Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 28 HARDI & DWINA

Telepon rumahku berdering. Kubiarkan sampai berdering tiga kali. Ke mana sih anak-anak. Aku jarang mendapat telepon, oleh karena itu aku jadi agak malas untuk mengangkatnya. Paling juga telepon untuk mereka. Dengan langkah lesu aku berjalan juga ke arah telepon sambil mengumpat dalam hati.

“Halo,” kataku dengan suara tidak bersemangat sama sekali.
“Bisa bicara dengan Hardi,” terdengar suara yang sangat kukenal di seberang sana.
“Iya Dwina, saya sendiri.”
“Kok nggak semangat gitu sih. Nggak senang yah ditelepon.”
“Bukan begitu, kupikir siapa yang nelepon.”
“Masih nggak senang nih ditelepon oleh adikmu yang cantik, manis, dan baik hati?”
“Iya, iya. Emangnya ada apa.”
“Bilang dulu dong kamu senang ditelepon oleh adikmu yang cantik, manis, dan baik hati.”
“Iya, adikmu yang cantik, manis, dan baik hati.”
“Adik-KU, kok adik-MU,” katanya sewot, entah pura-pura atau sungguhan.
“Oh, adik-MU…”
“Huh, pernah belajar bahasa Indonesia nggak sih. Capek ah, aku tutup nih!” nadanya mengancam entah pura-pura entah sungguhan.
“Iya adikku yang cepet marah, cepet nangis dan cepet bangun kalau lihat duit,” kataku belum mau berhenti menggodanya.
“Hu…uh… Yang serius dong. Aku mau pergi nih.”
“Pergi ke mana adikku?”
“Aku mau pergi lama ke Jawa.”
“Ngapain?”
“Ada acara keluarga di sana. Ada yang kawinan.”
“Oh…, kupikir ada apa.”
“Kamu nggak bakal kangen sama aku?”
“Tidak,” jawabku spontan tanpa dipikir terlebih dahulu.
“Kok nggak kangen?”
“Kembali lagi kan?”
“Iya sih, tapi kan perginya lama.”
“Berapa lama?”
“Satu minggu.”
“Alah, cuma satu minggu, kupikir berapa lama.”
“Jadi kamu nggak bakal kangen nih.”
“Dwina kamu itu perginya cuma satu minggu, ke Jawa pula, yang paling cuma empat lima jam dari sini. Kalau naik pesawat cuma satu jam, lebih cepat dari pada naik angkot ke Soreang[1].”
“Kamu nggak kehilangan tidak melihat wajahku yang imut ini dan mendengar suaraku yang merdu selama seminggu.”
“Kan ada telepon. Jaman teknologi ini kok susah.”
“Uh, payah. Tidak romantis!”
“Kalau mau romantis-romantisan sama pacar kamu sana.”

Ia diam tak menjawab pertanyaanku saat ini. Seharusnya aku tidak melontarkan kata-kata itu. Ia selalu sensitif kalau kusinggung masalah pacarnya.
“Maafkan aku Dwina, aku tidak bermaksud begitu.”
Ia masih marah nampaknya.
“Dwina, adikku yang cantik, manis dan baik hati. Tentu saja aku akan kangen sama kamu,” kataku berusaha menghiburnya.
“Gitu dong dari tadi,” jawabnya masih dengan nada mengambek.
“Iya, adikku yang cantik, manis dan baik hati.”
“Coba lagi, kayaknya ngucapinnya kurang merdu deh.”
“Udah ah, bosen, ngulang kalimat yang sama terus menerus. Kayak orang gila.”
“Kamu kan harus memenuhi permintaan orang yang kamu sayangi. Ayo kalau berani bilang nggak sayang aku lagi.”
“Ck, ck, ck… Manjanya adikku yang satu ini. Udah, baik-baik di jalan, jangan lupa kembali ke Bandung. Kuliahmu belum selesai.”
“Cuma masalah kuliah nih jadinya.”
“Karena aku akan nungguin kamu di sini,” kataku sambil menelan ludah.
“Ia deh abangku yang manis dan baik hati. Adikmu nggak akan lupa kembali kok. Mau oleh-oleh apa.”
“Nggak usah deh, asal jangan lupa balik aja, kena pelet orang sono.”
“Nggak bakalan… Udahan yah!”
“Ya, take care.”

Kutunggu bunyi telepon ditutup, baru kemudian kuletakkan gagang teleponku.
Ah, ada-ada saja Dwina. Kok mau ke Jawa saja laporan ke aku.

[1] Daerah pinggiran di Bandung bagian selatan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home