Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Sunday, June 05, 2005

Bab 11 HARDI & DWINA

Kustop angkot pertama ke arah Cilaki yang pertama kutemui. Tanpa banyak pikir aku naik dalam angkot yang tinggal menyisakan satu tempat duduk dalam formasi 4-6. Aku merasa sedikit gembira dan tersanjung karena terpancing dengan makan gratis. Kapan lagi kupikir? Selama ini aku tidak pernah ditraktir klien. Meskipun sebenarnya ini dilarang tapi kupikir sekali-kali nggak apa-apa lah. Cuma sepiring steak kok, bukan apa-apa.

Tak berapa lama aku naik baru aku sadar. Loh kok kayaknya ada yang aneh. Yang duduk di sebelahku semua kok dandanannya menor-menor semua. Setelah kuperhatikan lebih lanjut, aku baru sadar, aku seangkot dengan bencong semua! No offense. Bukan berarti menyinggung, cuma rasanya aneh saja. Lagi pula inilah cara mereka mencari nafkah. Aku hanya berusaha untuk tidak menghakimi, itu saja. Belakangan aku baru sadar bahwa untuk tidak menghakimi bukanlah perkara yang mudah. Kita, manusia fana yang cuma secuil ini, selalu sok alim, sok baik di muka Tuhan maupun manusia. Kita selalu merasa diri kitalah yang paling benar, yang lain salah semua. Anak-anak kita kelakuannya tidak pernah benar. Mereka seharusnya lebih rajin, lebih sayang kepada orang tua. Orang tua kita juga tidak pernah benar. Mereka seharusnya lebih perhatian, pulang kerja lebih sore, memberi uang jajan lebih banyak. Suami kita tidak pernah benar, mestinya ia berpenghasilan lebih besar, tidak sering dinas keluar kota, tidak pernah lupa hari ulang tahun perkawinan. Istri kita tak pernah benar, selalu marah-marah, tidak pernah dandan, mengejar karir melulu sehingga melupakan suami. Pacar kita tidak pernah benar, matanya masih suka ngelirik yang lain, janjian suka mungkir, berantem melulu bawaannya. Tetangga kita tidak pernah benar, mereka suka sok tahu, iri hati kalau kita membeli barang baru, tidak mau memotong dahan yang menjulur ke rumah kita. Guru kita tak pernah benar, selalu memberi banyak pe er, suka mukul, kerjanya jualan buku tapi sering bolos. Murid kita tak pernah benar, selalu terlambat, kerjanya cuma bisa mencontek saja, seragam tidak pernah dimasukkan. Kucing kita bahkan juga tidak pernah benar, malas menangkap tikus, tahunya hanya mencuri makanan. Dan daftar ini terus bertambah, presiden, menteri, polisi, tentara, pedagang, sopir, paman, bibi, kakek, nenek, pembantu, dan lain-lain, dan lain-lain, dan di atas itu semua itu tentu saja Tuhan. Tuhan tidak pernah mengerti kita. Kita sudah shalat, sembahyang, baca kitab suci, doa rosario, novena, puasa, mati raga, ziarah, naik haji, memberi zakat, perpuluhan, ke gereja, mesjid, kelenteng, kuil, pura, vihara, sinagoga, apa pun namanya tapi nasib kita seperti begini-begini saja.

Ah, tak terasa sudah sampai di dekat Cilaki, tinggal berjalan kaki sedikit saja. Perasaan tidak enak tiba-tiba menyelimuti perutku. Apakah ini pertanda buruk atau malah baik? Kulayangkan pandanganku sedikit was-was seakan takut tidak akan bertemu dengannya. Hei, kenapa aku tiba-tiba takut tidak bertemu dengannya! Bukankah di antara kami tidak ada hubungan apa-apa. Apakah aku telah melewati batas dengan menembus batas emosional konselor dan klien yang seharusnya memang tidak kulewati? Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri tenda-tenda penjual makanan di Cilaki. Belum terlihat batang hidupnya. Aku mencoba menghibur diri dengan berpikir seandainya pun ia tak datang aku tidak akan terlalu kecewa. Siapa tahu ia ada halangan, ada keperluan lain yang mendadak. Mungkin tiba-tiba ia mendadak ada urusan dengan teman-temannya. Atau… ia ada janji mendadak dengan cowoknya. Loh, kok aku cemburu? Memangnya aku siapa? Wah, kacau nih. Pertahananku sudah mulai bobol, aku harus menyusun kembali semua pertahananku. Mudah kok. Aku dari dulu sudah terlatih untuk itu. Teknik kompartementalisasi perasaan. Sebuah perasaan ditempatkan ke dalam sebuah kompartemen, yang tidak boleh dicampurkan dengan perasaan induk yang menjadi sumber energi kita. Tidak apa kita merasa sedih atau cemburu, yang penting adalah tidak mencampurkannya dengan perasaan inti kita. Perasaan itu boleh saja hadir, tapi langsung diisolasi. Aku merasa lebih baik sekarang.

