Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Sunday, June 05, 2005

BAB 12 DWINA

Aku berlari masuk ke angkot yang mengarah asramaku. Mataku terasa penuh dengan air mata, tapi kutahan sebisa mungkin supaya tidak keluar. Ternyata ia sama saja dengan laki-laki lain. Ia sama saja dengan Steve. Mengapa semua laki-laki seperti itu. Aku tidak butuh diingatkan kalau aku sedang sedih. Mestinya mereka tahu itu? Buat apa sih bertanya: sedang sedih ya sayang, kenapa menangis, kenapa bersedih, kok murung dan sederet pertanyaan lainnya. Mengapa sulit sekali buat kaum lelaki untuk mengerti kalau kami tidak butuh kata-kata seperti itu. Kami, kaum perempuan hanya butuh perhatian mereka, bukan pertanyaan interogasi mereka.

Selama di angkot, aku tidak lagi sadar akan apa yang terjadi di sekitarku. Hanya ada kesedihanku. Setiap pohon yang kulewati seakan mengejekku. Lihat aku bisa berdiri tegar sendiri, kata mereka. Kau tak bisa! Kau butuh orang lain, untuk mendengarkanmu. Kau butuh teman hidup. Kau lemah! Benci! Aku benci sekitarku. Mereka semua tidak ada yang memahami aku. Dan yang paling kubenci dari semua adalah kau, Steve.

Mengapa dulu kau datang padaku sebagai seorang penyelamat. Aku tidak meminta kau untuk mencintaiku. Kau lah yang pertama kali datang menawarkan cintamu padaku. Waktu itu kau tahu betul bahwa aku baru putus dengan pacarku yang sebelumnya. Kau dekati aku dengan sangat lembut sehingga aku sama sekali menaruh curiga padamu.


“Dwina, kapan kau mau datang ke acara himpunan. Kita mulai acaranya jam tiga sore.”
“Mungkin aku akan sedikit terlambat. Suster asrama ngasih tugas ke aku.”
“Kalau begitu kutunggu kau di depan asrama, supaya begitu selesai kita bisa berangkat langsung naik motor.”
“Nggak usah Steve, ngerepotin kamu.”
“Nggak apa-apa, aku cuma nggak mau kamu terlambat. Nggak enak acaranya dimulai kalau nggak bareng. Kamu kan salah satu panitianya.”
“Nggak apa-apa kok Steve. Aku bisa datang sendiri. Nggak apa-apa kok aku terlambat, sungguh!”
“Bener nih, nggak apa-apa, kamu kan biasanya suka marahan kalau flow acaranya nggak sesuai dengan keinginan kamu.”
“Nggak, suwer deh,” kataku dengan sedikit kesal.
“Bener yah, nggak marah. Jangan nanti anak-anak kena semprot kamu seperti kejadian sebulan yang lalu,” katanya sedikit sok manis.
“Iya, percaya deh, sudah berangkat duluan sana, cek dekornya sudah siap atau tidak.”

Awalnya ia memang sangat perhatian. Tidak seperti pacarku sebelumnya. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Ia selalu sabar menghadapiku. Meskipun awalnya aku selalu tidak pernah memperhatikannya, lama kelamaan aku mulai merasa nyaman bila ia berada di dekatku. Kadang aku berpikir mengapa ia bisa begitu sabar menghadapiku. Aku tidak pernah berlaku manis dihadapannya. Dan itu bukan kulakukan dalam waktu yang singkat. Setahun kubiarkan engkau mengikutiku seperti seekor anjing setia. Ya, meskipun kadang kupikir aku keterlaluan memperlakukan engkau seperti anjing peliharaanku. Kadang aku membuatmu menungguku sampai lama waktu yang tidak manusiawi.



