Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 22 HARDI & DWINA

Tak terasa sudah beberapa bulan aku sering bersama dengan Dwina. Bahkan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya di sampingku. Aku mulai menganggapnya sebagai adikku sendiri, adikku yang cerewet dan suka merajuk. Senang juga rasanya punya adik baru, karena aku sendiri harus berpisah dengan adikku yang masih sekolah di kampung asalku. Keceriaannya mulai mengisi hari-hariku. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, ia sering menggangguku, baik dengan telepon maupun dengan inspeksi-inspeksi mendadaknya. Kelakuannya melebihi adik kandungku sendiri. Manjanya kadang tidak ketulungan. Belum lagi ngambeknya. Selama ini aku masih tahan-tahan saja. Kadang ia malah kucueki sama sekali, terutama di saat aku sedang sibuk. Kadang aku tidak habis pikir, bukankah ia sedang sibuk skripsi, kok masih sempat-sempatnya menggangguku. Ya, sudahlah, kupikir. Ada baiknya aku biarkan saja. Hanya saja ia tidak pernah menyinggung tentang hubungannya dengan Steve lagi. Aku kadang penasaran, dan ingin sekali rasanya bertanya langsung kepadanya. Tapi aku masih bisa menahan diri. Ngapain juga, pikirku, pusing memikirkan urusan orang lain, urusanku sendiri juga tidak kalah banyak. Dan begitulah jadinya, aku tidak menyinggung sama sekali, dan ia pun tidak bercerita.

Hari ini Dwina mengajak aku ke gereja bersama, sebuah kegiatan yang belum pernah kulakukan dengan siapapun, bahkan dengan teman-temanku. Bagiku ke gereja, atau ke tempat ibadah mana pun mestinya menjadi sebuah acara yang sangat pribadi. Di sana kita bertemu dengan Tuhan. Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa orang harus ke gereja bersama-sama. Ke gereja bukanlah sebuah event sosial. Di sana kita menjadi sebuah pribadi, dilepaskan dari semua keterkaitan kita dengan dunia. Gathering setelah pulang gereja boleh saja sih dilakukan, tapi itu kan acara sesudah acara pokok! Bagaimana pun acara utamanya, tetaplah acara yang sangat pribadi.

Hal ini juga yang membuat aku sangat memilih-milih tempat duduk di gereja, tempat yang sepi. Tempat sepi di gereja, adalah sebuah tempat yang tak mudah didapatkan. Sebagai pedoman pertama: hindari rombongan muda-mudi, mereka senang berkelakar! Mereka itu sangat mengganggu konsentrasi. Pedoman kedua: hindari keluarga yang membawa anak kecil. Anak kecil memang lucu, tapi tidak di dalam gereja! Mereka menjadi setan kecil yang akan mengganggu konsentrasi Anda. Ia akan merengek, menangis, berjalan-jalan di koridor, dan lain-lain. Yang paling baik adalah duduk di dekat nenek-nenek. Merekalah yang paling khusyuk kalau berdoa, doanya lirih, kadang tak terdengar sama sekali. Di dekat mereka engkau dapat berkonsentrasi dengan penuh.

Itu baru gangguan suara, masih ada gangguan lainnya, gangguan mata. Kiranya sudah diketahui oleh umum kalau banyak orang yang ke gereja dengan pakaian mencolok, kadang malah seksi! Sebagai orang normal mau tidak mau mata ini tidak bisa dikendalikan. Dan konsentrasi pun terganggu dengan sendirinya. Ini biasanya penyakit gereja di kota besar. Aku pernah diceritakan oleh seorang pastor misionaris dari Prancis. Di sana, katanya, pernah dicoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan memberikan sebutir apel merah, ya betul, sebutir apel merah kepada wanita yang berdandan atau berpakai terlalu mencolok. Mungkin maksudnya untuk mengingatkannya akan kisah Hawa yang menggoda Adam di dalam Kitab Kejadian[1]. Kutanyakan padanya mengapa kita tidak mencoba hal yang sama di sini. Ia hanya tertawa. Aku menduga mungkin karena harga apel terlalu mahal sehingga bisa menggerogoti kas gereja. Atau, karena orang Indonesia tidak mempan disindir dengan cara halus barangkali?

