Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Monday, May 30, 2005

Bab 1 HARDI

Malam itu tidaklah berbeda dengan malam-malam biasanya. Gelap, dengan sedikit penerangan lampu jalan yang sebentar mati sebentar hidup. Sialannya, jalan itu pun cukup sepi dari lalu lintas, sehingga tidak bisa berharap banyak dari penerangan lampu mobil yang lewat. Cukup seram, sebenarnya. Cuma karena aku sudah biasa, makanya dengan cueknya aku berjalan sepanjang jalan itu. Cuaca pun cukup dingin, khas daerah Bandung bagian utara. Dan seperti biasa pula aku memakai jaket kesayanganku yang kumal, yang telah menemaniku sejak aku menjadi mahasiswa. Malam ini giliranku untuk berjaga di biro konsultasi, tempat magang aku sebagai seorang konselor.

Malam itu aku bertugas sendiri karena partner-ku, berhalangan hadir. Maklum, musim mid-test. Agak bosan sebetulnya berjaga sendirian, hanya ditemani TV yang acaranya sinetron melulu, atau paling film Cina ngamuk (film kungfu maksudnya). Aku berharap ada orang yang datang berkonsultasi, biar nggak sepi-sepi amat.

Sambil nonton sembari berkhayal, aku membayangkan ada klien yang datang. Wanita, cantik, putih, rambut ngebob, mirip Winona Ryder. Tampang indo sedikit, pas sesuai dengan seleraku.
Sebelum dia menyapa, kusapa dia duluan, “Selamat malam, mbak, ada yang bisa saya bantu,” sapaan khas yang selalu diucapkan untuk menyambut klien.
“Maaf Mas, mau nanya, ini alamatnya nomor 17 bukan?”
Lah… Cuma numpang lewat nanya alamat. Namanya juga khayalan…

Tak lama berselang ada klien betulan yang masuk. Melihat penampilannya sekilas sepertinya mahasiswa. Semakin mendekat makin jelas rupa dan raut wajahnya. Seorang mahasiswi rupanya, lengkap dengan jaket sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Biasanya kalau klien yang model begini, kalau nggak masalah kuliah pasti masalah cinta. Kalau masalah kuliah, dengan senang hati kubantu. Hitung-hitung ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, pikirku. Kalau masalah cinta, sebenarnya aku agak setengah hati untuk membantunya. Bosan… Masalahnya pasti itu-itu saja. Cowoknya selingkuhlah, dianya sendiri yang selingkuhlah, pokoknya selalu masalah orang ketiga. Paling-paling variasi lainnya hanyalah hubungan yang tidak direstui orang tua, terus backstreet.

Kusapa dia, “Selamat malam, Mbak, ada yang bisa saya bantu.”
Sekilas kutatap raut mukanya. Biasa saja, agak ceria malah. Kulit sawo matang dengan hidung khas Jawa yang agak pesek dan mata sedikit belo tapi cukup menarik. Secara keseluruhan kuberi nilai 6,5, C+.

Dia tidak langsung menjawab, melainkan sedikit terbatuk dulu, seakan membersihkan tenggorokannya lebih dahulu.
“Ini biro konsultasi, ya Mas.”
“Betul,” jawabku, “ada yang bisa saya bantu.” Kuulangi lagi sapaan pertamaku seakan tadi dia tidak menangkapnya.
“Di sini bisa terima konsultasi masalah cinta nggak ya?”
Tuh, kan, cinta lagi, cinta lagi, gerutuku dalam hati.
“Mari silahkan masuk dulu,” kataku dengan ekspresi yang sebenarnya dibuat-buat.
Memang kami telah dilatih untuk mengontrol perasaan pribadi untuk tidak menampilkannya di depan klien.

