Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 29 DWINA

Steve yang mengantarku ke stasiun kereta. Akhir-akhir ini aku bisa lebih sabar menghadapi dia. Mungkin karena aku mendapat sedikit penghiburan selama dekat dengan Hardi. Kemarahanku yang sering meledak di depan Steve tidak terlalu sering terjadi lagi. Mungkin aku memang butuh sedikit jarak dengan Steve, karena kami sudah menjadi terlalu dekat sehingga mudah untuk saling melukai.

Aku memang merasa sedikit lepas sejak dekat dengan Hardi. Aku bisa tampil tanpa beban di hadapannya. Aku tidak takut menjadi siapa diriku di depannya, dan nampaknya ia juga tidak berkeberatan. Aku jadi bisa bernafas sedikit. Aku terasa lebih berenergi dan menjadi lebih sabar dalam menghadapi hubunganku dengan Steve. Aneh juga, mengingat Hardi sebenarnya tidak berbuat banyak untuk memperbaiki hubunganku dengan Steve. Aku juga belum begitu bercerita banyak tentang hubunganku dengan Steve. Ia hanya selalu ada untuk mendengarkanku.

“Steve, kamu pulang saja duluan, keretanya ternyata terlambat nih.”
“Nggak apa-apa, aku nungguin kamu di sini. Kan kasihan kalau kamu sendirian di sini menunggu kereta dan tidak ada yang menemani.”
“Nanti kamu kemalaman,” ucapku seakan memelas.
“Kamu kan tahu aku sudah biasa pulang malam.”
“Nanti ibumu curiga lagi, mengira kita pasti pergi berdua lagi, dan kamu akan diinterogasi begitu kamu pulang ke rumah.”
“Kenyataan begitu kok, kita memang pergi berdua. Aku berhak mengantarmu kemana saja aku mau.”
“Tapi kamu kan tahu ibumu Steve. Sampai kapan pun ia tak kan rela menyerahkan kamu kepadaku. Ia ingin memilikimu selamanya.”
“Biar saja. Lambat laun ia juga harus menerimamu. Ia tidak punya pilihan.”
“Kupikir kita sebaiknya keep low profile dulu deh. Aku masih cukup sakit hati dikatai ibumu pelacur kemarin dulu.”
“Sudahlah, kamu tahu ibuku kan.”
“Steve, kamu pulang aja deh. Bener kok aku nggak apa-apa di sini. Lagi pula keretanya setengah jam lagi juga sudah sampai kok.”
“Jadi kamu nggak senang aku temani,” katanya dengan suara naik meninggi.

Begitulah, setiap kali aku mulai berbicara serius dengannya, yang ada hanya konflik. Hal sekecil apa pun dapat menjadi bahan pertengkaran bagi kami berdua. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang membuat aku bisa jatuh cinta kepadanya. Yang kutahu hanya satu, bahwa aku sungguh mencintainya. Hanya dialah gantungan hidupku, walaupun gantungan itu kelihatannya makin hari makin goyah. Aku lebih rela jatuh dan mati ketimbang harus melepaskan tanganku darinya, dan mencoba mencari tempat bergantung yang lain.


“Steve, mau kau bawa ke mana aku?” kataku sedikit ragu akan kejutan apa yang
akan ia berikan kepadaku, dengan kedua mataku yang tertutup dan hanya
mempercayainya tuntunan tangannya.
“Tenang saja, eh hati-hati, di situ
sedikit licin!”
“Masih jauh nggak?”
“Nggak kok, dikiiiit lagi.”


Ada-ada si Steve ini. Sempat-sempatnya menyiapkan kejutan untukku di tengah acara inisiasi mahasiswa baru di Pengalengan. Jadi penasaran aku apa yang ia siapkan untukku. Ia memang sudah mendekatiku sejak dua tahun terakhir ini. Aku belum sedikit pun memberikan sinyal positif kepadanya. Tapi ia tidak pantang mundur. Tentu saja aku merasa tersanjung. Perempuan mana sih yang tidak merasa tersanjung dipuja seorang arjuna yang gagah dan tampan seperti Steve. Aku tahu betul banyak cewek di kampusku yang naksir dengan Steve, tapi di antara semuanya aku yang dipilihnya. Kalau aku boleh jujur, aku sangat menikmati permainan ini. Teman-temanku yang lain sudah mendorong-dorong aku supaya lekas-lekas jadian dengannya, sebelum disambar cewek lain. Cuma aku masih merasa belum siap. Aku masih mau melihat kesungguhan hatinya. Sesudah merasakan sakitnya hati setelah dikhianati orang yang dicintai aku perlu lebih berhati-hati. Aku mau melihat sejauh mana ia bisa bertahan menghadapiku. Masih berbekas luka lama yang ditinggalkan mantan pacarku yang sebelumnya, Mas Nardi. Uh, mendengar namanya saja sudah membuat hatiku teriris-iris lagi.