Bagaimana pun aku harus menemani Dwina ke gereja hari ini, dengan setengah hati. Kujemput dia di asramanya pagi-pagi, karena aku tidak ingin terlambat. Lagi pula perjalanan ke gereja agak jauh. Ia suka ke gereja katedral. Aku sebenarnya tidak suka ke katedral, terlalu ramai, aku lebih suka ke kapel kecil yang tenang. Tapi baiklah kuturuti dia, namanya juga menemani.

Kutekan bel pintu asramanya. Ia langsung keluar membukakan pintunya. Rupanya ia sudah menungguku.

“Kupikir kamu mungkir janji.”
“Mungkir janji gimana? Kan masih pagi. Lagian mana mungkin aku berani mungkir janji dengan kamu.”
“Kamu pasti nggak tega.”
“Bukannya nggak tega, tapi kalau kamu nangis, nggak ada yang jualan balon,” kataku sambil menahan ketawa.

Dicubitnya lenganku sekencangnya dan aku juga mengelak dengan tak kalah gesitnya. Ia nampaknya kalah gesit denganku dan mulai mengejarku. Tentu saja aku bisa berlari lebih kencang karena memakai sepatu kets sedangkan ia memakai sepatu wanita yang agak tinggi. Tak lama ia mulai putus asa, ia berhenti dan tak mengejarku lagi. Itu justru sinyal yang tidak baik. Tandanya ia sudah mulai ngambek. Aku berbalik berjalan ke arahnya.

“Udah deh, kamu boleh cubit sepuasmu sekarang,” kataku pasrah.
Tanpa menunggu lagi langsung saja kedua tangannya beraksi, mencubit lenganku dengan sekuat tenaga.
“Au…, kok nyubitnya beneran, aku kan cuma becanda.”
“Terserah, pokoknya kamu nggak boleh marah.”
“Lho, kok gitu.”
“Soalnya…, ada deh!”

Tanpa mempedulikan aku ia sudah menyetop angkot. Dan begitulah semua berlalu begitu saja, tanpa kesimpulan, seperti hari-hari lainnya ketika ia bersamaku. Hari-hari menemani adik kecil yang suka mengambek.

Aneh juga rasanya ada orang lain di sebelahku, maksudnya orang yang benar-benar kukenal, dan pergi bersamaku. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Namun begitu ibadah sudah mulai, aku benar-benar putus hubungan dengan dunia luar. Ia tidak kuperdulikan sama sekali. Aku kembali menjadi diriku sendiri, tenggelam dalam dunia meditatif yang hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Setelah ibadat selesai aku baru menoleh ke sebelahku, ke arahnya. Ia masih berdoa dengan khusyuk, sekilas kulihat setetes air mata turun dari kedua matanya. Kembali aku menghadapi situasi yang tidak kupahami. Ia kembali ke dalam ruang kelam yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Ingin sekali aku ikut berbagi dengannya, namun di lain pihak aku takut. Ia terlihat begitu ceria dari luar seperti sebuah bola kristal. Hanya saja bola kristal itu begitu tipis, tersenggol sedikit akan pecah. Ingin aku melihat ke dalam bola kristal itu namun aku takut untuk membersihkan embun yang menutupinya. Aku takut menggosoknya, takut pecah. Sungguh sebuah dilema yang aku tak tahu bagaimana harus aku hadapi. Ingin sekali kuambil sapu tangan dan kuseka kedua matanya, namun tak kuasa aku menggerakkan kedua tanganku ini.

“Aku ingin bicara denganmu,” katanya tiba-tiba, sedikit mengejutkanku.
Aku hanya mengangguk perlahan, mengiyakan.
“Kita sebaiknya bicara di taman saja.”