Kubuka pintu ruangan konsultasi sambil berteriak ke satpam di depan yang kudakwa merangkap resepsionis malam ini, “Pak Joko, nanti kalau ada yang datang suruh tunggu di depan dulu, yah.”
“Ya, den.”
Aku duduk dulu di kursi konselor sambil mempersilahkan ia duduk. Kunci pertama, buat klien serileks mungkin
“Nama saya Hardi,” sambil kuulurkan tanganku, “dengan mbak siapa?”
“Panggil saja Dwina.” “OK, mbak Dwina, santai saja, terserah mau mulai dari mana.”
“Begini mas, hubungan saya tidak direstui orangtua pacar saya.”
Hmm, aku bergumam sambil manggut-manggut.
Lalu ia melanjutkan, “Ibunya nggak setuju ia punya pacar lain suku dan lain agama.”
“Dia suku apa,” tanyaku sekenanya.
“Cina.”
Ah, masih ada saja orang yang mempersoalkan perbedaan suku di jaman kemerdekaan ini.
“Lalu…,” ujarku seraya menunggu jawabannya.
“Sekarang kami tidak lagi diijinkan bertemu. Jadi kami backstreet. Dan hari ini ketahuan sama ibunya, dan kami pun bertengkar hebat karena ia membela ibunya.”
“Maaf saya potong dulu, bisakah Mbak ceritakan latar belakang keluarga Mbak dan juga keluarga dia?”
“Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak saya baru saja menikah dan adik saya baru saja masuk kuliah. Saya sendiri sedang skripsi. Orangtua keduanya di Jakarta dan saya tinggal di asrama mahasiswa. Orangtua dia orang kaya, dan dia anak tunggal sehingga sangat dilindungi. Over-protective. Ibunya nggak ingin belajarnya terganggu. Cuma kupikir sih ibunya memang tidak suka padaku.”
“Jadi kamu anak kedua, yah,” seakan aku benar-benar berminat dengan ceritanya, dan memancing dia untuk bercerita lebih dalam tentang dirinya.
“Ya,” jawabnya singkat.
Ia berhenti sejenak, entah memikirkan apa. Aku pun diam sambil memeluk buku-buku jariku sendiri.

Saat-saat diam seperti ini kadang-kadang bisa bercerita lebih banyak dari kata-kata. Voice of the silence. Cuma butuh kepekaan yang sangat dalam untuk bisa menangkap makna sebuah diam. Aku sendiri belum sampai ke tahap itu, maklum masih belajar, namanya juga magang. Hampir semenit rasanya kami berdiam diri berdua seperti itu. Kuangkat mataku dan kutatap wajahnya untuk menunjukkan rasa percaya diriku. Cuma saja aku tak berani menatap matanya. Aku belum setangguh itu. Menatap mata adalah menatap relung hati yang terdalam. Di sana kau bisa menemukan berlian, atau pun kebalikannya, limbah membusuk yang telah menahun. Aku takut. Takut untuk mengetahui kebenaran. Butuh keberanian yang luar biasa untuk menguak sebuah kebenaran.

Kami yang masih magang memang tidak disarankan tidak untuk masuk terlalu dalam. Bila kami menemukan indikasi-indikasi kasus klinis, kami harus segara meneruskan kasus tersebut ke psikolog beneran. Kami memang hanya berfungsi sebagai pembuka jalan. Memang dibutuhkan ribuan jam terbang untuk profesi seperti ini, seperti halnya juga pilot. Bedanya kalau pilot hanya menghadapi beberapa jenis pesawat. Sedangkan kami menghadapi manusia, yang satu sama lain tidak ada duanya. Semuanya unik. Setiap klien adalah cerita tersendiri.

Melihat bahwa kami menghantam sebuah tembok es, aku berusaha mencairkan suasana.
“Mau minum?” tawarku (bukan basa-basi).
Kelihatannya ia bingung untuk menjawab ya atau tidak.
Sebelum ia menjawab aku sudah berkata, “Kopi atau teh.”
Ini adalah trik. Membatasi pilihan dengan tidak memberi ruang untuk jawaban lain. Dalam beberapa hal memang jelek, namun ini sangat efektif untuk orang yang agak bingung memilih.
“Kopi saja,” jawabnya singkat.
“Tunggu sebentar yah. O ya, mau yang manis?”
“Nggak, saya sendiri sudah cukup manis kok,” katanya sambil agak nyengir.

