Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Tuesday, May 31, 2005

Bab 6 HARDI & DWINA

Rabu ini adalah Rabu depan, satu minggu setelah pertemuanku yang pertama dengan Dwina. Gimana kabarnya anak itu. Tapi sesungguhnya aku tidak benar-benar memikirkan dia. Lagi pula tidak ada yang istimewa dalam dirinya. Saat ini dia hanyalah seorang klien baru yang menarik rasa penasaranku saja, dan biasanya rasa penasaran itu hilang setelah pertemuan ke empat atau ke lima. Kalau boleh jujur, pikiranku lebih termakan oleh episode X-Files malam ini, yang merupakan kelanjutan dari minggu lalu. Ya, aku lebih memikirkan hubungan Mulder dengan Scully. Sungguh menarik untuk menduga-duga apakah mereka saling menyukai satu sama lain, sementara mereka saling bersedia mengorbankan nyawa satu sama lain. Adakah cinta di antara mereka? Dapatkah rekan berlainan jenis dapat begitu saling melindungi tanpa sedikit pun rasa cinta di hati? Betulkah cinta platonik itu memang ada? Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang di telingaku, dan nampaknya juga di telinga semua penggemar serial ini.

Hari ini aku tidak sendirian bertugas, aku berdua dengan partnerku Maria. Maria, seperti nama suster dalam sebuah lagu lama. Kadang kupikir ia memang mirip suster, kendati ia kuliah di jurusan farmasi. Ia hanya setahun di atasku. Meskipun demikian aku kerap menganggapnya seperti kakakku sendiri, seperti kakak kandung yang memang tidak kumiliki. Kami akrab begitu kali pertama bertemu. Dan persahabatan kami pun berlanjut sampai saat ini. Lagi pula ia yang merekrutku untuk bekerja di biro ini.

“Mbak Maria, mau kubuatkan teh atau kopi?”
Nampak ia tidak begitu konsen dengan ucapanku karena mata dan pikirannya sedang tersedot ke dalam layar kaca. Sinetron kesayangannya sedang diputar. Sinetron, satu-satunya jurang pemisah di antara kami, ia pecinta, aku pembenci. Di luar itu kami klop habis.
“Teh atau kopi, Mbak?” kataku setengah berteriak.
“Eh, teh manis,” katanya singkat seolah tak ingin melepaskan sedikit pun konsentrasinya.
Padahal ia sering kucela, nonton sebulan sekali pun nggak apa-apa, karena cerita begitu-begitu saja, gampang ditebak. Paling ia merengut mendengar ujarku dan menggerutu, kalau nggak suka nggak usah nonton. Aku biasanya hanya tertawa-tertawa saja, menikmati pertengkaran kecil kami yang memang tidak pernah kami masukkan ke dalam hati.

Biasanya ia yang selalu menyeduhkan teh atau kopi untukku, dan malam ini adalah malam tidak biasanya, alias malam acara nonton sinetron kesayangannya. Bukan berarti bias jender kalau ia selalu menyeduhkan teh atau kopi untukku, melainkan karena buatannya memang lebih enak. Aku memang selalu menikmati seduhannya, nasgitel, panas legit kentel, sesuatu yang tidak kutemui di tanah kelahiranku.

“Mbak ada klien,” interupsiku sambil membawakan teh manis untuknya.
“Udah, kamu saja, lagi seru nih.”
“Ya sudah, aku ke ruang konseling ya.”
Ia tidak menjawab.

Hmm, Dwina rupanya. Ia memang berjanji untuk datang seminggu lagi, tapi aku terus terang tidak berharap banyak. Klien masalah cinta biasanya tidak konsisten. Mereka kalau datang kalau sedang ada masalah saja. Kalau sedang asyik-asyik saja, mana mungkin ia ingat dengan kami. Ini menambahkan satu lagi alasan bagiku untuk rada malas menerima klien masalah cinta.

