Dua Dunia

Ini adalah novelku yang pertama. Enjoy...

Saturday, June 18, 2005

BAB 30 HARDI

Sudah seminggu ia pergi ke Jawa. Sejujurnya aku memang tidak kangen dengan dia. Meskipun ada sesuatu yang hilang rasanya karena selama seminggu ini tidak ada gangguan kecil darinya. Jujur aku mengharapkan ada dering telepon interlokal darinya, menceritakan apa yang sedang terjadi di sana. Ah, kenapa aku jadi begini. Terlalu kuatirkah aku akan dirinya. Aku masih memikirkan tentang penyakitnya yang pernah diceritakannya kepadaku. Tidak terlalu berbahayakah melakukan perjalanan jauh dengan kondisi badan seperti dirinya. Dari luar memang ia tidak kelihatan sakit sama sekali. Aku juga tidak percaya kalau aku tidak melihat segepok obat yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Terbersit sebenarnya pikiranku untuk menyusulnya ke Jawa. Aku terlalu kuatir kalau akan terjadi apa-apa di jalan. Bagaimana kalau ia pingsan di dalam kereta sedangkan ia tidak ada yang menemani. Adakah orang yang akan menolongnya? Bagaimana kalau ia muntah darah di dalam kereta? Kalau kubiarkan pikiran gila ini pasti aku akan langsung bergegas menyusulnya. Tapi setelah kupikirkan lebih matang, siapakah aku ini sehingga harus merasa bertanggung jawab atas dirinya. Orang tua bukan, pacar juga bukan. Dibilang teman mungkin juga tidak terlalu dekat. Memang dalam beberapa waktu ini kami menjadi cukup dekat, tapi kalau mau jujur sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya, begitu pula dirinya tentang diriku. Kami hanya kelihatannya dekat, padalah sesungguhnya masih jauh. Tentu saja hubungan ini tidak bisa disamakan dengan hubunganku bersama Mbak Maria. Kami sudah tahu ada berapa cacing di perut kami masing-masing. Itu baru bisa disebut dekat. Dan hubungan seperti itu tentunya dibangun tidak dalam waktu singkat yang penuh emosional melainkan dibangun perlahan selama bertahun-tahun.

Jadinya kekuatiranku hanya bisa kupendam tanpa bisa berbuat apa-apa. Menyiksa memang, menunggu tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku kembali mempertanyakan sebenarnya apa makna dirinya bagi diriku. Sebuah mainan unik yang harus kujaga supaya tidak rusakkah? Ataukah seorang adik layaknya adik kandungku sendiri? Ataukah seorang teman yang perlu kudukung dalam kesulitan? Seorang klien yang kebetulan sedang aku pegang? Ataukah seseorang yang aku cintai sepenuh hati?

Sebuah mainan sepertinya adalah jawaban yang terlalu kejam. Masakan manusia cuma dianggap sebuah mainan atau sebuah eksperimen? Jawaban tersebut terlalu materialis dan seperti aku tidak seperti itu. Sebagai adik kupikir ada benarnya. Hanya saja umurnya terlalu dekat denganku untuk kuanggap sebagai seorang adik kupikir, meskipun aku sering kuanggap lebih dewasa secara mental dibandingkan dengan teman-teman seusiaku, yang membuatkan sering bertingkah seperti yang dituakan oleh mereka. Teman, ya, bukankah semua teman yang baik memang harus saling tolong menolong. That’s what friends are for, bukan? Cuma saja kupikir aku tidak terlalu mengkuatirkan kondisi semua temanku yang lain. Mungkin ini teman yang agak spesial. Klien, mestinya aku tetap mempertahankan posisi kami sebagai klien dan konselor. Kalau itu kulakukan hubungan kami tidak akan berkembang menjadi serumit ini. Kekasih? No way!

Aku masih tidak bisa menerima untuk jatuh cinta padanya. Aku tidak tahu apa itu jatuh cinta. Kalau jatuh cinta digambarkan sebagai perasaan butterfly in the stomach, jelas-jelas tidak, soalnya aku tidak pernah merasakan perasaan itu di depannya. Hormonku tidak bekerja saat aku berdekatan dengannya. Yang aku rasakan hanyalah perasaan untuk melindungi, sebuah perasaan yang kuanggap mungkin lebih tepat dirasakan seorang ayah kepada anaknya.
Ya, mungkin itu jawaban yang tepat. Aku telah menempatkan diriku sebagai ayah baginya. Kehilangan ayah bagiku di usia yang sangat muda membuat aku mencoba menggantikan posisi seorang ayah. Dan mau tidak mau aura seperti ini terpancar sewaktu aku melihat seseorang yang membutuhkannya.

Ya, aku mencintainya, seperti cinta seorang ayah kepada anaknya, anaknya yang hilang. Dan cinta ini begitu terpancar karena ia berada di dalam kesulitan. Ia menderita sakit, ia juga bermasalah dengan pacarnya. Seluruh naluri kebapakan di dalam diriku semacam terpicu untuk mengeluarkan segala potensinya.

Aku lega atas jawaban itu. Jawaban yang tidak memalukan. Sekarang tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menunggu, dan sedikit berdoa mungkin.

BAB 29 DWINA

Steve yang mengantarku ke stasiun kereta. Akhir-akhir ini aku bisa lebih sabar menghadapi dia. Mungkin karena aku mendapat sedikit penghiburan selama dekat dengan Hardi. Kemarahanku yang sering meledak di depan Steve tidak terlalu sering terjadi lagi. Mungkin aku memang butuh sedikit jarak dengan Steve, karena kami sudah menjadi terlalu dekat sehingga mudah untuk saling melukai.

Aku memang merasa sedikit lepas sejak dekat dengan Hardi. Aku bisa tampil tanpa beban di hadapannya. Aku tidak takut menjadi siapa diriku di depannya, dan nampaknya ia juga tidak berkeberatan. Aku jadi bisa bernafas sedikit. Aku terasa lebih berenergi dan menjadi lebih sabar dalam menghadapi hubunganku dengan Steve. Aneh juga, mengingat Hardi sebenarnya tidak berbuat banyak untuk memperbaiki hubunganku dengan Steve. Aku juga belum begitu bercerita banyak tentang hubunganku dengan Steve. Ia hanya selalu ada untuk mendengarkanku.

“Steve, kamu pulang saja duluan, keretanya ternyata terlambat nih.”
“Nggak apa-apa, aku nungguin kamu di sini. Kan kasihan kalau kamu sendirian di sini menunggu kereta dan tidak ada yang menemani.”
“Nanti kamu kemalaman,” ucapku seakan memelas.
“Kamu kan tahu aku sudah biasa pulang malam.”
“Nanti ibumu curiga lagi, mengira kita pasti pergi berdua lagi, dan kamu akan diinterogasi begitu kamu pulang ke rumah.”
“Kenyataan begitu kok, kita memang pergi berdua. Aku berhak mengantarmu kemana saja aku mau.”
“Tapi kamu kan tahu ibumu Steve. Sampai kapan pun ia tak kan rela menyerahkan kamu kepadaku. Ia ingin memilikimu selamanya.”
“Biar saja. Lambat laun ia juga harus menerimamu. Ia tidak punya pilihan.”
“Kupikir kita sebaiknya keep low profile dulu deh. Aku masih cukup sakit hati dikatai ibumu pelacur kemarin dulu.”
“Sudahlah, kamu tahu ibuku kan.”
“Steve, kamu pulang aja deh. Bener kok aku nggak apa-apa di sini. Lagi pula keretanya setengah jam lagi juga sudah sampai kok.”
“Jadi kamu nggak senang aku temani,” katanya dengan suara naik meninggi.

Begitulah, setiap kali aku mulai berbicara serius dengannya, yang ada hanya konflik. Hal sekecil apa pun dapat menjadi bahan pertengkaran bagi kami berdua. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang membuat aku bisa jatuh cinta kepadanya. Yang kutahu hanya satu, bahwa aku sungguh mencintainya. Hanya dialah gantungan hidupku, walaupun gantungan itu kelihatannya makin hari makin goyah. Aku lebih rela jatuh dan mati ketimbang harus melepaskan tanganku darinya, dan mencoba mencari tempat bergantung yang lain.


“Steve, mau kau bawa ke mana aku?” kataku sedikit ragu akan kejutan apa yang
akan ia berikan kepadaku, dengan kedua mataku yang tertutup dan hanya
mempercayainya tuntunan tangannya.
“Tenang saja, eh hati-hati, di situ
sedikit licin!”
“Masih jauh nggak?”
“Nggak kok, dikiiiit lagi.”


Ada-ada si Steve ini. Sempat-sempatnya menyiapkan kejutan untukku di tengah acara inisiasi mahasiswa baru di Pengalengan. Jadi penasaran aku apa yang ia siapkan untukku. Ia memang sudah mendekatiku sejak dua tahun terakhir ini. Aku belum sedikit pun memberikan sinyal positif kepadanya. Tapi ia tidak pantang mundur. Tentu saja aku merasa tersanjung. Perempuan mana sih yang tidak merasa tersanjung dipuja seorang arjuna yang gagah dan tampan seperti Steve. Aku tahu betul banyak cewek di kampusku yang naksir dengan Steve, tapi di antara semuanya aku yang dipilihnya. Kalau aku boleh jujur, aku sangat menikmati permainan ini. Teman-temanku yang lain sudah mendorong-dorong aku supaya lekas-lekas jadian dengannya, sebelum disambar cewek lain. Cuma aku masih merasa belum siap. Aku masih mau melihat kesungguhan hatinya. Sesudah merasakan sakitnya hati setelah dikhianati orang yang dicintai aku perlu lebih berhati-hati. Aku mau melihat sejauh mana ia bisa bertahan menghadapiku. Masih berbekas luka lama yang ditinggalkan mantan pacarku yang sebelumnya, Mas Nardi. Uh, mendengar namanya saja sudah membuat hatiku teriris-iris lagi.

“Sudah, sekarang kamu pegang ni,” sambil memberikan sesuatu ke dalam tanganku, rasanya seperti seutas tali.
“Terus ini diapain Steve.”
“Pegang aja terus, pegang yang kuat,” suaranya terdengar menjauh.
“Kamu ke mana Steve?”
“Bentar, tunggu aku kasih aba-aba.”
“Steve! Jangan main-main nih!”
Ia tidak menjawab.
“Steve!”
Ia juga tidak menjawab.
Tiba-tiba kurasakan tali yang sedang kupegang menegang.
“Apa-apaan ini Steve!”
“Dwina, sekarang kuserahkan nyawaku kepadamu. Kalau kau lepaskan pegangan talimu, aku akan jatuh ke jurang,” suaranya terdengar jauh.
“Gila kamu Steve, di mana kamu?” suaraku sudah mulai terdengar frustrasi.
Dengan susah payah aku lepaskan ikatan kepala yang menghalangi penglihatanku sambil tidak melepaskan pegangan tali yang terasa makin kencang. Setelah berhasil kulepaskan dengan segera kuikuti arah talinya. Kulihat ia tergantung bebas, di bawahnya tebing penuh semak belukar. Segera kutarik talinya sekuat tenaga.Detik-detik terasa begitu pelan berlalu. Aku terengah-engah. Jarak talinya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua meteran. Tapi ini sudah cukup membuat aku sport jantung. Gila, ngapain ia mempertaruhkan nyawanya.