Hmm, kayaknya tembok esnya sudah mulai mencair. Memang, manis juga ia kalau tersenyum. Sayang, seleraku bukan yang model begini. Huss, nggak boleh naksir sama klien.
Sambil membuat kopi aku mulai memutar otakku mulai menyusun rekonstruksi dari cerita yang ia sampaikan. Anak kedua dari tiga bersaudara. Aku biasa menyebutnya dengan anak-tengah-complex. Anak tengah seperti halnya juga anak sulung, bungsu atau pun tunggal memiliki problematikanya sendiri. Misalnya anak sulung cenderung menjadi control freak. Anak bungsu manja tentunya, sehingga cenderung lambat mandiri. Yang tunggal biasanya lebih parah lagi. Bukan hanya manja, tapi juga sulit bergaul karena memang tidak ada teman bermain di rumah. Anak tengah sendiri cenderung merasa disingkirkan, karena tidak mendapatkan tempat khusus, bukan sulung yang bossy, atau pun bungsu yang dimanja. Semacam anak yang dilupakan. Apalagi kalau adik bungsu yang lahir dengan jarak waktu yang cukup lama, lebih dari lima tahun misalnya. Adiknya yang bungsu sering dianggapnya sebagai perampas hak bungsu yang pernah dimilikinya. Cuma saja setiap orang berbeda-beda. Jadi aku tidak boleh mengambil kesimpulan terlalu dini.

“OK, ini dia kopinya. Kalau kurang manis, bisa ngaca sendiri yah,” kataku tak mau kalah.
Ia nyengir lagi, kali ini terlihat sederetan giginya yang putih bersih dan berkawat. Hmm… Pasang kawat gigi rupanya. Tipikal orang yang memperhatikan penampilan. Dan dari kalangan ekonomi mampu rupanya.
“Kamu memang suka ngopi?” tanyaku sekedarnya, sambil memanfaatkan momen untuk menjalin keakraban.
“Lumayan, terutama kalau ada ujian.”
“Kalau aku sih sudah nggak mempan. Minum kopi terus langsung tidur juga bisa.”
“Udah resisten sama kafein kali.”
“Ya. Tapi aku ada cara yang lebih efektif. Garam. Menghisap uap garam.”
“Ha?” agak terkejut ia nampaknya.
“Nggak percaya, coba saja sendiri. Efektif banget lho.”
“Awas ya kalau bohong.”
“Ngancem nih…”
“He… he…, “ tawanya kecil.
Semakin diperhatikan, imut juga nih anak.
“Nanti deh kubuktikan untuk nonton bola nanti malam.”
“Wah, cewek ada yang suka bola juga yah…”
“Ya dong, bola kan bukan hanya monopoli laki-laki.”
“Klub favoritmu apa.”
“Juventus.”
Klub musuh bebeyutanku. Klub yang paling dibela wasit.
“Pasti kamu cuma ngelihat Del Piero-nya.”
“Ya juga sih. Habis ganteng.”
“Kamu nonton bolanya apa pemainnya.”
“Ya dua-duanya. Emangnya nggak boleh suka ngelihat cowok ganteng. Emangnya cuma cowok yang boleh ngecengin cewek. Emansipasi dong.” katanya sedikit emosi, entah beneran entah dibuat-buat.
“Lho, tapi kan yang penting jago mainnya apa nggak. Biar tampangnya jelek asalkan mainnya OK.”
“Alah, nggak usah munafik lah. Suka nonton tenis cewek kan. Jangan bilang kamu nggak suka Anna Kournikova. Apalagi kalau roknya agak ngangkat waktu mukul bola.”
Wah, diskak mat aku.
“Tapi cowok kan beda. Dari sononya memang udah begitu,” kataku masih mencoba berkelit, padahal sudah jelas aku kalah.
“Dasar cowok,” katanya dengan sedikit melengos.
Agak galak juga rupanya. Nyelekit.
“Cowok kamu begitu nggak,” aku mencoba dengan sedikit manuver untuk kembali ke pembicaraan semula.
“Sama juga sih. Kaummu itu memang susah. Otaknya sepuluh senti di bawah pusar semua.”
Wah, kritis juga nih cewek.
“Tapi suka kan?” kataku asal-asalan, karena aku sendiri sudah kehilangan kata-kata.
Dengan sedikit melengos ia berkata, “Apa boleh buat, kami kaum perempuan tidak bisa memproduksi sperma sendiri. Di luar negeri kayaknya lebih enak deh, bisa ke bank sperma.”
Wah, wanita modern nampaknya. Boleh dibilang aku cukup tertipu dari kesan pertama sewaktu memandangnya. Independent women.
“Kalau begitu tinggalin aja cowokmu. Aku percaya masih banyak cowok yang mau donor sperma untukmu.”
“Andaikan saja bisa begitu. Aku sudah terlanjur sayang sih sama dia,” nada suaranya mulai sedikit turun.
Nampaknya kami mulai memasuki titik yang agak sensitif. Aku nggak boleh main-main lagi, saatnya untuk lebih serius.
“Memangnya sudah berapa lama kamu jalan sama dia?”
“Masuk tahun ketiga,” jawabnya singkat.
“Wah cukup lama juga. Pantas saja kamu sayang banget sama dia.”
“Yah, begitulah. Makanya aku ke sini, siapa tahu bisa ngasih solusi.”
“Kamu kenalan dengan dia di mana?”
“Dia senior satu jurusan, setahun di atasku.”
“Kenalan waktu ospek ya.”
“He eh.”