“Selamat malam Dwina,” sapaku kepadanya sok resmi.
Ia sudah duduk di sofa, sepertinya ia dipersilahkan masuk langsung oleh Pak Joko, satpam kami, karena memang belum ada klien lain yang datang.
“Malam juga,” jawabnya singkat.
“Gimana seminggu ini,” kataku sambil duduk di kursi singgasanaku.
“Capek, ngeladenin dosen rese.”
“Sama dong.”
“Apa boleh buat, dikerjaiin dosen, kalau enggak, bisa tidak lulus-lulus.”
“Kamu enak, udah mau lulus, aku sih belum jelas.”
“Enakan kamu dong, masih nyantai.”
Jadi ngelantur ngobrolnya, harus cepat kubelokkan sebelum lebih ngelantur lagi.
“OK, gimana ceritanya malam mingguan kamu.”
Dia diam sejenak, seakan menyusun skenario dulu di kepalanya.
“Biasa aja.”
“Yang biasa gimana?”
“Ya biasa, kayak orang pacaran biasanya,” katanya sedikit defense.
Biasanya gimana, gerutuku dalam hati, sudah seperlima abad aku hidup aku memang belum pernah pacaran.
“Emangnya orang pacaran itu gimana sih?”
“Ya sayang-sayangan,” katanya mulai ketus kehilangan kesabaran.
Meskipun aku nggak pernah pacaran bukan berarti aku begok soal beginian. Mungkin yang dimaksudnya adalah making out, sebuah istilah yang nggak ada padanan bahasa Indonesianya. Aku hanya ingin memastikan model pacaran seperti apa yang dijalaninya.
“Kalau begitu nggak ada masalah, dong.”
“Bukan begitu ceritanya. Kalau lagi baik ya baik, kalau lagi bertengkar ya bertengkar.”
“Bukannya memang begitu, setiap relasi kan ada pasang surutnya.”
“Ya, kalau lagi bertengkar, sakitnya luar biasa,” katanya sedikit lirih.
Kudiamkan ia sebentar, seraya membenarkan sandaran kursiku.
“Jadi kesimpulannya malam mingguan kemarin tidak bertengkar.”
“Ya. Kebetulan saja lagi baik.”
“Kok nada suaramu kedengarannya sedikit kurang senang,” tanyaku menyelidik.
“Masih kesel sama dosen pembimbing.”
“O…,” dengan mulut monyong agak dibuat-buat.


Diam, tembok itu muncul lagi. Memang yang seperti ini biasanya membutuhkan waktu. Orang yang mempunyai masalah dengan keluarganya sendirinya biasanya lebih mudah kuruntuhkan temboknya. Spesialisasiku memang disitu sih. Tapi yang ini terus terang aku tidak ahli. Kubiarkan saja waktu yang menyelesaikannya, dan terutama sekali aku butuh waktu untuk mendapatkan kepercayaannya.

“Coba ceritakan tentang skripsimu,” aku menjalankan strategi diversi, mencoba mengalihkan perhatian sambil mencoba memperoleh rasa percayanya kepadaku.
“Akuntansi manajemen sebagai penunjang pengambilan keputusan di bla…bla…,” kupingku langsung sakit mendengar kata akuntansi.
“Wow, tidak usah sedetil itu, aku tidak paham akuntansi.”
“Katanya minta cerita.”
“Ceritakan bagaimana kamu menjalaninya.”
“Ya begitu, ngumpulin data, diolah secara statistik, dan bla…bla…,” lagi-lagi ujaran teknis yang aku tidak mengerti sama sekali.
“Kamu menikmatinya?” mudah-mudahan ini pertanyaan pancingan yang tepat.
“Sebetulnya ya, asalkan dosen pembimbingku tidak se-strict itu.”
“Baguslah kalau kau menikmatinya. Apa kau memang menyukai bidang akuntansi?”
“Memang dari dulu aku sudah menyukainya. Aku memang senang dengan angka, dari dulu matematikaku selalu dapat bagus.”

