Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Tuesday, May 31, 2005

Bab 9 HARDI & DWINA

Malam minggu, malam yang panjang, kata orang. Kata orang kurang kerjaan lebih tepatnya. Bagi orang yang banyak aktivitas tidak ada malam yang terlalu panjang. Kalau bisa satu hari dibuat lebih dari dua puluh empat jam. Kalau bisa malamnya yang diperpanjang, biar bisa untuk istirahat. Siangnya cukup dua belas jam, malamnya diperpanjang menjadi dua puluh empat jam, total tiga puluh enam jam. Kalau siangnya juga diperpanjang dua kali lipat bisa berabe, jam kerja atau kuliah bisa panjang sekali. Yang kita butuhkan adalah malam yang panjang. Untuk tidur untuknya, dan untuk ngerjain pe er, terutama pe er termo.

Malam minggu, seperti biasa aku di sini. Malam minggu biasanya agak sepi, kalau tidak mau dibilang sepi sekali. Mengharap klien seperti adegan menunggu godot. Ayo tahu tidak godot itu apa? Pokoknya begitulah. Dan bukan hanya klien yang sepi. Konselor pun sepi. Hampir pasti setiap malam minggu hanya aku sendiri di sini. Konselor yang lain “punya kerjaan”. Kesepian ini bagi beberapa orang mungkin kedengarannya menyedihkan. Bagiku malah menyenangkan! Inilah malam kebebasanku! Malam di mana aku bebas mengerjakan apa saja, tanpa takut bangun telat besok karena kuliah pagi.

Malam ini aku membawa sebuah novel sebagai teman. Novelnya Sydney Seldon, lumayan untuk teman menghabiskan waktu, plus ditemani secangkir kopi, dan duduk selonjor di sofa yang empuk. Dan sofanya bukan sembarang sofa, melainkan sofa yang tipe reclining-seat. Wuah, nikmatnya malam mingguan di sini.

Tak terasa empat jam sudah berlalu begitu saja. Kopi sudah habis tiga gelas. Sebentar lagi aku sudah harus pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 9:14. Telepon sebelahku berdering.
“Biro Konsultasi BIRU, ada yang bisa kami bantu?” jawabku otomatis setelah mengangkat gagang telepon.
“Ini Dwina,” ia berhenti sejenak, “Mas Hardinya ada?”
“Saya sendiri. Kok tumben kamu nelpon?”
“Iya lagi bete nih.” Katanya sih bete tapi nada suaranya tidak menunjukkan tanda bete sedikit pun. Wah lagi bohong nih anak.
“Bete yang mana nih?” tanyaku asal.
“Emang ada berapa jenis bete?” sahutnya cepat.
“Yang pertama bosan total, yang kedua butuh tatih-tayang, yang ketiga birahi tinggi…”
“Asal…”
“Kok bete, habis malam mingguan mestinya kan ceria. Lagi pula masak jam segini udah bubaran malam mingguannya, kan masih pagi.”
“Hei, terserah gue dong pengen bubaran jam berapa?” suaranya mulai menaik.
Tiba-tiba terbersik keinginanku untuk membalas dendam.
“Kamu kalau bete kok nelpon ke sini. Cowokmu dikemanain?”
Sejenak ia diam, hanya terdengar nada diam di telepon. Mungkin aku telah menyinggungnya. Sedikit menyesal juga, bagaimana pun aku adalah seorang konselor. Kupikir aku telah melangggar batas. Harus kukembalikan lagi ke batas semula dengan segera.
“Ya, sudah, aku cuma bercanda kok. Ada apa Dwina?”
Ia masih diam.
Tak lama disusul isak tangis.
Kubiarkan ia menangis.
“Dwina aku di sini untuk mendengarkanmu…” suaraku langsung berubah menjadi rendah.
Aku langsung merasa kasihan. Tidak semestinya aku punya keinginan membalas, bagaimanapun ia adalah klienku, seorang yang harus kubantu.

Ada sekitar satu menit ia menangis.
“Mas Hardi…” suaranya melembut di sela isak tangisnya.
“Ya….”
“Ia nggak datang hari ini. Entah ke mana. Ngasih kabar juga tidak. Dan ini bukan yang pertama, ini sudah yang kesekian kalinya.”
“Hmm…”
Diam lagi. Ia butuh waktu. Kuberikan waktu itu untuknya.
“Aku sebenarnya nggak tahan lagi sama dia.”
“Ya, aku mengerti…”
“Aku menelepon ke sini, sebenarnya karena aku ingin ngobrol.”
“Ya…”
“Aku kesepian.”

Dilema buatku. Aku yang sekarang terdiam. Kami tidak seharusnya bertemu dengan klien di luar jam kantor, dan bertemu di luar kantor. Nampaknya pembicaraan ini mengarah ke sana.
“Kamu bisa bicara di telepon. Aku masih tetap di sini. Nggak apa-apa kok, mesti sudah lewat jam kantor.”
Kupikir jawabanku cukup bijak. Aku memberi kesempatan ia untuk curhat tanpa harus bertemu di suatu tempat dengannya. Aku masih ingin memberi jarak antara klien dan konselor. Bila batas itu ditembus ceritanya bisa berabe.
“Kita nggak bisa ketemu malam ini?” katanya sedikit berharap.
Pertanyaan yang sudah kuduga. Sekarang bola kembali dilemparkan ke aku. Bagaimana aku harus menjawabnya tanpa membuat ia tersinggung?
“Dwina, sebaiknya tidak. Kami terikat peraturan tidak boleh bertemu dengan klien di luar kantor.”
“Pertemuan biasa saja kok. Aku janji nggak curhat.”
“Dwina…”
“Aku janji tidak menangis lagi.”
“Dwina, aku tidak bisa.”
“Please…, aku butuh teman malam ini.”

I’m speechless. Aku benar-benar tidak tahu mau bilang apa. Di satu pihak aku kasihan padanya. Di pihak lain aku sadar kalau garis ini aku lalui konsekuensi bisa jadi besar di kemudian hari.
“Apa benar-benar harus malam ini?” tanyaku masih mencoba menghindar.
Pertahananku kelihatan sudah sedikit goyah.
“Ya dong, betenya kan sekarang, kalau besok nggak bete lagi.”
Kelihatannya ia sudah mencium goyahnya pertahananku.
“Bagaimana ya?” jawabku kebingungan sambil mencoba mengulur waktu.
“Aku traktir steak deh, terus aku ajarin ngebedain sirloin dengan tenderloin,” nadanya semakin berharap.

Tergoda juga aku mendengar kata “traktir”. Makan-makan adalah kata yang sensitif untuk seorang mahasiswa yang kirimannya pas-pasan seperti aku ini. Kelihatannya, ia sudah menyerang tepat pada sasarannya. Ah, what the hell, lah! Makan-makan nomor satu!

“Iya, deh...,” suaraku lemah seperti orang kalah.
“Asyik, aku tunggu di Cilaki yah!” suaranya berubah menjadi ceria, seakan melupakan bahwa beberapa menit yang lalu ia baru menangis. Ia memang bagaikan cuaca di musim pancaroba. Kadang panas, kadang hujan.
“Ya, aku berangkat sekarang.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home