Dasar senior. Trik kotor yang sudah biasa dimainkan. Trik good boys bad boys. Salah satu dari mereka akan berlaku sebagai bad boy, lalu datanglah seorang lagi yang akan menjadi juru selamat. Anak baru yang polos pun akan merasa diperhatikan dan jatuhlah ia ke tangan senior-senior sialan itu. Ah, aku kayaknya terlalu melebih-lebihkan. Banyak kok dari mereka yang akur-akur saja sampai sekarang. Mungkin aku agak sengit soal ini karena aku memang tidak setuju dengan segala jenis perpeloncoan seperti itu apa pun namanya, ospek, mapram, whatever.

“Den, ada Mbak Maria, tuh di luar,” kata Pak Joko setengah berteriak untuk memastikan bahwa aku mendengarkan kata-katanya.
“Tunggu sebentar ya Dwina, ada temanku di luar mencariku. Paling satu menit kok,” kataku sambil bergegas bangkit dari kursiku.
“Nggak apa-apa. Aku juga sudah mau pulang. Kapan aku bisa datang lagi?”
“Kapan saja,” kataku.
“Tapi ketemu Mas Hardi lagi nggak.”
“Kalau mau ketemu aku, aku pasti di sini hari Rabu dan Sabtu.”
“OK deh aku akan ke sini lagi Rabu depan.”
Tentu saja ia tidak bisa datang Sabtu besok, kan acara malam mingguan. Dan terus terang aku dapat selalu dapat tugas jaga Sabtu juga karena teman-temanku yang lain malam mingguan. Nasib…
“Sampai jumpa minggu depan.”
Begitulah cerita kami bermula. Biasa saja, seperti juga dengan puluhan klien yang kami tangani. Tidak ada yang luar biasa.

1 Comments:

Blogger Sephire said...

hem.. bikin ketagihan juga nih bacanya. kok mas oni nga bilang2 lagi bikin novel :D

10:36 AM  

Post a Comment

<< Home