Smart-alecky, alias sok pintar pikirku. Belum ketemu integral vektor dan elemen hingga kamu, kalau ketemu baru teriak-teriak gelagapan. Hei, tegurku pada diriku sendiri, tidak boleh membuat praduga, gali sedalam-dalamnya tanpa membuat penilaian awal.
“Dari dulu cita-citamu memang menjadi akuntan?”
“Ya, kupikir setelah lulus aku bisa kerja di salah satu firma.”
Lagi-lagi over-confident. Lama-lama menyebalkan juga nih anak.
“Kamu berniat jadi wanita karir?”
“Aku tidak boleh tergantung dengan lelaki secara finansial. Bisa diinjak-injak suamiku nanti, kalau aku tidak punya penghasilan sendiri.”
Untuk hal ini aku seratus persen setuju dengan dia. Lagi pula tidak jamannya lagi perempuan hanya tinggal di rumah, apalagi yang model kayak di depanku ini.
“Bagus untukmu. Kamu sudah bisa berpikir untuk mandiri semenjak dini. Tidak semua perempuan punya keberanian untuk mengambil keputusan seperti dirimu. Mereka masih merasa dirinya inferior terhadap lelaki. Kodrat katanya, go to hell with kodrat,” kataku seraya mencoba mencari dukungan darinya.
“Benar itu, satu-satunya kodrat yang tidak bisa dihindari cuma datang haid setiap bulan, dan melahirkan serta menyusui.”
Feminis sejati rupanya nona kita yang satu ini. Aku akan mencoba berpihak kepadanya untuk memperoleh kepercayaannya lebih jauh.
“Kalau ingin menjadi akuntan fisikmu harus kuat lho, kerjanya kayak kerja rodi di saat tutup buku.”
“Aku pernah belajar silat, dan kondisiku …, uhk…uhk…,” tiba-tiba ia batuk berkepanjangan tanpa sebab. Cepat-cepat aku ambilkan air putih dari dispenser di sebelahku dan segera keberikan kepadanya.
“Kamu sedang sakit?” tanyaku setelah batuknya reda.
“Ah, tidak apa-apa kok, keselek aja.”
“Makanya ngomongnya agak direm yah. O ya, kayaknya kamu butuh minyak rem nih, kopi atau teh?”
“Kopi aja, jangan terlalu manis,” katanya dengan sedikit serak.
“Iya sudah tahu, nanti kubawakan cermin, supaya kalau kurang manis lihat mukamu sendiri.”
Senyumnya mengembang dengan indah, meskipun dengan sedikit meringis masih menahan batuk. Duh manisnya. Jadi pengen punya yang kayak begini di kos-an. Wah, jadi liar deh imajinasiku, harus segera ku-cut sebelum berkembang kemana-mana.

Setelah aku siap dengan dua cangkir kopi, satu untukku dan satu untuknya, ia kelihatan sudah lebih tenang.
“Nggak batuk lagi kan?”
“Iya,” suaranya masih sedikit menyisakan serak dari batuk tadi. Parah sekali batuknya tadi sampai aku sedikit panik. Masih terlihat sedikit air mata di sudut matanya.
“OK, kamu jangan kebanyakan ngomong deh kayaknya. Istirahat dulu,” kataku sambil senyum untuk menghiburnya sedikit.
Ia menyeruput kopi yang kusuguhkan untuknya sedikit demi sedikit. Kuperhatikan dia dari sudut mataku. Mungkin sesi malam ini harus kusudahi, dan kututup dengan obrolan ringan saja.
“Sudah baikan.”
“Sudah, thanks ya, kopinya enak sekali.”
“Oh, di sini aku ahlinya menyeduh kopi.” Belum tahu dia kopi buatan Mbak Maria yang berapa kali lipat lebih nikmat dari buatanku. I can take the credit once in a while.

Sambil ia masih menyeruput kopi, terus kuperhatikan wajahnya. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Terbersit sedikit kesedihan. Matanya seperti menerawang. Nampaknya memang ada hal lain yang belum diceritakannya. Kupikir aku tidak boleh terlalu memburunya. Aku harus melangkah hati-hati sekali.

“Kamu suka nongkrong di kafe jalanan?” Kafe jalanan memang sedang ngetren semenjak krisis ekonomi beberapa bulan yang lalu.
“Ya, biasanya bersama Steve.” Tentu saja, goblok sekali aku.
“Biasanya mesen apa?”
“Steak, aku suka tenderloin.”
“Kalau aku nggak bisa ngebedain sirloin dengan tenderloin. Aku cuma bisa ngebedain steak dengan rendang.”
“Dasar, selera kampung. Tenderloin lebih lembut dari sirloin.”
“O, begitu,” kataku sok bego.
“Lain kali kuajak kamu deh biar ngerasain makanan orang kota.”
Wah, bisa ditindak atasan aku karena melewati batasan antara konselor dan klien. Tapi untuk menjaga perasaannya kuiyakan saja dulu, urusannya nanti belakangan.
“Tapi kamu yang traktir yah,” jawabku seenaknya.
“Enak aja. Lagi pula murah kok, cuma belasan ribuan, terjangkau sama kantong mahasiswa.”
“Ya, kita lihat saja nanti, kalau sempat.”
“Seleramu memang perlu di-upgrade. Biar nggak malu-maluin.”
Nyebelin juga cewek satu ini, sok tahunya keluar lagi. Kalau ia bukan klienku pasti sudah kubalas.