Kami pun berjalan bersama menuju taman balai kota yang hanya terletak di seberang katedral. Sepanjang perjalanan ia memegang tanganku. Meskipun pagi hari taman sudah mulai ramai. Mungkin karena ini hari Minggu. Kami mencari tempat yang agak sepi dan mencari bangku untuk duduk.

Sambil duduk ia memegang kedua tanganku dan meletakkannya di atas pangkuannya.
“Mas, aku sudah tidak tahan lagi.”
Tanganku digenggamnya semakin erat. Air matanya mulai bercucuran lagi.
“Aku kemarin ke dokter. Penyakitku ternyata makin parah. Paru-paruku sudah rusak sebelah. Aku tak tahu masih bisa hidup berapa lama.”

Lama kami terdiam saling berpandangan. Rupanya beban ini yang telah lama dipendamnya. Inilah arti air matanya yang dari dulu tidak kupahami. Air mati kesepian, sakit dalam sepi. Dan mungkin pula mati dalam kesepian tanpa siapa pun yang menemani.

Tiba-tiba wajah mama berbayang di wajahnya. Rasa ini adalah rasa yang sangat kukenal. Rasa sayangku kepada mama. Seluruh simpatiku sekarang tertumpah kepadanya.

“Aku akan selalu bersamamu,” kataku mencoba menghibur meskipun kupikir tidak akan banyak membantu. Tangannya kini kugenggam erat dalam kepalanku.
“Mas Hardi. Aku sesungguhnya Mas anggap apa sih?”

Pertanyaan itu bagaikan sambaran petir di siang bolong bagiku. Pertanyaan itu telah meruntuhkan status quo di antara kami. Selama ini aku selalu menghindar dari pertanyaan itu walaupun hanya dalam pikiran. Kupikir aku tidak ingin ada yang berubah di antara kami. Biarlah ia menjadi teman mainku saja. Aku bukan tipe orang yang suka kehidupan yang penuh dinamika. Aku mau hidup tenang. Dalam ketenangan aku bisa berpikir dengan jernih dan berkarya sebaik-baiknya. Selama masa hidupku yang masih muda ini aku relatif bisa menjaga ketenangan itu. Sudah cukup riak besar yang ditinggalkan papaku. Butuh bertahun-tahun aku untuk menenangkan riak itu sampai perahu, yang berisi mama dan aku, benar-benar stabil. Dan aku tidak ingin merubah apa-apa selain menjaga mama supaya bahagia sampai hari tuanya.

Lama aku terdiam tak sanggup untuk menjawab pertanyaannya. Bahkan memandang langsung ke matanya pun aku tidak berani. Akhirnya setelah mengeraskan hati aku pun berkata terus terang dengannya.

“Dwina, aku menganggap engkau sebagai adikku.”
“Hanya sebagai adik?”
“Sebagai adik yang paling kusayangi.”

Dia tersenyum, matanya masih berurai air mata. Kali ini kuusap wajahnya yang basah dengan tanganku sendiri. Tangisnya benar-benar membuat aku semakin menyayanginya. Adikku. Adikku yang nakal namun sangat rapuh. Aku berjanji akan selalu melindunginya dan menjaganya. Seperti aku melindungi dan menjagai mama.

“Janji yah, kau akan selalu menyayangiku.”
“Ya, aku janji.”
“Apa pun yang terjadi!”
“Ya, apa pun yang terjadi. Kecuali kalau aku mati duluan.”
“Nggak mungkin,” ia pukul bahuku, “kamu kan nggak sakit!”
“Siapa tahu aku mati karena kamu pukul terus.”
“A…ah, tuh kan bercanda lagi!”
“Udah, nggak becanda lagi,” kupegang kedua pipinya dengan kedua tanganku, “udahan yah nangisnya, nanti jadi jelek.”
“Jelek gini juga kamu masih sayang kok.”
“Ya, aku akan tetap menyayangiku walaupun mukamu jadi kayak nenek-nenek.”

Ya, karena hanya aku yang ada untuknya. Seperti hanya aku yang ada untuk mama.

[1] Kitab yang mengisahkan awal penciptaan manusia di dalam Taurat.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home