Sudah sekitar lima menit aku celingak-celinguk di sana dan tidak melihat bayangannya. Perasaan was-was mulai berganti dengan perasaan lega. Kalau ia tak datang pikirku, aku malah tidak akan terjerumus terlalu jauh ke dalam perasaanku. Kuputuskan dalam lima menit lagi kalau ia tak datang, aku akan pulang. Satu-satunya yang kusesali hanya acara makan-makan yang tertunda.

Satu menit lagi aku akan pulang. Sudahlah kupikir, mungkin sedang tidak rejeki. Sebuah angkot berhenti tepat di depanku. Beberapa orang penumpang turun. Mulanya aku berharap ada dia di antara mereka yang turun. Orang pertama, orang kedua, orang ketiga, dan orang ke empat. Ia tidak ada di dalam angkot itu. Kukuatkan niatku untuk pulang. Sudah terlalu lama aku menunggu.

Baru saja aku naik angkot kembali ke tempat kosku, aku melihat ia sekelebat berlalu. Ia baru turun dari taksi. Cepat-cepat aku turun dari angkot dan minta maaf pada sopirnya.
“DWINA!” teriakku.
Ia langsung membalik dengan senyumnya yang mengembang. Duh, manisnya…
Sedikit perasaan lega bergulir di dadaku. Paling tidak ia menempati janjinya.
“Kau baru datang?”
“Ya baru saja,” kataku berbohong.
Ia langsung menarik tanganku tanpa aba-aba. Aku yang tidak siap sempat sedikit tersentak, dan ragu. Setelah tersadar, aku hanya bisa menurutinya, tidak ingin menyakiti hatinya. Bahkan aku tak tega berbohong kalau aku sudah menunggunya cukup lama, dan sudah akan pulang. Aku yakin ia pasti punya alasan untuk datang terlambat.
“Kita kemana?”
“Ikut saja, percaya deh sama aku,” katanya setengah memerintah dengan nada ceria.
Andaikan aku bisa seceria dia, dengan pikiran yang dipenuhi dengan banyak skenario di otakku.
“Sorry yah, kelamaan, kupikir kamu sudah nunggu lama, tadi temanku nelpon, nanyain tugas.”
“Angkotku juga kelamaan ngetem di simpang,” kukarang sebuah cerita.
“Kalau gitu pas bener yah, jadi kamu nggak nungguin aku.”
“Yah.”

Tak lama kemudian kami sudah duduk berhadapan di sebuah tenda sederhana. Warung tenda yang sebenarnya biasa-biasa saja, yang aku tidak tahu keistimewaannya dibandingkan dengan warung tenda yang lainnya. Langganannya kali.
“Mau makan apa?”
“Waduh nggak tahu, nih, kamu makan apa?”
“Ini aku kasih tahu, kalau tenderloin itu lebih lembut, kalau sirloin itu lebih kenyal, kalau T-bone bertulang dengan sedikit tenderloin, mirip rib.”
“Rib tulang iga maksudmu?”
“Iya lah, kamu ngerti Bahasa Inggris kan?”
Sok pintarnya keluar lagi. Tapi entah mengapa aku selalu berpikir untuk mengalah padanya. Apa karena ia masih berstatus sebagai klienku? Atau karena aku melihat sesuatu yang memaksa aku untuk jatuh kasihan padanya?
“Aku mesen T-bone saja.”
“Pak, T-bone dan tenderloin, sama milk-shake, o ya kamu minumnya apa?”
“Es teh lemon.”
“Satu ice lemon tea ya Pak.”
Sambil menunggu pesanan tiba, ia memasang lagi muka manisnya dengan gigi berkawatnya.
“Makasih ya, mau dateng nemenin aku.”
“Sama-sama, aku juga terima kasih sudah ditraktir.”
“Ah nggak apa-apa, murah kok.”
“Tapi aku tetap saja nggak sanggup, maklum anak kos, pas-pasan.”
“Ya, pas lapar pas ada yang nraktir,” godanya.
Kupaksakan sedikit untuk tersenyum.
“Katanya lagi bete…,” aku berbalik menggodanya.
Mukanya langsung berubah sejenak. Aku jadi sedikit menyesal mengungkit masalah betenya. Ia menghela nafas panjang. Matanya sedikit menerawang.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,” cepat-cepat aku minta maaf.
Ia masih diam, membisu.


Cukup lama kami saling diam, sampai pesanan datang. Ia pun makan sambil diam. Sungguh suasana yang sangat tidak mengenakkan. Siapa yang akan tahan akan keadaan seperti ini. Kalau ia ingin marah, marahlah. Semprotlah aku. Itu akan jauh lebih baik ketimbang diam seperti ini. Aku benar-benar kehabisan akal. Aku ingin membujuknya, namun aku takut kalau kata-kataku malah akan membuat keadaan semakin parah. Yang terdengar hanya denting pisau dan garpu kami ditambah obrolan orang di sekitar kami. Ya, kami makan sambil diam sampai selesai.

Selesai makan ia pun membayar dan langsung pulang tanpa menyapaku sama sekali. Ia pun berlalu meninggalkan aku yang masih bingung memikirkan kesalahan apa yang telah kuperbuat.