Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 25 HARDI & DWINA

Sejak hari itu, ia makin dekat denganku. Meskipun sudah bisa menerima kehadirannya di dekatku, kadang perasaan risih itu masih ada. Ia adalah perempuan pertama yang melewati wilayah pribadiku setelah ibuku. Aku bukanlah seorang laki-laki yang terbiasa dekat dengan perempuan. Entah mengapa aku tidak tahu. Mungkin aku takut mengkhianati ibuku, sebagai satu-satunya perempuan yang kucintai di muka bumi ini. Hanya dengan ibuku aku bisa dekat tanpa merasa risih. Aku bisa memeluknya dengan perasaan penuh kasih sayang. Ada perasaan hangat di dada yang menyenangkan. Ada perasaan melindungi dan juga terlindungi. Perasaan itu tak pernah berubah sejak aku kecil sampai sekarang. Adikku pun tidak terlalu dekat denganku. Mungkin karena aku menjadi pengganti ayah bagi dirinya. Aku sering kali terlalu keras padanya sebagai figur otoritatif di rumah. Memang aku juga menyayanginya, hanya saja aku merasa bertanggung jawab atas dirinya, sebagai laki-laki paling tua di rumah. Begitulah adanya, kasih sayang memang ada, tapi tanpa kemesraan. Kemesraanku hanya untuk ibuku.

Aku sering kali masih menghindar kala ia memegang tanganku. Aku merasa itu sesuatu yang tidak pantas. Kadang-kadang ia menggenggam tanganku begitu eratnya sehingga tidak mungkin untuk melepaskannya tanpa membuat ia tersinggung. Perasaan tak enak itu terus kutahan. Meskipun ia sudah begitu dekat denganku, tetap saja aku tak terbiasa. Dan aku tak tega untuk memberitahukan kepadanya, bahwa sesungguhnya aku risih dengan pegangan tangannya. Waktu kupaksakan dulu di taman untuk menggenggam tangannya, hatiku bergejolak. Bagi orang lain mungkin itu merupakan suatu peristiwa yang biasa. Tidak bagiku. Begitu aku menggenggam tangannya, seakan aku telah bersumpah untuk melindunginya seumur hidupku. Aku tahu itu bukan apa-apa, tapi lagi-lagi, aku tidak bisa! Aku tak mau dia tahu bahwa genggaman tanganku sebenarnya bermakna sangat dalam. Cukup saja aku yang tahu. Kenapa sih aku tidak mau memberitahukan perasaanku kepadanya. Tidak! Bebannya sudah cukup berat. Aku tak perlu membagikan beban yang tak perlu padanya.

Hari ini aku janjian untuk bertemu dengannya di toko buku, menemaninya mencari buku. Huh, mencari buku saja minta ditemani, manjanya! Adikku saja mungkin langsung kuomeli kalau ngajak aku mencari buku. Memangnya kamu tidak bisa mencari buku sendiri. Kamu tahu kan judul yang harus kamu cari? Ya sudah, cari saja sendiri. Lagi pula aku ke sana tidak ada fungsi kan? Lain halnya kalau aku kebetulan juga mau mencari buku untuk diriku sendiri. Kalau tidak ya silahkan pergi sendiri. Tapi bagaimana aku bisa berkata tidak kepadanya. Aku takut menyakiti hatinya. Dengan sedikit bersungut-sungut aku pun menemaninya, tentu saja tidak sepengetahuannya. Ia terlambat. Sudah hampir setengah jam dari waktu yang kami sepakati. Semestinya aku sudah mati kesal. Tapi kenapa, ketimbang kesal aku malah kuatir kalau ia ada apa-apa di jalan. Sebegitu parahkah aku mengkuatirkan keadaannya. Kucoba tenangkan hatiku bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Itu dia, lagi-lagi dengan jaket biru kesayangannya. Kupasang senyum untuk menyambutnya.
“Hi…hi…, sorry terlambat. Habis tidur siang, telat bangun,” katanya dengan entengnya dengan senyum nyengir innocent terpampang di hadapanku. Bagaimana mungkin aku bisa marah dengan tampangnya yang seperti itu.

“Ya sudah, ayo masuk ke dalam!” aku mencoba untuk sedikit ketus, tapi kedengarannya malah seperti marah tanda sayang.

Lagi-lagi digandengnya tanganku sambil masuk ke toko buku. Bagi orang lain kami mungkin kelihatan seperti dua orang pacaran. Oh God, I hate that! Ingin rasanya aku berteriak kalau ia bukan pacarku. Lagi-lagi aku pendam rasa itu, untuk kesekian kalinya. Dibimbingnya aku ke rak buku-buku akuntansi yang dekat dengan buku-buku ekonomi lainnya, buku-buku yang tidak pernah kusentuh. Pelajaran ekonomi memang pelajaran yang paling kubenci sejak jaman aku masih SMA dulu. Kenapa coba orang harus belajar ekonomi. Belajar ilmu teknik jelas kegunaannya, bisa membangun. Ekonomi, omong kosong macam apa itu? Kenapa aku harus menghafalkan jenis-jenis perusahaan misalnya. Apa gunanya? Aku tidak habis pikir!

“Tolong lihat dong ada tidak buku tentang auditing.”
“Auditing? Binatang macam apa pula itu?”
“Pokoknya cari saja yang judulnya ada tertulis auditing, aku tidak mau ngasih kuliah panjang untuk menerangkan arti auditing ke kamu!”
“Yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris?”
“Bahasa Indonesia saja, lebih mudah dimengerti.”
“Wah, payah kamu, kan mendingan pakai yang asli, bukan terjemahannya.”
“Ah kamu, maunya cari susah saja. Enakan pakai yang bahasa Indonesia lah!”
“Kalau tidak mulai membiasakan membaca buku dalam bahasa Inggris, bisa kesulitan nanti kamu nantinya kalau kamu sudah dalam dunia kerja.”
“Ah, itu sih nanti saja dipikirin,” katanya dengan cueknya.

Mengapa sih buku ekonomi banyak yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Apa karena mahasiswa yang masuk jurusan ekonomi itu lebih goblok dari yang masuk teknik. Buku kami hampir semuanya masih dalam bahasa aslinya. Kami tidak pernah kesulitan belajar hanya karena kendala bahasa. Mereka terlalu dimanja.

“Nah ketemu!” serunya dengan riang. Ia memang ekspresif, sekaligus depresif, seperti Edinburg, yang dalam sehari bisa mengalami empat musim. Mungkin inilah yang aku sukai darinya. Aku sendiri menurutku terlalu tenang. Kehadirannya memang telah memberikan warna dalam hidupku.
“Udah, sekarang langsung pulang.”
“Kita main dulu yuk.”
“Main? Main ke mana?”
“Temani aku ke Time Zone!”
“Wah, kamu sering main ke Time Zone.”

Dia sempat terdiam sejenak. Kembali aku merasa begitu jauh dengan dirinya. Lalu ia berkata dengan suara lirih, “Dulu…, ia sering main bersamaku. Main di Time Zone. Mulanya aku hanya menemaninya, karena aku tidak biasa main di situ. Lama-lama aku ikutan main juga.”

Ia terdiam lagi, sebelum diteruskan, “Ia selalu mentertawakan permainanku. Koinku cepat sekali habis.” Ia terkikik kecil, mungkin ada kenangan manis pada saat itu.
Aku tak tahu harus berkata apa.

“Mau temani aku?”
“He…eh.”