Sesampainya dia di atas, tanpa tunggu lagi aku pukul di sekencang-kencangnya.
“Gila kamu, ngapain kamu seperti itu.”

Sejumlah umpatan aku keluarkan semua sambil terus bertubi-tubi
menghujani tubuhnya dengan pukulan. Ia tidak membalas.
“Dwina, aku tidak bisa hidup tanpamu. Lebih baik aku jatuh ke jurang,” katanya lirih. Ia hanya terus memelukku meskipun aku memukulnya dengan bertubi-tubi. Pukulanku makin lama makin melemah, air mataku mulai berlinang. Akhirnya aku pun memeluknya. Rasanya hangat. Lega karena akhirnya aku bisa mengakui bahwa aku mencintainya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Hatiku memang mulai bergeser kepadanya. Peristiwa ini makin membuat aku sadar bahwa aku sudah terbiasa dengan kehadirannya di sampingku. Kupikir aku juga sudah mulai mencintainya. Usahanya yang gigih untuk mendapatkanku nampaknya tidak sia-sia. Cewek mana sih yang tidak luluh jika terus didekati, apalagi dengan dihujani terus kasih sayang.

Aku terlalu mencintaimu Steve. Entah kau tahu itu atau tidak. Aku selalu merasa aku mencintaimu lebih dari pada kau mencintaiku. Kau mungkin hanya menganggap aku sebagai sebuah puncak untuk ditaklukkan. Begitu selesai ditaklukkan tidak ada jalan lain lagi selain turun sambil memberikan kemenangan. Apakah semua laki-laki seperti itu?

Aku masih belum bisa melupakan semua kenangan romantis kita, Steve. Masih ingatkah kau akan hadiah ulang tahun yang kau berikan padaku di atas “Bianglala”. Atau candle light dinner, makan malam paling romantis yang pernah aku alami seumur hidupku di Dago Tea House sewaktu Valentine. Lalu kita berdua berpelukan mesra di konser “Dewa” yang menyanyikan lagu-lagu kita. Belum lagi saat aku menangis dalam pelukanmu saat menonton film Titanic, dan setelah itu aku selalu ingat akan kejadian itu setiap kali mendengar lagu ”My Heart Will Goes On” diputar. Ingatkah kau akan semua itu Steve.

Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin semua yang serba indah itu bisa berakhir. Mungkin memang benar kata orang-orang, tiada bulan madu yang tiada berakhir. Hanya saja aku tidak pernah bisa berhenti menyalahkan diriku. Kupikir selalu akulah yang patut dipersalahkan karena menghambarkan hubungan kita. Kupikir kau telah berbuat terlalu banyak untukku selalu dua tahun bekerja keras untuk mendapatkanku. Aku telah mencoba membalasnya, untuk meyakinkan dirimu bahwa aku pun mencintaimu sebesar kau mencintaiku. Apa yang belum aku korbankan kepadamu Steve? Haruskah kukorbankan juga keperawananku kepadamu? Kau memang tidak pernah meminta itu. Apakah kau menunggu supaya aku yang mengatakannya sendiri kepadamu. Apakah kau mengujiku Steve?

BAB 28 HARDI & DWINA

Telepon rumahku berdering. Kubiarkan sampai berdering tiga kali. Ke mana sih anak-anak. Aku jarang mendapat telepon, oleh karena itu aku jadi agak malas untuk mengangkatnya. Paling juga telepon untuk mereka. Dengan langkah lesu aku berjalan juga ke arah telepon sambil mengumpat dalam hati.

“Halo,” kataku dengan suara tidak bersemangat sama sekali.
“Bisa bicara dengan Hardi,” terdengar suara yang sangat kukenal di seberang sana.
“Iya Dwina, saya sendiri.”
“Kok nggak semangat gitu sih. Nggak senang yah ditelepon.”
“Bukan begitu, kupikir siapa yang nelepon.”
“Masih nggak senang nih ditelepon oleh adikmu yang cantik, manis, dan baik hati?”
“Iya, iya. Emangnya ada apa.”
“Bilang dulu dong kamu senang ditelepon oleh adikmu yang cantik, manis, dan baik hati.”
“Iya, adikmu yang cantik, manis, dan baik hati.”
“Adik-KU, kok adik-MU,” katanya sewot, entah pura-pura atau sungguhan.
“Oh, adik-MU…”
“Huh, pernah belajar bahasa Indonesia nggak sih. Capek ah, aku tutup nih!” nadanya mengancam entah pura-pura entah sungguhan.
“Iya adikku yang cepet marah, cepet nangis dan cepet bangun kalau lihat duit,” kataku belum mau berhenti menggodanya.
“Hu…uh… Yang serius dong. Aku mau pergi nih.”
“Pergi ke mana adikku?”
“Aku mau pergi lama ke Jawa.”
“Ngapain?”
“Ada acara keluarga di sana. Ada yang kawinan.”
“Oh…, kupikir ada apa.”
“Kamu nggak bakal kangen sama aku?”
“Tidak,” jawabku spontan tanpa dipikir terlebih dahulu.
“Kok nggak kangen?”
“Kembali lagi kan?”
“Iya sih, tapi kan perginya lama.”
“Berapa lama?”
“Satu minggu.”
“Alah, cuma satu minggu, kupikir berapa lama.”
“Jadi kamu nggak bakal kangen nih.”
“Dwina kamu itu perginya cuma satu minggu, ke Jawa pula, yang paling cuma empat lima jam dari sini. Kalau naik pesawat cuma satu jam, lebih cepat dari pada naik angkot ke Soreang[1].”
“Kamu nggak kehilangan tidak melihat wajahku yang imut ini dan mendengar suaraku yang merdu selama seminggu.”
“Kan ada telepon. Jaman teknologi ini kok susah.”
“Uh, payah. Tidak romantis!”
“Kalau mau romantis-romantisan sama pacar kamu sana.”

Ia diam tak menjawab pertanyaanku saat ini. Seharusnya aku tidak melontarkan kata-kata itu. Ia selalu sensitif kalau kusinggung masalah pacarnya.
“Maafkan aku Dwina, aku tidak bermaksud begitu.”
Ia masih marah nampaknya.
“Dwina, adikku yang cantik, manis dan baik hati. Tentu saja aku akan kangen sama kamu,” kataku berusaha menghiburnya.
“Gitu dong dari tadi,” jawabnya masih dengan nada mengambek.
“Iya, adikku yang cantik, manis dan baik hati.”
“Coba lagi, kayaknya ngucapinnya kurang merdu deh.”
“Udah ah, bosen, ngulang kalimat yang sama terus menerus. Kayak orang gila.”
“Kamu kan harus memenuhi permintaan orang yang kamu sayangi. Ayo kalau berani bilang nggak sayang aku lagi.”
“Ck, ck, ck… Manjanya adikku yang satu ini. Udah, baik-baik di jalan, jangan lupa kembali ke Bandung. Kuliahmu belum selesai.”
“Cuma masalah kuliah nih jadinya.”
“Karena aku akan nungguin kamu di sini,” kataku sambil menelan ludah.
“Ia deh abangku yang manis dan baik hati. Adikmu nggak akan lupa kembali kok. Mau oleh-oleh apa.”
“Nggak usah deh, asal jangan lupa balik aja, kena pelet orang sono.”
“Nggak bakalan… Udahan yah!”
“Ya, take care.”

Kutunggu bunyi telepon ditutup, baru kemudian kuletakkan gagang teleponku.
Ah, ada-ada saja Dwina. Kok mau ke Jawa saja laporan ke aku.

[1] Daerah pinggiran di Bandung bagian selatan

BAB 27 HARDI

Sore itu aku tugas jaga di biroku lagi. Kali ini aku tidak sendirian, jaga berdua dengan kakak kesayanganku, Maria. Kegiatan di kampus sedang sepi, tidak ada ujian maupun acara-acara besar. Biasanya dalam suasana seperti ini, yang terjadi adalah obrolan ngalor-ngidul ke sana kemari tanpa arah yang jelas. Pada mulanya sungguh sulit memang mengubah kebiasaan burukku dari seorang yang suka ngobrol menjadi seorang konselor yang nota bene adalah pendengar yang baik. Selalu ada godaan untuk berkomentar. Eh, elu goblok banget sih. Atau, gitu aja kok repot. Misalnya juga, ngapain aja kamu selama ini. Yah, semuanya itu harus ditahan dan kita harus bisa memaklumi semua orang, apa pun kesalahan yang telah diperbuatnya di masa yang lalu. Kadang kala kesalahan yang dibuatnya adalah itu-itu saja. Mendengarkan curhat orang lain memang mengasyikkan pada mulanya, namun begitu engkau sudah mendengarkan cerita yang sama diulang-ulang oleh orang yang sama, dan cerita yang itu-itu juga diceritakan oleh klien yang lain, engkau akan cukup muak untuk mendengarnya setiap hari. Yang harus dilatih adalah bagaimana caranya supaya kita tidak menunjukkan bahwa kita telah mendengar cerita yang seperti itu, dan tidak menunjukkan kebosanan itu di depan mereka. Bukan berarti kita memakai topeng untuk mengelabui mereka, melainkan menunjukkan bahwa kita memperhatikan cerita mereka, walaupun kita sudah sering mendengar cerita-cerita yang seperti itu.

Menjadi seorang konselor adalah panggilan jiwa, meskipun sebenarnya setiap orang sebenarnya bisa menjadi seorang konselor. Yang dibutuhkan hanya hati dan telinga yang besar, dan mulut yang kecil. Setiap orang mestinya punya itu kan? Cuma saja tidak semudah yang dikira orang. Kita semua punya ego, ingin selalu dianggap benar, ingin dianggap hebat, ingin selalu memberi nasehat. Itu semua harus dikikis. Menjadi seorang konselor adalah seorang pendengar yang baik. Ia menjadi semacam cermin dari orang yang berkonsultasi. Mereka yang sedang dirudung masalah tidak bisa melihat masalah mereka dengan jernih. Mereka membutuhkan orang lain, bisa saja teman dekat mereka, orang tua, atau konselor misalnya. Orang lain itulah yang menjadi cermin yang jernih yang bisa membuat mereka melihat masalah mereka sendiri dengan jernih. Setelah bisa melihat dengan baik, mereka biasanya mampu melihat penyelesaiannya sendiri, tanpa dibantu. Kadang kala untuk masalah yang agak berat mereka harus sedikit dibantu. Pandangan mereka yang biasanya menjadi sempit karena masalah kita bantu untuk diperlebar. Mereka kita bantu untuk melihat masalah tidak hanya seluas daun kelor, dan melihat tidak hanya dengan kaca mata hitam putih. Kita beri mereka alternatif-alternatif yang mungkin tidak terpikirkan oleh mereka. Kita juga beritahu konsekuensi-konsekuensi dari alternatif-alternatif tersebut. Selanjutnya biarlah mereka menjadi tenang dulu, lalu biarkan mereka mengambil keputusan sendiri.

