja melukai perasaan perempuan lagi. Dan yang lebih tololnya, aku tak tahu bagaimana cara aku melukainya! Apa salahku? Dan apa yang harus kulakukan untuk menebusnya.

Aku tak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home