Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Monday, June 06, 2005

BAB 14 HARDI

Aku tertidur. Terlalu lelah rupanya aku. Fisikku tak mampu mengimbangi jiwaku. Sekitar jam dua pagi aku terbangun. Masih diliputi perasaan bersalah. Aku tak bisa tidur kembali.
Aku pun bangun. Aku melangkah tak menentu. Keluar dari kamar. Keluar dari rumah. Mungkin aku butuh sedikit makan angin untuk mengembalikan akal sehatku. Aku pun ke depan, nongkrong di warung indomie terdekat.

“Indomie satu Bang!”
“Rebus apa goreng?”
“Rebus, pake telor, sayurnya yang banyak.”

Sambil menunggu indomie matang, aku masih terus melamunkan peristiwa tadi malam. Aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak bisa diam saja. Perasaan salah ini terlalu menyiksa. aku harus mencari jalan keluarnya. Mestikah aku ketemu Mbak Maria? Biasanya ia bisa membantu aku menjernihkan pikiranku. Ah, nggak perlu lah, persoalan sekecil ini saja! Tidak perlu lah merepotkan dia. Aku harus bisa mengatasinya sendiri.

Mie-nya sudah datang. Asap mengepul dari mangkuk yang masih panas. Baunya membangkitkan selera. Sayangnya seleraku sudah terbang entah kemana, enggan hinggap di mangkuk indomie yang panas. Untungnya malam ini tidak terlalu ramai. Aku bisa berpikir dengan tenang. Kuhirup uap panas dari mie, seolah hendak mengisap sarinya. Harumnya, seleraku sudah mulai bangun dari tidurnya.

Suapan pertama. Aku harus meminta maaf padanya. Entah bagaimana caranya. Aku tidak boleh menyalahi pakta yang sudah kubuat sejak aku kecil. TIDAK BOLEH MENYAKITI PEREMPUAN! Haram hukumnya!

Suapan kedua. Tapi bagaimana caranya. Nomor teleponnya aku tidak punya. Aku cuma tahu ia tinggal di asrama. Asrama yang mana. Ada bejibun asrama mahasiswa di Bandung. Memang aku tahu ia kuliah di mana dan jurusan apa dari jaket yang selalu dikenakannya. Tapi masak sih aku harus ke kampusnya. Bagaimana pun ia klienku dan aku konselornya. Yang bener aja!

Suapan ketiga. Aku harus cari cara lain. Apakah aku harus menunggu ia menelpon kembali ke biro? Memang itu adalah cara yang paling aman. Paling aman bagiku tentunya, entah bagaimana perasaannya. Tapi kalau ia betul marahan dan tidak mau lagi telpon ke biro bagaimana? Terlalu beresiko. Aku bisa kehilangan kesempatan, dan aku harus menanggung perasaan bersalah ini untuk waktu yang lama.

Suapan keempat. Aku harus menemui dia, tapi tidak boleh secara langsung. Aku harus mencari tempat yang lebih netral. Di mana tempat itu? Di mana…

Suapan kelima. Aku tahu. Aku bisa nongkrong di warung tenda langganannya. Dan pura-pura tidak sengaja bertemu dengannya. Ya, kupikir itu pilihan yang tepat. Kesannya kebetulan dan tidak dibuat-buat.

Suapan terakhir. Tapi apakah ia mau menerima permintaan maafku. Aku sendiri masih bingung, memangnya aku salah apa. Ah, sudahlah. Kita lihat saja nanti. Timing-nya kupikir harus cukup tepat. Mungkin aku harus menunggu paling tidak seminggu. Menunggu semuanya reda. Ada baiknya begitu. Selama seminggu itu pula aku harus menahan perasaan bersalah itu. Anggap saja itu adalah hukuman bagiku. Bayaran yang setimpal, supaya aku lain kali lebih dapat menahan diri untuk tidak menyakiti perempuan.

Tegukan air putih segelas. Kuputuskan begitu. Kutunggu seminggu. Dan aku akan nongkrong setiap malam di sana, moga-moga ketemu dengan dia.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Best regards from NY! » »

9:43 AM  

Post a Comment

<< Home