Kupikir aku harus cerita dengan Mbak Maria tentang Dwina. Mumpung lagi sepi. Sebenarnya tidak terlalu memberatkan sih, cuma kupikir aku butuh pembenaran. Dan orang yang paling bisa dimintai pendapat ya siapa lagi selain Mbak Maria, orang yang paling mengenali diriku.

“Mbak, aku mau ngomong sebentar nih.”
“Apa. Masalah cewek itu lagi, siapa namanya, Dwina?”
“Ah, Mbak, pura-pura lupa.”
“Kenapa. Kamu suka beneran sama dia.”
“Bukan begitu Mbak. Aku justru ragu akan perasaanku ke dia.”
“Apa yang kamu rasakan.”
“Aku senang kalau berada di dekat dia. Tapi di lain pihak aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tidak tahu bagaimana harus menempatkan diri. Dia kan klienku Mbak.”
“Kamu itu terlalu banyak mikir Di. Tidak semuanya berjalan serumit yang kamu bayangkan. Jalani saja, nanti juga ketahuan ujungnya. Kamu tidak perlu terlalu pusing memikirkan semua skenario yang bakalan terjadi.”
“Tapi kan kita harus selalu siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.”
“Ya, tapi cuma seperlunya. Tidak seperti kamu yang “terlalu” siap, kamu selalu menghabiskan energi terlalu besar untuk segala persiapanmu itu.”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sendiri Mbak.”
“Coba deh jujur sama Mbak. Kamu suka nggak sama dia.”

Sejenak aku berpikir. Aku sebenarnya masih ragu untuk menjawab apa. Untung saja yang didepanku ini Mbak Maria.

“Suka sekali sih sebenarnya tidak. Iya bukan tipeku. Mbak tahu sendiri tipeku kayak apa. Hanya saja aku mulai mengkuatirkan tentang dirinya.”
“Hmm… Kamu mulai kuatir tentang dirinya? Jangan-jangan ini malah awal dari sebuah cinta…”
“Apa Mbak berpikir begitu? Apakah rasa cinta bisa muncal dari rasa kasihan.”
“Mbak pikir itu malah mungkin cinta yang lebih murni ketimbang cinta yang sekedar suka. Cinta yang sekedar suka hanya mengerti menerima, sedangkan cinta dari kasihan hanya peduli dengan memberi.”
“Tidakkah cinta yang seperti itu berat sebelah Mbak, memberi tanpa menerima.”
“Mbak tidak bisa menjawab itu. Mbak cuma sekedar bisa memberi komentar kalau kamu bisa jadi sudah mulai mencintai dia tanpa kamu sadari. Sejauh mana kamu mengkuatirkan dia?”
“Aku mulai berpikir bagaimana sebaiknya menyelesaikan masalah hidupnya, sesuatu yang sesungguhnya sudah diluar kapasitasku sebagai seorang konselor.”
“Pernahkah kamu berniat untuk memilikinya?”
Secepat kilat kujawab, “Tak sedetik pun!”
“Tak inginkah kamu memilikinya?” tanyanya sudah mulai mencecar aku. Kalau saja orang lain yang bertanya seperti itu aku pasti sudah mulai merasa tersinggung.
“Buat apa sih Mbak. Aku toh belum kenal siapa dia. Memiliki kan tidak sesederhana itu Mbak. Orang Jawa kan bilang ada bibit-bebet-bobot. Kan masih panjang ceritanya Mbak.”
“Tapi hatimu berkata apa?”
“Tidak berkata apa-apa,” jawabku tegas.
“Tidak terasa berdebar-debar bila dekat dengannya?”
“Tidak… ,” aku berusaha untuk menjawab semeyakinkan mungkin, seakan diriku sendiri kurang yakin akan jawaban aku sendiri.
“Jawabanmu terlihat lebih seperti untuk meyakinkan dirimu sendiri ketimbang meyakinkan Mbak.”

Telak aku ditembaknya.
“Itulah Mbak. Aku bingung…”
“Ya sudah, dibawa tidur saja dulu. Kamu seperti Mbak bilang, terlalu banyak pikiran. Sedikit rileks lah. Tidak perlu semua kemungkinan kamu telusuri karena kamu bukan Tuhan. Percayalah sama Mbak. Semua akan baik-baik saja kok. Kenyataannya tidak akan seburuk yang kamu bayangkan. Cooling down saja dulu.”
“Kayaknya sih emang gitu Mbak. Nggak usah terlalu dipikirin aja dulu ya Mbak. Emangnya dia mikirin aku apa. Rugi sendiri kan Mbak.”
“Kamu sendiri yang bilang begitu.”

BAB 26 HARDI

Sudah cukup kalau aku bisa mendampingi ibuku, sampai hari tuanya. Aku tidak minta ditemani oleh perempuan lain dalam hidupku.

Sejak pertama aku melihatnya aku tahu ada sesuatu yang sangat akrab yang aku kenal dalam dirinya. Aku merasakan perasaan yang sama di depannya seperti di depan ibuku. Semacam kedekatan, atau malah kejauhan. Aku tidak pernah bisa menjadi pengganti bapakku. Di kala aku dekat dengan ibuku, sering kali aku melihat matanya menerawang seakan aku tidak di situ. Ia masih mencintai bapak, sekali pun telah ditinggalkan. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana seorang perempuan bisa mencintai laki-laki yang tidak mencintainya.

Tidak banyak yang bisa aku ingat tentang bapakku, meskipun ia meninggalkan kami ketika aku sudah cukup besar. Ia memang jarang di rumah. Kadang aku iri melihat teman-teman yang punya bapak yang sering mengantar mereka ke mana-mana. Aku iri melihat teman-temanku yang sering berolah raga bersama bapaknya. Ibuku memang sering menemaniku, tapi rasanya pasti berbeda. Aku kerap kali merasa malu karena ditemani ibu, teman-teman pasti berseru aku anak mami. Mulanya aku kesal. Aku marah dengan mereka, kadang kalau sudah memuncak kulempari batu. Batu kerikil kecil tentu saja. Cukup untuk membuat mereka kabur tanpa membuat mereka terluka. Mungkin aku belajar ini secara tidak langsung dari bapakku. Meskipun ia meninggalkan kami, ia tidak pernah sekali pun memukul aku, apalagi memukul ibu. Aku kadang melihat rasa hormatnya yang mendalam kepada ibu, seperti seorang anak kepada ibunya. Mungkin karena itulah ia memilih wanita lain, wanita yang bisa didominasi dirinya, untuk memperlihatkan kejantanannya. Ibuku memang bukan orang yang pemarah dan keras, namun dengan kelembutan dan ketenangannya, ia ibarat beringin ratusan tahun yang tidak tergoyahkan. Dan ego laki-laki bapakku terluka dan hanyut dalam ketenangan ibuku.

Aku baru memahami ini ketika aku beranjak dewasa, setelah aku banyak berinteraksi dengan orang lain. Mulanya aku langsung menyalahkan bapakku karena meninggalkan kami. Tapi lama-kelamaan aku mulai bisa memahami pikirannya. Ia butuh kebebasan yang tidak diperolehnya dalam naungan sayap ibuku.

Tanpa bapakku sebenarnya ibuku tidak terlalu berkurangan. Ia perempuan yang cerdas. Ia bukan tipe perempuan yang harus bergantung pada laki-laki. Ia cukup mandiri. Bahkan sebelum bapak meninggalkan kami ia sudah memulai usaha katering, meskipun kecil-kecilan. Sesudah bapak meninggalkan kami usaha katering ibu benar-benar dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kami, biaya sekolahku dan adikku. Secara keuangan kami tidak pernah berkekurangan, meskipun juga tidak berkelebihan.

Ibuku memang seorang pejuang. Mungkin lebih mirip pejuang yang kalah. Meskipun boleh dibilang ia sukses membesarkan kami berdua, terlihat ada sisi kosong yang tak pernah terisi. Aku selalu berusaha mengisi ruang itu. Dan sampai saat ini aku masih gagal.

BAB 25 HARDI & DWINA

Sejak hari itu, ia makin dekat denganku. Meskipun sudah bisa menerima kehadirannya di dekatku, kadang perasaan risih itu masih ada. Ia adalah perempuan pertama yang melewati wilayah pribadiku setelah ibuku. Aku bukanlah seorang laki-laki yang terbiasa dekat dengan perempuan. Entah mengapa aku tidak tahu. Mungkin aku takut mengkhianati ibuku, sebagai satu-satunya perempuan yang kucintai di muka bumi ini. Hanya dengan ibuku aku bisa dekat tanpa merasa risih. Aku bisa memeluknya dengan perasaan penuh kasih sayang. Ada perasaan hangat di dada yang menyenangkan. Ada perasaan melindungi dan juga terlindungi. Perasaan itu tak pernah berubah sejak aku kecil sampai sekarang. Adikku pun tidak terlalu dekat denganku. Mungkin karena aku menjadi pengganti ayah bagi dirinya. Aku sering kali terlalu keras padanya sebagai figur otoritatif di rumah. Memang aku juga menyayanginya, hanya saja aku merasa bertanggung jawab atas dirinya, sebagai laki-laki paling tua di rumah. Begitulah adanya, kasih sayang memang ada, tapi tanpa kemesraan. Kemesraanku hanya untuk ibuku.

Aku sering kali masih menghindar kala ia memegang tanganku. Aku merasa itu sesuatu yang tidak pantas. Kadang-kadang ia menggenggam tanganku begitu eratnya sehingga tidak mungkin untuk melepaskannya tanpa membuat ia tersinggung. Perasaan tak enak itu terus kutahan. Meskipun ia sudah begitu dekat denganku, tetap saja aku tak terbiasa. Dan aku tak tega untuk memberitahukan kepadanya, bahwa sesungguhnya aku risih dengan pegangan tangannya. Waktu kupaksakan dulu di taman untuk menggenggam tangannya, hatiku bergejolak. Bagi orang lain mungkin itu merupakan suatu peristiwa yang biasa. Tidak bagiku. Begitu aku menggenggam tangannya, seakan aku telah bersumpah untuk melindunginya seumur hidupku. Aku tahu itu bukan apa-apa, tapi lagi-lagi, aku tidak bisa! Aku tak mau dia tahu bahwa genggaman tanganku sebenarnya bermakna sangat dalam. Cukup saja aku yang tahu. Kenapa sih aku tidak mau memberitahukan perasaanku kepadanya. Tidak! Bebannya sudah cukup berat. Aku tak perlu membagikan beban yang tak perlu padanya.