“Steve, sudah kubilang tidak usah kujemput aku. Urusanku dengan suster belum selesai.”
“Nggak apa-apa, aku sudah bilang ke teman-teman kita akan terlambat.”
“Steve, kamu bukan asisten pribadiku. Kamu nggak usah ikut kemana pun aku pergi. Sudah kubilang aku masih jalan sama Mas Nardi. Nggak ada gunanya kamu berlaku manis denganku seperti ini. Kamu nggak akan kutanggapi.”
“Dwina, Dwina… Siapa yang mau mengharapkan hatimu. Aku cuma nggak mau kamu terlambat saja ke acara himpunan. Acara itu kan sudah kamu persiapkan sejak bulan lalu. Dan aku tahu pasti kalau kamu pasti marah-marah kalau ada yang nggak beres. Aku cuma nggak pengen itu terjadi.”
Kata manisnya begitu membuai sehingga aku benar-benar berpikir kalau ia memang benar-benar perhatian tanpa mengharap balas sama sekali dariku.
“Terserah kamulah. Tunggu sampai aku keluar, aku nggak janji lho akan keluar jam berapa.”
“Iya, tuan putri, hamba akan menunggu tuan putri sampai tuan putri siap untuk berangkat.”
Ia masih punya waktu untuk menggodaku. Senyumnya yang innocent itulah yang kadang-kadang membuat aku nggak tahan.


Waktu terasa berjalan begitu perlahan. Kok masih lama sekali perjalanan ke asramaku. Mengapa sampai waktu pun tidak berpihak kepadaku. Kenapa kau panjangkan durasi luka di hatiku. Kenapa tak cepatkan detak detikmu. Biarlah semuanya cepat berlalu karena kutahu waktu adalah penyembuh lara yang paling mujarab. Wahai Sang Waktu, janganlah kau bersekongkol dengan Sang Nasib. Sudah cukup derita yang ditorehkan oleh saudaramu di batinku. Tolonglah bekerja sama denganku sedikit saja. Hanyutkanlah aku dalam dirimu. Buailah aku seperti angin. Biarkan aku larut, aku ingin larut. Aku tak ingin lagi diam dalam kekinian yang penuh nestapa ini. Ini bukan waktuku. Tuhan, ini bukan waktuku. Entah sudah lewat atau belum tiba aku tidak tahu, tapi yang jelas ini bukan waktuku.

Akhirnya aku sampai di gerbang asramaku. Kubayar angkot segera, dan seraya berlari aku turun. Kupijit bel seliar-liarnya, supaya mereka membukakan pintu secepatnya. Aku tahu sekarang sudah malam, tapi aku tak peduli. Kenapa pula aku harus peduli dengan mereka sedangkan mereka tidak pernah peduli denganku.

“Kenapa sih kamu Dwin, sudah malam gini! Emang ini rumahmu apa sampai mencet bel seperti itu,” seniorku mendampratku.

Tapi aku tak peduli. Aku toh tidak memperlihatkan air mataku di hadapan mereka. Air mataku terlalu berharga untuk kutumpahkan di depan mereka. Aku berlari menuju kamarku. Kulepaskan jaketku, dan kulempar sembarangan. Langsung aku menuju kotak kecil penyimpan obat di meja belajarku. Kukeluarkan botol obat tidur. Sempat aku tergoda untuk menenggak semuanya. Kupikir mungkin saatnya aku akhiri semuanya. Mudah sekali bukan, setenggak keabadian, tidur yang abadi. Hanya saja aku masih takut dengan kematian. Bukan rasa sakitnya yang aku takuti, tapi kesendiriannya. Bagaimana kalau saat kita mati kita benar-benar sendiri. Bukankah kesendirian adalah hal yang paling aku takuti. Mungkin neraka bukanlah pilihan yang mengerikan bila di sana kita tidak sendirian. Akhirnya kutelan dua buah, dua kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Aku butuh dosis lebih malam ini. Tuhan pun tahu itu. Oh, Morpheus , belailah aku, aku ingin kau buai sejenak, lepaskan aku dari kekinianku saat ini. Ajaklah aku menyelami sedikit keabadianmu. Mainkanlah harpamu, petikkan senarnya, kalahkan detak waktu yang menjeratku di kekinian ini. Biarkan dawaimu menggulung aku dalam lautan letargimu.