“Sudah, sekarang kamu pegang ni,” sambil memberikan sesuatu ke dalam tanganku, rasanya seperti seutas tali.
“Terus ini diapain Steve.”
“Pegang aja terus, pegang yang kuat,” suaranya terdengar menjauh.
“Kamu ke mana Steve?”
“Bentar, tunggu aku kasih aba-aba.”
“Steve! Jangan main-main nih!”
Ia tidak menjawab.
“Steve!”
Ia juga tidak menjawab.
Tiba-tiba kurasakan tali yang sedang kupegang menegang.
“Apa-apaan ini Steve!”
“Dwina, sekarang kuserahkan nyawaku kepadamu. Kalau kau lepaskan pegangan talimu, aku akan jatuh ke jurang,” suaranya terdengar jauh.
“Gila kamu Steve, di mana kamu?” suaraku sudah mulai terdengar frustrasi.
Dengan susah payah aku lepaskan ikatan kepala yang menghalangi penglihatanku sambil tidak melepaskan pegangan tali yang terasa makin kencang. Setelah berhasil kulepaskan dengan segera kuikuti arah talinya. Kulihat ia tergantung bebas, di bawahnya tebing penuh semak belukar. Segera kutarik talinya sekuat tenaga.Detik-detik terasa begitu pelan berlalu. Aku terengah-engah. Jarak talinya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua meteran. Tapi ini sudah cukup membuat aku sport jantung. Gila, ngapain ia mempertaruhkan nyawanya.

Sesampainya dia di atas, tanpa tunggu lagi aku pukul di sekencang-kencangnya.
“Gila kamu, ngapain kamu seperti itu.”

Sejumlah umpatan aku keluarkan semua sambil terus bertubi-tubi
menghujani tubuhnya dengan pukulan. Ia tidak membalas.
“Dwina, aku tidak bisa hidup tanpamu. Lebih baik aku jatuh ke jurang,” katanya lirih. Ia hanya terus memelukku meskipun aku memukulnya dengan bertubi-tubi. Pukulanku makin lama makin melemah, air mataku mulai berlinang. Akhirnya aku pun memeluknya. Rasanya hangat. Lega karena akhirnya aku bisa mengakui bahwa aku mencintainya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Hatiku memang mulai bergeser kepadanya. Peristiwa ini makin membuat aku sadar bahwa aku sudah terbiasa dengan kehadirannya di sampingku. Kupikir aku juga sudah mulai mencintainya. Usahanya yang gigih untuk mendapatkanku nampaknya tidak sia-sia. Cewek mana sih yang tidak luluh jika terus didekati, apalagi dengan dihujani terus kasih sayang.

Aku terlalu mencintaimu Steve. Entah kau tahu itu atau tidak. Aku selalu merasa aku mencintaimu lebih dari pada kau mencintaiku. Kau mungkin hanya menganggap aku sebagai sebuah puncak untuk ditaklukkan. Begitu selesai ditaklukkan tidak ada jalan lain lagi selain turun sambil memberikan kemenangan. Apakah semua laki-laki seperti itu?

Aku masih belum bisa melupakan semua kenangan romantis kita, Steve. Masih ingatkah kau akan hadiah ulang tahun yang kau berikan padaku di atas “Bianglala”. Atau candle light dinner, makan malam paling romantis yang pernah aku alami seumur hidupku di Dago Tea House sewaktu Valentine. Lalu kita berdua berpelukan mesra di konser “Dewa” yang menyanyikan lagu-lagu kita. Belum lagi saat aku menangis dalam pelukanmu saat menonton film Titanic, dan setelah itu aku selalu ingat akan kejadian itu setiap kali mendengar lagu ”My Heart Will Goes On” diputar. Ingatkah kau akan semua itu Steve.

Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin semua yang serba indah itu bisa berakhir. Mungkin memang benar kata orang-orang, tiada bulan madu yang tiada berakhir. Hanya saja aku tidak pernah bisa berhenti menyalahkan diriku. Kupikir selalu akulah yang patut dipersalahkan karena menghambarkan hubungan kita. Kupikir kau telah berbuat terlalu banyak untukku selalu dua tahun bekerja keras untuk mendapatkanku. Aku telah mencoba membalasnya, untuk meyakinkan dirimu bahwa aku pun mencintaimu sebesar kau mencintaiku. Apa yang belum aku korbankan kepadamu Steve? Haruskah kukorbankan juga keperawananku kepadamu? Kau memang tidak pernah meminta itu. Apakah kau menunggu supaya aku yang mengatakannya sendiri kepadamu. Apakah kau mengujiku Steve?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home