Hari ini aku janjian untuk bertemu dengannya di toko buku, menemaninya mencari buku. Huh, mencari buku saja minta ditemani, manjanya! Adikku saja mungkin langsung kuomeli kalau ngajak aku mencari buku. Memangnya kamu tidak bisa mencari buku sendiri. Kamu tahu kan judul yang harus kamu cari? Ya sudah, cari saja sendiri. Lagi pula aku ke sana tidak ada fungsi kan? Lain halnya kalau aku kebetulan juga mau mencari buku untuk diriku sendiri. Kalau tidak ya silahkan pergi sendiri. Tapi bagaimana aku bisa berkata tidak kepadanya. Aku takut menyakiti hatinya. Dengan sedikit bersungut-sungut aku pun menemaninya, tentu saja tidak sepengetahuannya. Ia terlambat. Sudah hampir setengah jam dari waktu yang kami sepakati. Semestinya aku sudah mati kesal. Tapi kenapa, ketimbang kesal aku malah kuatir kalau ia ada apa-apa di jalan. Sebegitu parahkah aku mengkuatirkan keadaannya. Kucoba tenangkan hatiku bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Itu dia, lagi-lagi dengan jaket biru kesayangannya. Kupasang senyum untuk menyambutnya.
“Hi…hi…, sorry terlambat. Habis tidur siang, telat bangun,” katanya dengan entengnya dengan senyum nyengir innocent terpampang di hadapanku. Bagaimana mungkin aku bisa marah dengan tampangnya yang seperti itu.

“Ya sudah, ayo masuk ke dalam!” aku mencoba untuk sedikit ketus, tapi kedengarannya malah seperti marah tanda sayang.

Lagi-lagi digandengnya tanganku sambil masuk ke toko buku. Bagi orang lain kami mungkin kelihatan seperti dua orang pacaran. Oh God, I hate that! Ingin rasanya aku berteriak kalau ia bukan pacarku. Lagi-lagi aku pendam rasa itu, untuk kesekian kalinya. Dibimbingnya aku ke rak buku-buku akuntansi yang dekat dengan buku-buku ekonomi lainnya, buku-buku yang tidak pernah kusentuh. Pelajaran ekonomi memang pelajaran yang paling kubenci sejak jaman aku masih SMA dulu. Kenapa coba orang harus belajar ekonomi. Belajar ilmu teknik jelas kegunaannya, bisa membangun. Ekonomi, omong kosong macam apa itu? Kenapa aku harus menghafalkan jenis-jenis perusahaan misalnya. Apa gunanya? Aku tidak habis pikir!

“Tolong lihat dong ada tidak buku tentang auditing.”
“Auditing? Binatang macam apa pula itu?”
“Pokoknya cari saja yang judulnya ada tertulis auditing, aku tidak mau ngasih kuliah panjang untuk menerangkan arti auditing ke kamu!”
“Yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris?”
“Bahasa Indonesia saja, lebih mudah dimengerti.”
“Wah, payah kamu, kan mendingan pakai yang asli, bukan terjemahannya.”
“Ah kamu, maunya cari susah saja. Enakan pakai yang bahasa Indonesia lah!”
“Kalau tidak mulai membiasakan membaca buku dalam bahasa Inggris, bisa kesulitan nanti kamu nantinya kalau kamu sudah dalam dunia kerja.”
“Ah, itu sih nanti saja dipikirin,” katanya dengan cueknya.

Mengapa sih buku ekonomi banyak yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Apa karena mahasiswa yang masuk jurusan ekonomi itu lebih goblok dari yang masuk teknik. Buku kami hampir semuanya masih dalam bahasa aslinya. Kami tidak pernah kesulitan belajar hanya karena kendala bahasa. Mereka terlalu dimanja.

“Nah ketemu!” serunya dengan riang. Ia memang ekspresif, sekaligus depresif, seperti Edinburg, yang dalam sehari bisa mengalami empat musim. Mungkin inilah yang aku sukai darinya. Aku sendiri menurutku terlalu tenang. Kehadirannya memang telah memberikan warna dalam hidupku.
“Udah, sekarang langsung pulang.”
“Kita main dulu yuk.”
“Main? Main ke mana?”
“Temani aku ke Time Zone!”
“Wah, kamu sering main ke Time Zone.”

Dia sempat terdiam sejenak. Kembali aku merasa begitu jauh dengan dirinya. Lalu ia berkata dengan suara lirih, “Dulu…, ia sering main bersamaku. Main di Time Zone. Mulanya aku hanya menemaninya, karena aku tidak biasa main di situ. Lama-lama aku ikutan main juga.”

Ia terdiam lagi, sebelum diteruskan, “Ia selalu mentertawakan permainanku. Koinku cepat sekali habis.” Ia terkikik kecil, mungkin ada kenangan manis pada saat itu.
Aku tak tahu harus berkata apa.

“Mau temani aku?”
“He…eh.”

BAB 24 HARDI

Apa maksudnya semua ini Tuhan? Kau tahu aku tidak pernah mengimpikan semua yang terpapar di hadapanku saat ini. Aku tidak pernah mengharapkan pertanyaan seperti itu diajukan kepadaku. Selama ini aku memang selalu menghindarinya. Untuk apa aku mempertanyakan semua hal itu? Semua itu memang tidak penting. Aku tidak suka perubahan. Perubahan selalu membuat riak, riak menjadi gelombang, dan gelombang menjadi badai. Aku hanya seorang manusia sederhana yang ingin hidup tenang.

Sejak malam di saat ia menangis pertama kali di telepon, aku sudah merasakan sesuatu, suatu perasaan lain di hatiku terhadapnya. Tentu saja perasaan itu aku bunuh seketika, lagi pula ia adalah klienku. Perasaan seperti itu hanya akan membuat aku tidak objektif dalam membantunya. Tanpa itu bisa saja aku jadi bertindak tidak rasional yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri.

Namun di kala sepi, kadang aku sedikit nakal untuk berani bertanya dalam diriku sendiri. Apa sepertinya arti dirinya bagiku. Ia menyenangkan. Ia bisa membuat diriku ceria. Ia sering tertawa. Tentu saja bukan berarti aku sendiri orang yang menyedihkan. Namun memang ada sisi-sisi dari dirinya yang tidak ada padaku. Orang biasa bilang itu adalah opposite attraction. Tapi apakah itu berarti aku mencintainya? Jangankan mencintai, suka pun belum tentu. Ia bukan tipeku, fisik maupun pribadinya. Aku rasa aku akan lebih pas dengan orang seperti Mbak Maria. Meskipun berbeda Mbak Maria bisa mengerti aku dan begitu pula sebaliknya. Kami juga memiliki perhatian yang sama terhadap kemanusiaan. Kadang aku malah berpikir ia terlalu mirip dengan diriku. Kami bahkan bisa menebak isi hati masing-masing. Hanya saja memang tak pernah ada rasa ketertarikan di antara kami berdua. Mungkin karena kami memang terlalu serupa, sehingga melihat satu sama lain seperti memandang diri sendiri. Tapi kupikir jika suatu saat aku menikah, aku hanya akan menikah dengan perempuan setipe denganku. Aku tak terbayangkan menikah dengan perempuan yang bertolak belakang denganku. Tak terbayangkan perkelahian rumah tangga yang harus kulalui.

Kadang kala aku merindukan kehadirannya. Meskipun di awal mula keberadaannya menjadi sebuah gangguan kecil dalam hidupku, lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan gangguan kecil tersebut, bahkan merindukannya. Tentu saja aku tidak pernah mengatakan hal ini kepadanya. Sampai saat ini aku masih menempatkan diriku menjadi seorang pelindung baginya yang tentu saja tidak boleh terlihat lemah.

Di luar itu semua aku sangat menyayanginya. Aku menjadi klien favoritku, sesuatu yang terlarang sebetulnya, mengistimewakan satu klien terhadap yang lainnya. Meskipun di mulut aku mengakuinya sebagai seorang teman, namun aku tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaanku sebagai konselor baginya. Aku selalu berusaha menganalisis dirinya. Ia menjadi semacam mainan favorit bagiku yang selalu kujaga dan sekali-kali bahkan aku utak-atik. Aku merasa aku tidak bisa mencintainya lebih dari itu. Ia memang istimewa, but not that special.

Pertanyaannya hari ini bagaikan geledek yang menyambar di siang bolong. Ia telah membuka front di daerah kelemahanku. Mengapa ia mengajukan pertanyaan seperti itu? Apakah ia mengharapkanku? Atau mungkinkah ia sekedar mengujiku. Atau malah ia ingin menjebakku! Apa? Apa maksudnya?

Kuputar otakku untuk mencari kemungkinan semua skenario yang mungkin. Aku pikir aku selama ini cukup menjaga diriku dalam berhubungan dengannya. Aku tidak pernah melakukan sesuatu hal pun yang mungkin bisa ditafsirkan lain oleh dirinya. Tidak mungkin ia jatuh cinta kepadaku. Tidak mungkin! Bisa jadi ia sedang mengujiku juga. Cuma saja aku tidak tahu kriteria apa yang sedang diujikan. Apakah ia menguji aku sebagai prospek pacar baru, atau malah sebaliknya seorang kakak yang bisa melindungi tanpa daya tarik seksual sama sekali. Apa pun skenarionya, nampaknya aku sedang berada dalam sebuah pusaran permainan yang dibentuk olehnya. Oh God, I hate it! Aku benci berada dalam permainan orang lain. Aku tidak suka jika ada orang lain yang mengontrol hidupku.

Bagaimana sekarang aku harus bersikap kepadanya? Seperti yang aku katakan tadi pagi mungkin. Sebagai seorang kakak yang akan menjaganya. Ya, sebagai seorang kakak. Permainan ini akan kulanjutkan dengan peran sebagai seorang kakak. Kupikir peran ini tidak sulit, karena aku toh memang menyayanginya. Aku tidak pura-pura dalam hal itu.

BAB 23 DWINA

Tuhan, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sudah capek Tuhan, capek untuk hidup. Ingin rasanya aku minta Engkau untuk mencabut nyawaku sekarang saja. Toh tak akan ada orang yang merasa kehilanganku. Orang tuaku tidak, Steve apa lagi. Orang tuaku mungkin akan menangis sejenak, namun tak lama pasti mereka akan lupa padaku. Toh aku sudah terlalu lama tidak tinggal serumah dengan mereka. Mereka sudah terbiasa hidup tanpaku. Kepergianku tidak akan membuat mereka merasa kehilangan apa-apa. Bagi Steve kematianku bahkan menjadi lonceng kebebasan baginya. Sudah jelas bahwa ia sudah bosan denganku. Ia dengan mudah akan mendapatkan pengganti diriku.

Kenapa harus kau timpakan semua penderitaan ini kepadaku ya Tuhan. Marahkah Engkau padaku. Apakah ini semua balasan atas dosa-dosaku. Bila memang demikian nampaknya tak ada yang bisa kulakukan selain menjalaninya Tuhan. Aku hanya berharap kematianku ini bisa menebus semuanya. Hanya itu yang bisa aku pohonkan kepadaMu.

Dan kini ada seorang yang dekat denganku. Apakah ia adalah jawabanMu atas doa-doaku ya Tuhan. Ia memang berbeda dengan yang lain. Ia tidak banyak bicara. Ia tak pernah marah padaku. Ia juga tidak pernah minta apa-apa dariku, seakan ia orang yang paling kaya di dunia. Padahal aku tahu ia hanyalah seorang mahasiswa miskin. Namun karena itu juga aku tidak tahu apa maksudnya. Ia tidak pernah mengatakan maksudnya. Ia hanya selalu ada untuk mendengarkan segala keluh kesahku. Ia sendiri tidak pernah membuka diri kepadaku. Aku merasa rendah dihadapannya karena aku tidak pernah memberikan apa-apa padanya, kecuali mentraktirnya tentu saja. Tapi di luar itu tidak ada. Ia kelihatannya sudah dapat mencukupi kebutuhannya sendiri.

