Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Monday, June 06, 2005

BAB 18 HARDI

Malam ini malam Minggu. Aku jaga sendirian lagi seperti biasa. Biasanya aku bosan. Tapi kali ini tidak. Bukan bosan, melainkan gelisah. Gelisah menanti apakah ia akan datang, atau paling tidak menelpon. Terus terang aku juga tidak tahu apa yang harus kukatakan kalau ia datang. Aku tidak tahu bagaimana aku harus minta maaf kepadanya. Aku memang bukan orang yang tidak mau meminta maaf, cuma saja aku memang bukan orang yang tahu cara meminta maaf yang baik. Mungkin oleh karena itulah aku tidak suka kalau aku berbuat salah kepada orang lain, karena setelah itu aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf.

Kegelisahanku benar-benar menutupi sensitivitasku. Biasanya aku bisa mengagumi dinginnya malam. Pekatnya gelap pun menjadi temanku. Namun kini semua tidak ada satu pun yang masuk ke dalam benakku. Hanya perasaan bersalah. Bersalah karena telah menyakiti dia. Perasaan itu belum berkurang, setelah dua minggu berlalu.

Ada suara orang mendekat. Diakah? Jantungku berdegup kencang. Sebisa mungkin kutahan kakiku untuk tidak segera bergegas ke depan melihat siapa yang datang. Aku tidak boleh kelihatan terlalu berharap, kupikir. Tenangkan pikiranmu. Bertingkahlah biasa saja, seolah tak ada sesuatu pun yang terjadi.

Sebuah suara yang asing terdengar, “Selamat malam.”
“Selamat malam, Bu,” kataku kepada seorang sosok ibu, “ada yang bisa saya bantu.”
“Saya mau konsultasi, dek, tadi langsung disilahkan satpam masuk.”
“Mari silahkan masuk,” sambil kusilahkan ke ruang konsultasi dan kubawa ke tempat duduk.
“Apa yang saya bisa bantu, Bu.”
“Anak saya, dek,” ia berhenti sejenak, “ia ingin menikah dengan orang berbeda agama.”
“Maaf, Bu, ibu beragama apa?”
“Kristen.”
“Kalau begitu anak ibu tentunya beragama Kristen juga, bukan?” terusku, “anak ibu putra atau putri?”
“Putra, putra pertama. Sudah sejak dulu ia kularang untuk pacaran dengan orang berbeda agama. Sekarang jadi masalah!”
“Pacar putra ibu agama apa?”
“Islam.”
Hm… Sulit, pikirku.
“Ibu, sudah berapa lama mereka pacaran?”
“Dua tahun. Setelah setahun ketahuan, terus saya larang, mereka malah main belakang,” katanya dengan emosi sedikit menaik.
“Ibu kenal dengan pacarnya?”
“Pernah dibawa ke rumah. Dikenalkan ke saya. Mulanya saya pikir teman segerejanya. Ketahuannya waktu diajak makan. Ia nanya ada babinya apa nggak?”
“Di keluarga ibu ada yang menikah dengan yang beragama lain?”
“Tidak ada, kami semua kristen taat. Tidak boleh menikah dengan yang beragama lain. Tidak mengakui Tuhan Yesus, tidak akan selamat di akhir jaman.”
“Ya Bu, saya paham maksud ibu. Di keluarga ibu ada yang menikah dengan suku lain?”
“Ada, tapi yah itu. Sulit sekali. Kebiasaannya beda. Agak sulit. Mereka nggak ngerti kebiasaan kita. Nggak bisa dekat gitu. Masih untung bisa ke gereja sama-sama. Coba bayangkan anak saya nanti, tidak bisa ke gereja sama-sama.”
“Anak ibu atau pacarnya tidak ada rencana pindah agama?” tanyaku menyelidik lebih dalam.
“Mereka berdua sama-sama keras.”
“Berarti mereka tidak masalah dengan perbedaan agama tersebut.”
“Tapi ya mana boleh begitu. Satunya lebaran, satunya natalan. Kan kacau, nanti kalau puasa siapa yang menyiapkan makanan untuk anakku, istrinya kan puasa.”
“Bu, perkawinan antar agama memang tidak gampang. Berlainan suku saja sudah cukup sulit, apa lagi lain agama. Ibu tidak salah dalam hal ini.”
“Betul, cuma ya itu. Anakku itu ya nggak mau ngerti. Katanya cinta bisa mengalahkan segalanya. Apa itu cinta? Aku dulu menikah juga nggak tahu apa itu namanya cinta. Buktinya langgeng-langgeng saja.”
“Jaman memang sudah berubah Bu. Anak sekarang mengagung-agungkan cinta. Mereka mana ada yang mau dijodohkan seperti jaman dulu.”
“Tapi, ya itu. Dinasehati ya nggak mau dengar. Apa bisa mereka saya ajak kemari supaya mengerti.”
“Ibu, penyelesaian masalah ini adalah di tangan keluarga ibu dan di keluarga pacar anak ibu. Saya hanya bisa memberikan sedikit pengertian. Pilihan tetap di tangan ibu.”
“Bagaimana itu?” kedengarannya si ibu sedikit bingung mendengarkan penjelasanku.
“Ibu, bagi umat Islam, seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan orang yang tidak beragama Islam. Sebaliknya seorang pria muslim boleh menikahi wanita non muslim. Dalam hal ini memang hukum tidak menguntungkan. Jadi secara hukum agama memang tidak akan dianggap sebuah perkawinan yang sah. Ditambah lagi di negara Indonesia ini, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sah secara agama. Perkawinan anak ibu tidak dapat direstui oleh negara juga. Satu-satunya solusi hanya menikah dengan hukum di luar negeri.”
“Berarti sulit sekali bukan? Akan saya beritahu anak saya.”
“Betul, Bu, sudah sewajarnya anak ibu tahu konsekuensi dari pilihan yang akan mereka ambil.”

Telepon berdering.
“Sebentar ya Bu,” aku melangkah menuju telepon dan mengangkatnya.
“Selamat malam, Biro Konsultasi BIRU di sini, ada yang bisa kami bantu.”
“Ini dari Dwina,” suara manis yang begitu kekenal terdengar di ujung telepon.
“Ini Hardi,” nadaku sedikit gemetar karena kegelisahan sudah merambat sampai ke perutku.
“Bisa kita bertemu malam ini?” suaranya begitu halus nyaris tak terdengar.

Jam jagaku masih satu jam. Aku tidak semestinya meninggalkan posku. Tapi keinginanku untuk bertemu dengannya sudah tak tertahankan.
“Ya, tunggu aku,” kuiyakan permintaannya tanpa berpikir panjang.
“Kutunggu di tempat biasa.”
“Ya, aku akan segera ke sana.”
Telepon ditutup terdengar. Hatiku semakin gelisah.

“Bu, maaf ya, saya ada panggilan mendadak. Ibu boleh kemari lagi kapan saja. Walaupun saya tidak di sini, ibu bisa berkonsultasi dengan rekan-rekan saya.”
“Ini juga sudah malam kok Nak. Nanti ibu akan kembali lagi, kalau bisa dengan anak ibu.”
“Jangan segan-segan ya Bu.”
“Terima kasih loh, saya sudah diberitahu sedikit mengenai aturannya.”
“Belum seberapa Bu, maaf harus terhenti seperti ini.”
“Saya permisi dulu.”
“Silahkan.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home