“Gimana, ada lagi yang mau kamu ceritakan?”
“Kayaknya segitu aja dulu deh, lumayan juga ada yang bisa dicela. Hitung-hitung menghilangkan kesal karena dosen rese satu itu.”
O, jadi begitu yah. Aku ini cuma jadi tong sampah untuk menumpahkan kekesalannya.
“Sampai jumpa lagi kalau begitu. Selamat malam,” sapaku sambil bangun dan mempersilahkannya ke pintu keluar.
“Mas Hardi ada minggu depan?”
Ingin sekali aku menjawab kalau aku tidak jaga minggu depan. Lagi pula aku bisa minta tukar jadwal dengan temanku.
“Ya,” mulut usilku terlanjur berbicara.
“Kalau begitu aku ke sini lagi minggu depan, lumayan ada teman berbicara.”
“Silahkan, kalau aku ternyata tidak ada pasti ada temanku yang lain yang jaga.”
“Nggak ah, enakan dengan Mas Hardi saja. Enak, bisa dicela dan nggak marah,” katanya sambil tersenyum simpul.
Sialan juga nih cewek. Aku diam saja sambil sedikit tersenyum meringis menahan kesal.
“Dah… see you next week!” serunya dengan ceria.

Kulambaikan sedikit tanganku tanpa berkata apa-apa. Segera aku masuk ke ruang santai tempat Maria sedang nonton tivi dengan mengambil nafas panjang. Sinetronnya sudah selesai.
“Ada apa, klien sialan lagi.” Seharusnya kami tidak boleh menyebut sialan terhadap klien, tapi ini sudah menjadi rahasia kami berdua, sekedar untuk menumpahkan kekesalan kalau ada klien yang agak mengganggu.
“Iya nih, klien sok tahu. Aku jadi sedikit pura-pura bego.”
“Ha…ha…, bukannya kamu bego betulan.”
“Enak, aja! Kalau aku bego jangan minta diajarin kalkulus lagi yah.”
“Gitu aja kok sewot.”
“Habis ia betul-betul nyebelin sih Mbak. Sok tahunya itu nggak ketulungan. Sok pintar. Ingin sekali kukerjain, sudah gatel rasanya.”
“Tumben kamu sewot, bukannya kamu biasanya paling sabar menghadapi klien. Kemarin ibu yang cerewet itu kamu hadapi dengan tenang sekali.”
“Mbak kan tahu aku paling males menghadapi masalah cinta.”
“O, jadi tadi kamu jadi dokter cinta. Nggak pernah punya pacar kok jadi dokter cinta.”
“Hei, nggak harus pernah jantungan untuk jadi dokter jantung!” debatku.
“Ya sudah. Cuma mbak heran saja, soalnya kamu biasanya cukup tenang. Pasti ada yang mengganggu pikirinmu.”

Aku diam sejenak. Iya juga sih, mungkin karena egoku sempat terinvasi tadi. Ah, kupikir tidak juga, aku pernah menghadapi bapak-bapak yang lebih sok pintar tapi aku masih tenang-tenang saja. Apakah aku bereaksi seperti karena ada sesuatu di alam bawah sadarku? Entahlah.
“Entahlah mbak, kesel saja rasanya.”
“Ya sudah. Cerita saja sama mbak, ayo, keluarin aja semua.”
“Anak itu sepertinya suka merendahkan orang lain.”
“Sebentar, mbak potong dulu. Namanya siapa.”
“Dwina.”
“Nama yang manis, orangnya manis nggak?”
“Nggak, jelek!” kataku seenaknya.
“Coba dipikir dulu, manis apa jelek?” katanya menggodaku.
“Mbak, serius nih. Ia menganggap aku anak kampung, ingin sekali aku langsung mengeluarkan KTM-ku untuk menunjukkan kalau aku kuliah di kampus paling terkemuka di negeri ini.”
“Biarkan saja. Toh IP-mu jeblok juga kan.”
“C di kita sama dengan A di kampus lain.”
“Sepertinya ada yang lain yang kamu rasakan.”
Mbak Maria memang paling tahu perasaanku, lebih dari aku sendiri. Memang ada sesuatu yang membuat aku kesal, yang aku tidak bisa jawab.
“Entahlah mbak.”
“Kamu biasanya kan nggak pernah tersinggung dikatain goblok. Pasti ada apa-apa nih. Kamu ingin tampil beda di depan dia yah?”
“Ngapain juga tampil beda.”
“You wanna try to impress her.”
“Hmm…,” aku cuma mampu menggumam. Ada benarnya juga kupikir. Tapi tetap saja pertanyaanku belum terjawab sepenuhnya. Kenapa aku punya keinginan seperti itu?
“Biasanya kamu selalu bisa pegang kendali. Nampaknya kali ini kamu kena batunya. Hati-hati, permainan kali ini bisa lepas kontrol.”
“Iya mbak, aku harus mawas diri,” ujarku membatin.
“Ada klien baru tuh, biar mbak saja. Kamu endapkan betul apa yang terjadi barusan.”

Maria melangkah ke ruang konseling meninggalkanku yang masih penuh dengan pikiranku sendiri.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home