Tak pernah sedikit pun ia menunjukkan perhatian kepadaku seperti layaknya perhatian seorang pria kepada wanita. Aku bahkan sempat berpikir jangan-jangan ia homo. Tapi kupikir tidak mungkin, karena aku tidak pernah melihat ia dekat dengan laki-laki. Ia bahkan kelihatan cukup dekat dengan seorang rekannya di biro, mungkin itu pacarnya. Tapi aku benar-benar tidak tahu kenapa ia tidak pernah mau membuka diri kepadaku. Aku bingung Tuhan, sesungguhnya siapakah dia. Apakah ia mencintaiku?

Aku memang masih mencintai Steve. Tak semudah itu aku dapat berpindah ke lain hati. Namun aku hanyalah seorang wanita yang kadang ingin dikagumi. Dan ia nampaknya tidak sedikit pun tertarik kepadaku. Beda sekali dengan Steve dulu.

Tentu saja kalau bisa Tuhan, aku ingin kembali ke keadaan dahulu, ketika aku baru mulai pacaran dengan Steve. Semua terasa begitu indah. Ia benar-benar memperlakukan aku sebagai seorang tuan putri. Ia mengagumiku. Ia pernah berkata bahwa susah mencari cewek yang seperti aku. Siapa yang tidak akan tersanjung jika dipuji seperti itu. Terlalu sukarkah bagiMu Tuhan untuk mengubah hatinya supaya ia menyayangi aku seperti dulu kala? Kadang aku berpikir apakah semua cowok seperti itu, habis manis sepah dibuang?

Apakah ini memang hukumanmu untukku Tuhan, sehingga Kau pertemukan aku dengan Steve yang begitu rupa menyakitiku. Mengapa semua yang mulanya manis seperti madu di mulut harus menjadi pahit empedu ketika harus ditelan? Apakah Engkau memang Maha Penghukum sehingga tak ada suatu pun yang tak berbalas. Apakah Engkau yang harus kusalahkan dari semua ini, atau semua memang salahku sendiri. Salahkan aku berharap sebuah kebahagiaan Tuhan, walaupun aku tahu bahwa aku tak pantas karena dosa-dosaku.

Lalu apakah Hardi adalah pertanda bahwa Engkau memang Maha Pemaaf. Apakah ia jalan keluar yang memang Engkau sediakan untukku. Ah…! Kepalaku kalut Tuhan. Aku tak sanggup lagi! Berikan aku petunjuk Tuhan, kalau tidak lebih baik cabut saja nyawaku ini.

BAB 22 HARDI & DWINA

Tak terasa sudah beberapa bulan aku sering bersama dengan Dwina. Bahkan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya di sampingku. Aku mulai menganggapnya sebagai adikku sendiri, adikku yang cerewet dan suka merajuk. Senang juga rasanya punya adik baru, karena aku sendiri harus berpisah dengan adikku yang masih sekolah di kampung asalku. Keceriaannya mulai mengisi hari-hariku. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, ia sering menggangguku, baik dengan telepon maupun dengan inspeksi-inspeksi mendadaknya. Kelakuannya melebihi adik kandungku sendiri. Manjanya kadang tidak ketulungan. Belum lagi ngambeknya. Selama ini aku masih tahan-tahan saja. Kadang ia malah kucueki sama sekali, terutama di saat aku sedang sibuk. Kadang aku tidak habis pikir, bukankah ia sedang sibuk skripsi, kok masih sempat-sempatnya menggangguku. Ya, sudahlah, kupikir. Ada baiknya aku biarkan saja. Hanya saja ia tidak pernah menyinggung tentang hubungannya dengan Steve lagi. Aku kadang penasaran, dan ingin sekali rasanya bertanya langsung kepadanya. Tapi aku masih bisa menahan diri. Ngapain juga, pikirku, pusing memikirkan urusan orang lain, urusanku sendiri juga tidak kalah banyak. Dan begitulah jadinya, aku tidak menyinggung sama sekali, dan ia pun tidak bercerita.

Hari ini Dwina mengajak aku ke gereja bersama, sebuah kegiatan yang belum pernah kulakukan dengan siapapun, bahkan dengan teman-temanku. Bagiku ke gereja, atau ke tempat ibadah mana pun mestinya menjadi sebuah acara yang sangat pribadi. Di sana kita bertemu dengan Tuhan. Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa orang harus ke gereja bersama-sama. Ke gereja bukanlah sebuah event sosial. Di sana kita menjadi sebuah pribadi, dilepaskan dari semua keterkaitan kita dengan dunia. Gathering setelah pulang gereja boleh saja sih dilakukan, tapi itu kan acara sesudah acara pokok! Bagaimana pun acara utamanya, tetaplah acara yang sangat pribadi.

Hal ini juga yang membuat aku sangat memilih-milih tempat duduk di gereja, tempat yang sepi. Tempat sepi di gereja, adalah sebuah tempat yang tak mudah didapatkan. Sebagai pedoman pertama: hindari rombongan muda-mudi, mereka senang berkelakar! Mereka itu sangat mengganggu konsentrasi. Pedoman kedua: hindari keluarga yang membawa anak kecil. Anak kecil memang lucu, tapi tidak di dalam gereja! Mereka menjadi setan kecil yang akan mengganggu konsentrasi Anda. Ia akan merengek, menangis, berjalan-jalan di koridor, dan lain-lain. Yang paling baik adalah duduk di dekat nenek-nenek. Merekalah yang paling khusyuk kalau berdoa, doanya lirih, kadang tak terdengar sama sekali. Di dekat mereka engkau dapat berkonsentrasi dengan penuh.

Itu baru gangguan suara, masih ada gangguan lainnya, gangguan mata. Kiranya sudah diketahui oleh umum kalau banyak orang yang ke gereja dengan pakaian mencolok, kadang malah seksi! Sebagai orang normal mau tidak mau mata ini tidak bisa dikendalikan. Dan konsentrasi pun terganggu dengan sendirinya. Ini biasanya penyakit gereja di kota besar. Aku pernah diceritakan oleh seorang pastor misionaris dari Prancis. Di sana, katanya, pernah dicoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan memberikan sebutir apel merah, ya betul, sebutir apel merah kepada wanita yang berdandan atau berpakai terlalu mencolok. Mungkin maksudnya untuk mengingatkannya akan kisah Hawa yang menggoda Adam di dalam Kitab Kejadian[1]. Kutanyakan padanya mengapa kita tidak mencoba hal yang sama di sini. Ia hanya tertawa. Aku menduga mungkin karena harga apel terlalu mahal sehingga bisa menggerogoti kas gereja. Atau, karena orang Indonesia tidak mempan disindir dengan cara halus barangkali?

Bagaimana pun aku harus menemani Dwina ke gereja hari ini, dengan setengah hati. Kujemput dia di asramanya pagi-pagi, karena aku tidak ingin terlambat. Lagi pula perjalanan ke gereja agak jauh. Ia suka ke gereja katedral. Aku sebenarnya tidak suka ke katedral, terlalu ramai, aku lebih suka ke kapel kecil yang tenang. Tapi baiklah kuturuti dia, namanya juga menemani.

Kutekan bel pintu asramanya. Ia langsung keluar membukakan pintunya. Rupanya ia sudah menungguku.

“Kupikir kamu mungkir janji.”
“Mungkir janji gimana? Kan masih pagi. Lagian mana mungkin aku berani mungkir janji dengan kamu.”
“Kamu pasti nggak tega.”
“Bukannya nggak tega, tapi kalau kamu nangis, nggak ada yang jualan balon,” kataku sambil menahan ketawa.

Dicubitnya lenganku sekencangnya dan aku juga mengelak dengan tak kalah gesitnya. Ia nampaknya kalah gesit denganku dan mulai mengejarku. Tentu saja aku bisa berlari lebih kencang karena memakai sepatu kets sedangkan ia memakai sepatu wanita yang agak tinggi. Tak lama ia mulai putus asa, ia berhenti dan tak mengejarku lagi. Itu justru sinyal yang tidak baik. Tandanya ia sudah mulai ngambek. Aku berbalik berjalan ke arahnya.

“Udah deh, kamu boleh cubit sepuasmu sekarang,” kataku pasrah.
Tanpa menunggu lagi langsung saja kedua tangannya beraksi, mencubit lenganku dengan sekuat tenaga.
“Au…, kok nyubitnya beneran, aku kan cuma becanda.”
“Terserah, pokoknya kamu nggak boleh marah.”
“Lho, kok gitu.”
“Soalnya…, ada deh!”

Tanpa mempedulikan aku ia sudah menyetop angkot. Dan begitulah semua berlalu begitu saja, tanpa kesimpulan, seperti hari-hari lainnya ketika ia bersamaku. Hari-hari menemani adik kecil yang suka mengambek.

Aneh juga rasanya ada orang lain di sebelahku, maksudnya orang yang benar-benar kukenal, dan pergi bersamaku. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Namun begitu ibadah sudah mulai, aku benar-benar putus hubungan dengan dunia luar. Ia tidak kuperdulikan sama sekali. Aku kembali menjadi diriku sendiri, tenggelam dalam dunia meditatif yang hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Setelah ibadat selesai aku baru menoleh ke sebelahku, ke arahnya. Ia masih berdoa dengan khusyuk, sekilas kulihat setetes air mata turun dari kedua matanya. Kembali aku menghadapi situasi yang tidak kupahami. Ia kembali ke dalam ruang kelam yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Ingin sekali aku ikut berbagi dengannya, namun di lain pihak aku takut. Ia terlihat begitu ceria dari luar seperti sebuah bola kristal. Hanya saja bola kristal itu begitu tipis, tersenggol sedikit akan pecah. Ingin aku melihat ke dalam bola kristal itu namun aku takut untuk membersihkan embun yang menutupinya. Aku takut menggosoknya, takut pecah. Sungguh sebuah dilema yang aku tak tahu bagaimana harus aku hadapi. Ingin sekali kuambil sapu tangan dan kuseka kedua matanya, namun tak kuasa aku menggerakkan kedua tanganku ini.

“Aku ingin bicara denganmu,” katanya tiba-tiba, sedikit mengejutkanku.
Aku hanya mengangguk perlahan, mengiyakan.
“Kita sebaiknya bicara di taman saja.”

Kami pun berjalan bersama menuju taman balai kota yang hanya terletak di seberang katedral. Sepanjang perjalanan ia memegang tanganku. Meskipun pagi hari taman sudah mulai ramai. Mungkin karena ini hari Minggu. Kami mencari tempat yang agak sepi dan mencari bangku untuk duduk.

Sambil duduk ia memegang kedua tanganku dan meletakkannya di atas pangkuannya.
“Mas, aku sudah tidak tahan lagi.”
Tanganku digenggamnya semakin erat. Air matanya mulai bercucuran lagi.
“Aku kemarin ke dokter. Penyakitku ternyata makin parah. Paru-paruku sudah rusak sebelah. Aku tak tahu masih bisa hidup berapa lama.”

