Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Tuesday, May 31, 2005

BAB 4 HARDI

Angin sepoi-sepoi di kampus sungguh meningkatkan semangat hidup (semangat untuk kuliah nanti dulu!). Apalagi di pagi yang cerah seperti ini. Keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang mewah di Bandung. Hampir setiap pagi di Bandung seperti ini. Memang Bandung dari sononya dibangun untuk menjadi sebuah tempat peristirahatan orang Belanda. Apalagi daerah Dago, tempat perumahan mereka yang sampai sekarang masih menjadi tempat kediaman orang-orang kaya. Tapi yah itu, namanya juga kota yang didesain sebagai sebuah tempat peristirahatan, kadang kala aura malas semacam membuai badan sehingga enggan berpikir dan bekerja. Entah hal seperti ini juga dialami oleh Bung Karno dan angkatannya yang dulunya juga kuliah di TH (Technische Hogeschool) ini. Lagi pula Bung Karno semasa mudanya juga anak kos, sama halnya dengan kami-kami ini. Entah siapa yang punya ide gila untuk membangun sebuah sekolah teknik di tempat peristirahatan, yang mestinya lebih cocok dibangun sekolah perhotelan seperti NHI.

“Di!” sebuah seruan membuyarkan lamunanku.
Si Andre, anak sialan itu rupanya. Ia termasuk anak pagi. Cuma sayangnya ia bukan datang pagi karena rajin, melainkan untuk menyalin PR. Rajin juga sih, rajin menyalin! Mungkin kalian terkejut karena kebiasaan menyalin PR itu bukan hanya kebiasaan anak-anak SD, melainkan juga kebiasaan mahasiswa. Lagi pula tidak banyak yang merasa keberatan dengan hal ini, kecuali dosen tentunya! Mahasiswa sejak masuk sudah diajarkan untuk bersolider dengan sesamanya oleh seniornya. Nampaknya mahasiswa mengartikan makna solider ini juga termasuk solider membagi PR dengan teman sekelas. Setahuku tidak ada yang pernah mencoba untuk menjadi mahasiswa “sombong” yang tidak mau membagikan pekerjaannya. “Sombong” sewaktu ujian mungkin, tapi PR, no lah…
“PR Termo udah belum…”
“No 8 belum. Nggak cocok sama kuncinya.”
“Nggak apa-apa,” tanpa basa-basi ia langsung menjambret lembar kertas dari tanganku.
“Liat Johan nggak. Dia pasti bisa.”
“Johan itu pasti telat datangnya. Tenang, nanti kita nyalin di kelas aja, duduk di belakang,” kataku seenaknya.
Andre langsung mencari tempat untuk menyalin dan aku ikut dengannya. Meskipun ia malas tapi sebenarnya otaknya encer, jadi ia bisa diharapkan untuk memeriksa PR-ku sekalian ia menyalin. Jadilah kami berdua duduk, ia menyalin sesekali mengoreksi kerjaanku.
“Kalau aku punya Dora Emon aku pasti minta MESIN PENJAWAB TERMO”, kataku tanpa berpikir.

Ha…Ha… Kami berdua tertawa terbahak-bahak berdua. Anak-anak farmasi yang manis-manis langsung menoleh ke kami, yang tertawa tanpa sebab yang jelas. Kami cuek saja. Itu pemandangan biasa kok. Mahasiswa teknik memang setengah gila, kalau nggak gila beneran.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home