Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 30 HARDI

Sudah seminggu ia pergi ke Jawa. Sejujurnya aku memang tidak kangen dengan dia. Meskipun ada sesuatu yang hilang rasanya karena selama seminggu ini tidak ada gangguan kecil darinya. Jujur aku mengharapkan ada dering telepon interlokal darinya, menceritakan apa yang sedang terjadi di sana. Ah, kenapa aku jadi begini. Terlalu kuatirkah aku akan dirinya. Aku masih memikirkan tentang penyakitnya yang pernah diceritakannya kepadaku. Tidak terlalu berbahayakah melakukan perjalanan jauh dengan kondisi badan seperti dirinya. Dari luar memang ia tidak kelihatan sakit sama sekali. Aku juga tidak percaya kalau aku tidak melihat segepok obat yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Terbersit sebenarnya pikiranku untuk menyusulnya ke Jawa. Aku terlalu kuatir kalau akan terjadi apa-apa di jalan. Bagaimana kalau ia pingsan di dalam kereta sedangkan ia tidak ada yang menemani. Adakah orang yang akan menolongnya? Bagaimana kalau ia muntah darah di dalam kereta? Kalau kubiarkan pikiran gila ini pasti aku akan langsung bergegas menyusulnya. Tapi setelah kupikirkan lebih matang, siapakah aku ini sehingga harus merasa bertanggung jawab atas dirinya. Orang tua bukan, pacar juga bukan. Dibilang teman mungkin juga tidak terlalu dekat. Memang dalam beberapa waktu ini kami menjadi cukup dekat, tapi kalau mau jujur sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya, begitu pula dirinya tentang diriku. Kami hanya kelihatannya dekat, padalah sesungguhnya masih jauh. Tentu saja hubungan ini tidak bisa disamakan dengan hubunganku bersama Mbak Maria. Kami sudah tahu ada berapa cacing di perut kami masing-masing. Itu baru bisa disebut dekat. Dan hubungan seperti itu tentunya dibangun tidak dalam waktu singkat yang penuh emosional melainkan dibangun perlahan selama bertahun-tahun.

Jadinya kekuatiranku hanya bisa kupendam tanpa bisa berbuat apa-apa. Menyiksa memang, menunggu tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku kembali mempertanyakan sebenarnya apa makna dirinya bagi diriku. Sebuah mainan unik yang harus kujaga supaya tidak rusakkah? Ataukah seorang adik layaknya adik kandungku sendiri? Ataukah seorang teman yang perlu kudukung dalam kesulitan? Seorang klien yang kebetulan sedang aku pegang? Ataukah seseorang yang aku cintai sepenuh hati?

Sebuah mainan sepertinya adalah jawaban yang terlalu kejam. Masakan manusia cuma dianggap sebuah mainan atau sebuah eksperimen? Jawaban tersebut terlalu materialis dan seperti aku tidak seperti itu. Sebagai adik kupikir ada benarnya. Hanya saja umurnya terlalu dekat denganku untuk kuanggap sebagai seorang adik kupikir, meskipun aku sering kuanggap lebih dewasa secara mental dibandingkan dengan teman-teman seusiaku, yang membuatkan sering bertingkah seperti yang dituakan oleh mereka. Teman, ya, bukankah semua teman yang baik memang harus saling tolong menolong. That’s what friends are for, bukan? Cuma saja kupikir aku tidak terlalu mengkuatirkan kondisi semua temanku yang lain. Mungkin ini teman yang agak spesial. Klien, mestinya aku tetap mempertahankan posisi kami sebagai klien dan konselor. Kalau itu kulakukan hubungan kami tidak akan berkembang menjadi serumit ini. Kekasih? No way!

Aku masih tidak bisa menerima untuk jatuh cinta padanya. Aku tidak tahu apa itu jatuh cinta. Kalau jatuh cinta digambarkan sebagai perasaan butterfly in the stomach, jelas-jelas tidak, soalnya aku tidak pernah merasakan perasaan itu di depannya. Hormonku tidak bekerja saat aku berdekatan dengannya. Yang aku rasakan hanyalah perasaan untuk melindungi, sebuah perasaan yang kuanggap mungkin lebih tepat dirasakan seorang ayah kepada anaknya.
Ya, mungkin itu jawaban yang tepat. Aku telah menempatkan diriku sebagai ayah baginya. Kehilangan ayah bagiku di usia yang sangat muda membuat aku mencoba menggantikan posisi seorang ayah. Dan mau tidak mau aura seperti ini terpancar sewaktu aku melihat seseorang yang membutuhkannya.

Ya, aku mencintainya, seperti cinta seorang ayah kepada anaknya, anaknya yang hilang. Dan cinta ini begitu terpancar karena ia berada di dalam kesulitan. Ia menderita sakit, ia juga bermasalah dengan pacarnya. Seluruh naluri kebapakan di dalam diriku semacam terpicu untuk mengeluarkan segala potensinya.

Aku lega atas jawaban itu. Jawaban yang tidak memalukan. Sekarang tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menunggu, dan sedikit berdoa mungkin.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home