Lama kami terdiam saling berpandangan. Rupanya beban ini yang telah lama dipendamnya. Inilah arti air matanya yang dari dulu tidak kupahami. Air mati kesepian, sakit dalam sepi. Dan mungkin pula mati dalam kesepian tanpa siapa pun yang menemani.

Tiba-tiba wajah mama berbayang di wajahnya. Rasa ini adalah rasa yang sangat kukenal. Rasa sayangku kepada mama. Seluruh simpatiku sekarang tertumpah kepadanya.

“Aku akan selalu bersamamu,” kataku mencoba menghibur meskipun kupikir tidak akan banyak membantu. Tangannya kini kugenggam erat dalam kepalanku.
“Mas Hardi. Aku sesungguhnya Mas anggap apa sih?”

Pertanyaan itu bagaikan sambaran petir di siang bolong bagiku. Pertanyaan itu telah meruntuhkan status quo di antara kami. Selama ini aku selalu menghindar dari pertanyaan itu walaupun hanya dalam pikiran. Kupikir aku tidak ingin ada yang berubah di antara kami. Biarlah ia menjadi teman mainku saja. Aku bukan tipe orang yang suka kehidupan yang penuh dinamika. Aku mau hidup tenang. Dalam ketenangan aku bisa berpikir dengan jernih dan berkarya sebaik-baiknya. Selama masa hidupku yang masih muda ini aku relatif bisa menjaga ketenangan itu. Sudah cukup riak besar yang ditinggalkan papaku. Butuh bertahun-tahun aku untuk menenangkan riak itu sampai perahu, yang berisi mama dan aku, benar-benar stabil. Dan aku tidak ingin merubah apa-apa selain menjaga mama supaya bahagia sampai hari tuanya.

Lama aku terdiam tak sanggup untuk menjawab pertanyaannya. Bahkan memandang langsung ke matanya pun aku tidak berani. Akhirnya setelah mengeraskan hati aku pun berkata terus terang dengannya.

“Dwina, aku menganggap engkau sebagai adikku.”
“Hanya sebagai adik?”
“Sebagai adik yang paling kusayangi.”

Dia tersenyum, matanya masih berurai air mata. Kali ini kuusap wajahnya yang basah dengan tanganku sendiri. Tangisnya benar-benar membuat aku semakin menyayanginya. Adikku. Adikku yang nakal namun sangat rapuh. Aku berjanji akan selalu melindunginya dan menjaganya. Seperti aku melindungi dan menjagai mama.

“Janji yah, kau akan selalu menyayangiku.”
“Ya, aku janji.”
“Apa pun yang terjadi!”
“Ya, apa pun yang terjadi. Kecuali kalau aku mati duluan.”
“Nggak mungkin,” ia pukul bahuku, “kamu kan nggak sakit!”
“Siapa tahu aku mati karena kamu pukul terus.”
“A…ah, tuh kan bercanda lagi!”
“Udah, nggak becanda lagi,” kupegang kedua pipinya dengan kedua tanganku, “udahan yah nangisnya, nanti jadi jelek.”
“Jelek gini juga kamu masih sayang kok.”
“Ya, aku akan tetap menyayangiku walaupun mukamu jadi kayak nenek-nenek.”

Ya, karena hanya aku yang ada untuknya. Seperti hanya aku yang ada untuk mama.

[1] Kitab yang mengisahkan awal penciptaan manusia di dalam Taurat.

BAB 21 HARDI

Malam itu aku terbangun di tengah malam. Dengan mata yang sebenarnya masih
mengantuk aku bangun. Aku haus sekali. Langsung aku bergerak ke arah dapur untuk
mengambil air minum. Kulihat Mama tertidur tertelingkup di dapur. Mengapa Mama
tidak tidur di kamar, pikirku. Kusentuh pundak Mama dan ia terbangun.

“Kok nggak tidur di kamar Ma?”
“Mama sedang menunggu Papamu, sayang.”
“Loh, memang Papa belum pulang?” tanyaku dengan sedikit terbengong.
“Iya, Papa belum pulang.”
“Papa ke mana yah?Nggak diculik orang jahat kan Ma?”
“Nggak sayang, mungkin ia harus lembur di kantornya.”
“Tapi ini kan sudah malam sekali,” aku berusaha memeras otak untuk memahami cara orang dewasa bekerja, yang kadang harus sampai larut malam, sesuatu yang sangat sulit dimengerti dengan pikiran seorang anak kecil.
“Mungkin Papa tidur di kantor.”
“Kalau begitu aku mau menemani Mama.”
“Jangan, nanti kamu terlambat bangun besok,
kamu kan harus sekolah.”
“Nggak, aku mau menemani Mama, aku tidur di sini saja sama Mama.”
Dan Papa tidak pulang ke rumah malam itu.

Yah, papa tidak pulang malam itu. Itulah awal keretakan rumah tangga kami. Tak lama berselang papa pun meninggalkan kami, kawin dengan wanita lain. Dan akulah yang menjadi pengganti papa bagi mama. Aku tahu bahwa aku tidak bisa menggantikan papa seutuhnya, hanya saja paling tidak aku menjadi pelipur lara bagi mama. Aku tidak boleh menyakiti mama.

Ia hanya memiliki diriku seorang.

Monday, June 06, 2005

BAB 20 DWINA

Mungkin ia memang bisa diandalkan. Paling tidak ia kelihatan cukup tulus. Perlahan-lahan mungkin aku bisa berbagi beban dengannya. Kita lihat saja nanti.
Aku bisa tidur nyenyak malam ini.

Kakak, kita mau jalan-jalan kemana?
Kak, jangan cepat-cepat larinya.
Kak, pegangan dong, aku takut jatuh.
Kak, gendong…
Di mana kita sekarang? Wah, di tepi danau. Airnya dingin sekali Kak. Aku ingin mandi tapi kayaknya terlalu dingin deh. Kita lihat-lihat angsa saja yah. O yah, Kak, boleh minta roti bekal kita sedikit. Aku mau ngasih makan angsa…
Ih, lucunya.
Angsa-angsa kecil yang manis. Putih sekali. Seperti salju. Kalau sudah besar pasti cantik seperti indukmu. Makanya makannya yang banyak yah, biar cepat
besar.
Kak, buat kapal-kapalan yuk. Yang besar ya, dan kuat. Aku nggak mau kalau kapalnya cepat tenggelam. Buat dua, satu buat aku, satu buat kakak. Eh nggak usah deh, satu saja, tapi yang besaaaaar sekali biar muat untuk kita berdua.
Kakak harus menemaniku terus yah sampai aku dewasa. Nanti kalau aku sudah dewasa pasti aku akan cari pacar yang baik seperti kakak. Aku mendingan nggak punya pacar, kalau nggak ketemu yang sebaik kakak. Pokoknya kakak harus nemenin aku terus.
Eh, itu ada perahu. Kita naik perahu betulan yuk. Kakak nggak bisa mendayung? Ayolah kak… Aku ingin naik perahu. Ayo kak…
Wah, asyik sekali! Ke tengah lagi kak. Bahaya? Nggak mau, pokoknya mau main yang jauh. Aku mau ngelepas kapal kertasnya di tengah danau.
Kak, jangan sampai goyang dong, aku kan takut. Ya, begitu. Aku mau ngelepas perahunya sekarang. Ah, kak…, tolong! Ah jadi kepleset deh. Tolong lepasin perahu kertasnya dong kak, aku takut perahunya goyang.
Wah kapal-kapalannya bocor, diambil lagi dong kak,
kita buat lagi kapal-kapalan yang baru.
Kaaaaaak! Kaaaak! Tolooooong!
Kaaakkkaaaaak!

Bab 19 HARDI & DWINA

Bergegas aku bersiap ke Cilaki. Waktu terasa berjalan begitu perlahan. Ingin rasanya kubayar sopir angkot itu lima ribu rupiah supaya ia tidak ngetem dan langsung lurus ke tujuanku. Tidak, aku belum se-desperate itu. Kusabar-sabarkan diriku. Sambil menyusun kata-kata untuk kuucapkan nanti. Salah, bukan kata-kata. Kata-kata tidak akan banyak membantu. Aku harus lebih banyak diam, diam mendengarkan. Kupikir itu yang akan kulakukan.

Setelah waktu yang berjalan begitu perlahan akhirnya aku sampai juga. Ia sudah di sana. Berdiri di tengah kedinginan udara malam. Jaket biru tebal yang selalu dipakainya melindunginya dari terpaan angin dingin. Aku tidak berjaket. Kegelisahanku sudah cukup untuk membuat badanku meriang.

“Dwina,” kusapa ia terlebih dahulu.
Ia tidak langsung menjawab. Ia raih tanganku.
“Lebih baik kita bicara sambil jalan saja.”
“Ya,” aku mengiyakan.

Ia mulai berjalan, perlahan tangannya mengendur dan aku pun melepaskan diri dari genggamannya, entah ia sadar atau tidak.
“Maafkan aku atas ulahku minggu yang lalu, aku tak seharusnya begitu dihadapanmu. Kau belum tahu siapa diriku.”
“Dwina, aku mengerti kegelisahanmu.”
“Aku takut. Aku takut sendirian. Aku takut sekali ditinggalkan pacarku. Tanda-tandanya sudah mulai terlihat.”
“Kau melihatnya?”
“Ya, ia sering ingkar janji. Ia juga terlihat bosan denganku. Apakah semua lelaki seperti itu?”
“Aku tidak tahu Dwina.”
“Mungkin semua lelaki memang seperti itu. Semua pacarku yang dulu juga seperti itu.”
“Engkau takut sendirian?”
“Ya, aku tidak berani hidup sendiri. Lebih takut lagi aku mati dalam kesendirian.”
“Apa yang kau rasakan?”
“Entahlah. Hidup mungkin terasa lebih ringan kalau kita bisa berjalan beriringan. Beban yang berat pun dapat terasa lebih ringan.”
“Bagaimana dengan teman-temanmu?”
“Ada sih, tapi kan kita tetap butuh yang spesial, yang selalu ada di sisi kita setiap saat kita membutuhkannya. Teman yang lain kan tidak bisa diharapkan setiap saat.”

Begitukah pikirnya. Aku tentunya berpendapat lain. Teman yang sejati juga bisa diandalkan setiap saat. Bahkan ada yang bersedia menyerahkan nyawanya demi sahabatnya. Apakah ia memang tidak mempunyai teman sejati? Saat ini pertanyaan itu masih harus kusimpan untuk diriku sendiri. Belum saatnya untuk ditanyakan. Ingat, aku harus lebih banyak mendengar.

Kuberanikan diri kupegang tangannya. Kugenggam hangat untuk memberikan dukungan kepadanya. Hal ini belum pernah kulakukan pada siapapun. Kupikir ia membutuhkannya. Ia membutuhkan dukungan, dan bukan sekedar dukungan dengan kata-kata. Ia juga mengeratkan genggamannya. Ia berbalik menatapku dalam-dalam.

“Maukah kau menjadi sahabatku.”
“Tentu Dwina, aku akan menjadi sahabatmu. Aku akan mendukungmu.”
Ia tersenyum, manis sekali. Sebuah kelegaan terbit di hatiku. Ternyata tak sesulit yang kuduga.
“Jadi aku bukan lagi klienmu lagi, ya…,” nadanya ceria.
“Kau temanku mulai sekarang.”
“Aku masih boleh ke biro kan?”
“Ya tentu lah. Tapi bilangnya jangan mau konsultasi, tapi mau nyari aku.”
“Kalau kamu nggak di sana.”
“Telpon saja rumahku,” seraya kuberikan nomornya kepadanya.
“He…he…, akan sering kuganggu nanti kamu.”
“Akan kutunggu gangguan darimu.”
“Nggak boleh marah lho kalau diganggu.”
“Kalau ngeganggunya keterlaluan boleh dong.”
“Nggak boleh!”
“Lho, kok gitu,” protesku masih dengan nada bercanda.
“Pokoknya nggak boleh marah,” ia mulai merajuk seperti seorang anak kecil.
Diayun-ayunkannya lenganku.
“Ya…ya…,” kupikir ia masih terlalu lemah untuk dikerasi. Kubiarkan saja sambil berjalannya waktu.
“Sekarang temani aku pulang. Kau harus tahu di mana aku tinggal.”
“Jalan kaki?”
“Ya, jalan kaki. Aku masih ingin menikmati malam ini.”

Jalan kakinya sih tidak apa-apa. Tapi hilangnya kegelisahan membuat dinginnya malam justru mulai menunjukkan taringnya. Aku kedinginan. Aku tidak boleh menunjukkan kedinginanku dihadapannya.

Sepanjang jalan ia dan aku bertukar cerita. Cerita-cerita lucu dan ringan seputar kehidupan mahasiswa. Meskipun kami berbeda kampus, namun kehidupan mahasiswa tidak terlalu banyak berbeda.

“Ngapain sih kuliah akuntansi, ngitungin duit orang, mending duit sendiri.”
“Kamu itu kuno banget sih. Tanpa akuntansi, perusahaan nggak akan jalan. Mereka nggak akan bisa menentukan barang itu mau dijual dengan harga berapa dan pegawai mau digaji berapa.”
“Apa sih susahnya nentuin harga barang sama gaji pegawai. Bahan baku ditambah ongkos lelah jadi harga barang. Ongkos lelahnya ya sesuaikanlah dengan berat ringannya pekerjaan.”
“Nggak segampang itu. Semua ada hitungannya. Belum lagi untuk ngitung pajaknya.”
“Alah, paling juga nyogok pegawai pajak, supaya pajaknya dikurangi.”
“Aku sih jujur, menghitung pajak sesuai dengan peraturannya.”
“Kalau kamu diminta perusahaanmu untuk merubah hitungan?”
“Aku akan lapor ke dewan profesi.”
“Kalau kamu diancam dipecat?”
“Aku kan bisa pindah ke tempat lain.”
“Kalau gajinya lebih kecil.”
“Aku akan minta selisihnya ke kamu.”
“Lho, kok gitu?”
“Soalnya yang mulai diskusi masalah ini kan kamu?” dicubitnya lenganku.
Aku berusaha menghindar dan gagal. Lumayan sakit juga cubitan cabe rawit yang satu ini.
“Berani main cubit yah…”
“Kenapa nggak berani.”
“Aku balas nanti,” ancamku setengah nggak niat.
“Emangnya berani.”
“Berani.”
“Coba…,” ia menantangku.
Kucubit pipinya, sayangnya ketimbang cubitan balas dendam lebih mirip cubitan sayang.
“Sakit!” teriaknya.
“Eh, maaf.”
“Ye, kena bohong.”
Ia berlari begitu aku berniat benar-benar membalasnya.
Ia berlari terus belok masuk ke asrama. Dari jauh ia berteriak.
“Sampai nanti, daag…”
Anak nakal. Awas nanti.

Ia telah menempati sebuah tempat di hatiku. Tempat apa aku masih belum jelas. Aku hanya ingin melindunginya. Seperti aku melindungi Mama. Ya seperti aku melindungi Mama.

BAB 18 HARDI

Malam ini malam Minggu. Aku jaga sendirian lagi seperti biasa. Biasanya aku bosan. Tapi kali ini tidak. Bukan bosan, melainkan gelisah. Gelisah menanti apakah ia akan datang, atau paling tidak menelpon. Terus terang aku juga tidak tahu apa yang harus kukatakan kalau ia datang. Aku tidak tahu bagaimana aku harus minta maaf kepadanya. Aku memang bukan orang yang tidak mau meminta maaf, cuma saja aku memang bukan orang yang tahu cara meminta maaf yang baik. Mungkin oleh karena itulah aku tidak suka kalau aku berbuat salah kepada orang lain, karena setelah itu aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf.

Kegelisahanku benar-benar menutupi sensitivitasku. Biasanya aku bisa mengagumi dinginnya malam. Pekatnya gelap pun menjadi temanku. Namun kini semua tidak ada satu pun yang masuk ke dalam benakku. Hanya perasaan bersalah. Bersalah karena telah menyakiti dia. Perasaan itu belum berkurang, setelah dua minggu berlalu.

Ada suara orang mendekat. Diakah? Jantungku berdegup kencang. Sebisa mungkin kutahan kakiku untuk tidak segera bergegas ke depan melihat siapa yang datang. Aku tidak boleh kelihatan terlalu berharap, kupikir. Tenangkan pikiranmu. Bertingkahlah biasa saja, seolah tak ada sesuatu pun yang terjadi.

Sebuah suara yang asing terdengar, “Selamat malam.”
“Selamat malam, Bu,” kataku kepada seorang sosok ibu, “ada yang bisa saya bantu.”
“Saya mau konsultasi, dek, tadi langsung disilahkan satpam masuk.”
“Mari silahkan masuk,” sambil kusilahkan ke ruang konsultasi dan kubawa ke tempat duduk.
“Apa yang saya bisa bantu, Bu.”
“Anak saya, dek,” ia berhenti sejenak, “ia ingin menikah dengan orang berbeda agama.”
“Maaf, Bu, ibu beragama apa?”
“Kristen.”
“Kalau begitu anak ibu tentunya beragama Kristen juga, bukan?” terusku, “anak ibu putra atau putri?”
“Putra, putra pertama. Sudah sejak dulu ia kularang untuk pacaran dengan orang berbeda agama. Sekarang jadi masalah!”
“Pacar putra ibu agama apa?”
“Islam.”
Hm… Sulit, pikirku.
“Ibu, sudah berapa lama mereka pacaran?”
“Dua tahun. Setelah setahun ketahuan, terus saya larang, mereka malah main belakang,” katanya dengan emosi sedikit menaik.
“Ibu kenal dengan pacarnya?”
“Pernah dibawa ke rumah. Dikenalkan ke saya. Mulanya saya pikir teman segerejanya. Ketahuannya waktu diajak makan. Ia nanya ada babinya apa nggak?”
“Di keluarga ibu ada yang menikah dengan yang beragama lain?”
“Tidak ada, kami semua kristen taat. Tidak boleh menikah dengan yang beragama lain. Tidak mengakui Tuhan Yesus, tidak akan selamat di akhir jaman.”
“Ya Bu, saya paham maksud ibu. Di keluarga ibu ada yang menikah dengan suku lain?”
“Ada, tapi yah itu. Sulit sekali. Kebiasaannya beda. Agak sulit. Mereka nggak ngerti kebiasaan kita. Nggak bisa dekat gitu. Masih untung bisa ke gereja sama-sama. Coba bayangkan anak saya nanti, tidak bisa ke gereja sama-sama.”
“Anak ibu atau pacarnya tidak ada rencana pindah agama?” tanyaku menyelidik lebih dalam.
“Mereka berdua sama-sama keras.”
“Berarti mereka tidak masalah dengan perbedaan agama tersebut.”
“Tapi ya mana boleh begitu. Satunya lebaran, satunya natalan. Kan kacau, nanti kalau puasa siapa yang menyiapkan makanan untuk anakku, istrinya kan puasa.”
“Bu, perkawinan antar agama memang tidak gampang. Berlainan suku saja sudah cukup sulit, apa lagi lain agama. Ibu tidak salah dalam hal ini.”
“Betul, cuma ya itu. Anakku itu ya nggak mau ngerti. Katanya cinta bisa mengalahkan segalanya. Apa itu cinta? Aku dulu menikah juga nggak tahu apa itu namanya cinta. Buktinya langgeng-langgeng saja.”
“Jaman memang sudah berubah Bu. Anak sekarang mengagung-agungkan cinta. Mereka mana ada yang mau dijodohkan seperti jaman dulu.”
“Tapi, ya itu. Dinasehati ya nggak mau dengar. Apa bisa mereka saya ajak kemari supaya mengerti.”
“Ibu, penyelesaian masalah ini adalah di tangan keluarga ibu dan di keluarga pacar anak ibu. Saya hanya bisa memberikan sedikit pengertian. Pilihan tetap di tangan ibu.”
“Bagaimana itu?” kedengarannya si ibu sedikit bingung mendengarkan penjelasanku.
“Ibu, bagi umat Islam, seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan orang yang tidak beragama Islam. Sebaliknya seorang pria muslim boleh menikahi wanita non muslim. Dalam hal ini memang hukum tidak menguntungkan. Jadi secara hukum agama memang tidak akan dianggap sebuah perkawinan yang sah. Ditambah lagi di negara Indonesia ini, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sah secara agama. Perkawinan anak ibu tidak dapat direstui oleh negara juga. Satu-satunya solusi hanya menikah dengan hukum di luar negeri.”
“Berarti sulit sekali bukan? Akan saya beritahu anak saya.”
“Betul, Bu, sudah sewajarnya anak ibu tahu konsekuensi dari pilihan yang akan mereka ambil.”

Telepon berdering.
“Sebentar ya Bu,” aku melangkah menuju telepon dan mengangkatnya.
“Selamat malam, Biro Konsultasi BIRU di sini, ada yang bisa kami bantu.”
“Ini dari Dwina,” suara manis yang begitu kekenal terdengar di ujung telepon.
“Ini Hardi,” nadaku sedikit gemetar karena kegelisahan sudah merambat sampai ke perutku.
“Bisa kita bertemu malam ini?” suaranya begitu halus nyaris tak terdengar.

Jam jagaku masih satu jam. Aku tidak semestinya meninggalkan posku. Tapi keinginanku untuk bertemu dengannya sudah tak tertahankan.
“Ya, tunggu aku,” kuiyakan permintaannya tanpa berpikir panjang.
“Kutunggu di tempat biasa.”
“Ya, aku akan segera ke sana.”
Telepon ditutup terdengar. Hatiku semakin gelisah.

“Bu, maaf ya, saya ada panggilan mendadak. Ibu boleh kemari lagi kapan saja. Walaupun saya tidak di sini, ibu bisa berkonsultasi dengan rekan-rekan saya.”
“Ini juga sudah malam kok Nak. Nanti ibu akan kembali lagi, kalau bisa dengan anak ibu.”
“Jangan segan-segan ya Bu.”
“Terima kasih loh, saya sudah diberitahu sedikit mengenai aturannya.”
“Belum seberapa Bu, maaf harus terhenti seperti ini.”
“Saya permisi dulu.”
“Silahkan.”

BAB 17 HARDI

Sudah seminggu ini aku ada kegiatan baru. Ya apa lagi. Nongkrong di warung tenda Cilaki. Nggak makan sih. Cuma duduk-duduk dibawah pohon. Untuk mengusir kebosanan aku membawa novel tentunya. Ini hari yang kelima.

Empat hari tanpa hasil. Mungkin ia tak sesering itu main ke sini. Bagaimana kalau ternyata hanya sebulan sekali. Bah, paling tidak aku harus menunggunya sampai dua minggu lagi. Mudah-mudahan tidak. Dari keterangan yang kukumpulkan dari pedagang dan tukang parkir situ, katanya, datangnya tidak tentu. Dulu si non, sapaan mereka kepada Dwina, cukup sering ke situ, bersama dengan pacarnya, naik motor. Mereka ingat betul sebab pernah ada sedikit insiden lucu. Si non, pernah kalah taruhan sama pacarnya, dan sebab itu ia harus jadi tukang parkir! Si non gelagapan, tapi toh akhirnya biasa juga. Sejak itu mereka kenal dengan para tukang parkir di sekitar situ dan saling bertegur sapa. Tapi, menurut keterangan mereka juga, sudah sejak beberapa lama, si non sudah agak jarang ke situ. Datangnya tidak tentu. Masih sering dengan pacarnya. Kadang dengan teman-temannya. Tidak bisa ditebaklah pokoknya.

Ya, hari kelima. Hari ini aku membawa novel Frederick Forsyte. Biar nggak terlalu terbawa perasaan. Lumayan baca bacaan tegang untuk mengendurkan urat syarafku. Kubiarkan diriku hanyut dalam perseteruan antar mata-mata dan antar negara. Paling tidak aku bisa sedikit melupakan masalahku.

Novelku sudah habis, habis dalam lima malam. Kupandangi tamu-tamu warung di situ sebagai ganti pengusir bosan. Kebanyakan mereka datang berdua. Tujuh puluh persen. Entah berdua dengan pacar atau selingkuhan atau simpanan aku tidak tahu, dan lebih tepat lagi aku tidak peduli. Ada yang mesra ada juga yang sedikit cuek. Yang mesra bahkan ada yang sampai sepiring berdua, bahkan sesendok berdua. Romantis, tapi tidak higienis. Mudah-mudahan saja mereka sudah check-up. Kalau tidak, selamat, Anda tertular Hepatitis-B! Ada sebagian lain yang datang beramai-ramai, termasuk bersama keluarga. Biasanya rombongan mahasiswa atau pelajar. Orang kantoran kadang-kadang, lebih sedikit porsinya. Kumpulan ini kurang lebih memenuhi dua puluh persen. Sisanya datang sendiri. Kelompok yang terakhir ini tipikal. Membawa backpack, dan biasanya ditemani buku bacaan. Garpu di tangan kanan, dan buku di tangan kiri, kalau ia tidak kidal. Kalau mereka tidak sedang tenggelam dalam bacaannya, mereka mengamati sekitarnya. Beberapa orang bertemu pandang denganku dan sempat saling melontarkan senyum, menyadari kehadiran masing-masing.

Malam ini ia juga tak datang.

BAB 16 X-FILE EPISODE

Mulder : Scully, are you alright?
Scully : Uh…
Mulder : Where does it hurt?
Scully : Ah, my head…
Mulder : Let me see…
Scully : Thank God you’re here.
Mulder : You know that I’ll never leave you…
Scully : Help me, I cannot get up.
Mulder : Hold on my hand, come on.

And Mulder held Scully in his arm and took her out of the trench. She passed away again.

Mulder : Scully, hold on.
Scully : Mulder, is that you…
Mulder : Yes, don’t worry. I’ll stay with you.
Scully : Hold me, I’m cold.

And Mulder held her in his arm and wrapped her using his jacket.

Mulder : Don’t worry. They’ll be here soon. I’ve contact the headquarters.
Scully : …
Mulder : …
Scully : Fox, don’t leave me…
Mulder : Dana, I’ll never leave you.
Scully : How did you find me out there? The fog is very thick.
Mulder : Dana, I always know where you are.
Scully : Is that so?
Mulder : Yes.
Scully : How can you do that?
Mulder : Dana, because I care for you.
Scully : Fox…
Mulder : Just try to sleep, don’t talk too much.
Scully : Fox, you put yourself in a lot of trouble just for me.
Mulder : Don’t think too much.
Scully : Fox, do you love me?
Mulder : Of course.
Scully : As man and woman.
Mulder : (quiet)
Scully : Fox…
Mulder : I don’t know. I just don’t want you to get hurt.
Scully : What am I to you?
Mulder : My partner. We are one. We depend on each other.
Scully : Does it mean that you don’t love me as man and women?
Mulder : I don’t know, Scully, I just don’t know… It’s too complicated.
Scully : What do you mean?
Mulder : Sometimes, we, human, are more complicated than the alien that we chase.

BAB 15 DWINA

Obatku sudah hampir habis. Sore esok aku harus membuat janji dengan dokter. Ah, ke dokter lagi, ke dokter lagi. Paling tidak masih empat bulan lagi. Masih lama. Bosan aku makan obat terus. Warna-warni obat-obatku yang seperti permen tidak menolong. Tetap saja itu obat. Tablet salut gula juga tidak banyak menolong. Memangnya aku anak kecil yang bisa ditipu kalau itu permen. Kadang kala aku berpikir apakah temuan teknologi farmasi seperti itu benar-benar berguna.

“Dok, ini Dwina.”
“Ya, Dwina, obatmu sudah habis yah...,” terdengar suara yang manis di ujung telepon.
“Iya nih dok, udah bosan nih makan obat melulu.”
“Dwina, yang sabar nak.”
“Tapi sudah jenuh dok.”
“Kamu harus sembuh. Ingat orang-orang yang menyayangimu,” bujuknya seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya.
“Nggak ada yang sayang padaku dok.”
“Jangan bilang begitu, kedua orang tuamu masih menyayangimu.”
“Ah, itu sih karena kewajiban saja dok. Takut dilaknat Tuhan karena menelantarkan anak. Mereka tidak menyayangiku karena mereka benar-benar sayang. Cuma terpaksa karena aku mbrojol keluar dari rahim ibuku.”
“Hei, jangan bicara begitu, nanti kualat lho,” katanya bernada tegas.
Iya, satu-satunya hal yang membuat aku tidak berani terang-terangan menghujat kedua orang tuaku hanyalah takut dilaknat Yang Maha Kuasa.
“Besok, kita ketemu jam lima sore yah,” nadanya masih nada membujuk.
“Ya dok, dokter sudah rindu sama aku yang manis ini yah.”
“Ah kamu ini, istriku jauh lebih cantik darimu, anak kecil.”
“Siapa bilang aku ini anak kecil!” kataku sengit.
“OK sampai besok yah, masih ada pasien nih.”

Uh, dokter! Aku selalu dianggap seorang anak kecil. Mengapa ia tidak bisa menganggap aku sebagai seorang wanita dewasa. WANITA! Yang lengkap, bukan lagi anak kecil berdada rata. Sudah mahasiswa gini masih dianggap anak kecil. Memang sih, ia sangat telaten. Ia selalu sabar mendengarkan semua keluhanku. Tapi ya itu, ia sok jadi orang tua bagiku. Bedanya cuma ia jauh lebih perhatian dari orang tua asliku. Jauh!

BAB 14 HARDI

Aku tertidur. Terlalu lelah rupanya aku. Fisikku tak mampu mengimbangi jiwaku. Sekitar jam dua pagi aku terbangun. Masih diliputi perasaan bersalah. Aku tak bisa tidur kembali.
Aku pun bangun. Aku melangkah tak menentu. Keluar dari kamar. Keluar dari rumah. Mungkin aku butuh sedikit makan angin untuk mengembalikan akal sehatku. Aku pun ke depan, nongkrong di warung indomie terdekat.

“Indomie satu Bang!”
“Rebus apa goreng?”
“Rebus, pake telor, sayurnya yang banyak.”

Sambil menunggu indomie matang, aku masih terus melamunkan peristiwa tadi malam. Aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak bisa diam saja. Perasaan salah ini terlalu menyiksa. aku harus mencari jalan keluarnya. Mestikah aku ketemu Mbak Maria? Biasanya ia bisa membantu aku menjernihkan pikiranku. Ah, nggak perlu lah, persoalan sekecil ini saja! Tidak perlu lah merepotkan dia. Aku harus bisa mengatasinya sendiri.

Mie-nya sudah datang. Asap mengepul dari mangkuk yang masih panas. Baunya membangkitkan selera. Sayangnya seleraku sudah terbang entah kemana, enggan hinggap di mangkuk indomie yang panas. Untungnya malam ini tidak terlalu ramai. Aku bisa berpikir dengan tenang. Kuhirup uap panas dari mie, seolah hendak mengisap sarinya. Harumnya, seleraku sudah mulai bangun dari tidurnya.

Suapan pertama. Aku harus meminta maaf padanya. Entah bagaimana caranya. Aku tidak boleh menyalahi pakta yang sudah kubuat sejak aku kecil. TIDAK BOLEH MENYAKITI PEREMPUAN! Haram hukumnya!

Suapan kedua. Tapi bagaimana caranya. Nomor teleponnya aku tidak punya. Aku cuma tahu ia tinggal di asrama. Asrama yang mana. Ada bejibun asrama mahasiswa di Bandung. Memang aku tahu ia kuliah di mana dan jurusan apa dari jaket yang selalu dikenakannya. Tapi masak sih aku harus ke kampusnya. Bagaimana pun ia klienku dan aku konselornya. Yang bener aja!

Suapan ketiga. Aku harus cari cara lain. Apakah aku harus menunggu ia menelpon kembali ke biro? Memang itu adalah cara yang paling aman. Paling aman bagiku tentunya, entah bagaimana perasaannya. Tapi kalau ia betul marahan dan tidak mau lagi telpon ke biro bagaimana? Terlalu beresiko. Aku bisa kehilangan kesempatan, dan aku harus menanggung perasaan bersalah ini untuk waktu yang lama.

Suapan keempat. Aku harus menemui dia, tapi tidak boleh secara langsung. Aku harus mencari tempat yang lebih netral. Di mana tempat itu? Di mana…

Suapan kelima. Aku tahu. Aku bisa nongkrong di warung tenda langganannya. Dan pura-pura tidak sengaja bertemu dengannya. Ya, kupikir itu pilihan yang tepat. Kesannya kebetulan dan tidak dibuat-buat.

Suapan terakhir. Tapi apakah ia mau menerima permintaan maafku. Aku sendiri masih bingung, memangnya aku salah apa. Ah, sudahlah. Kita lihat saja nanti. Timing-nya kupikir harus cukup tepat. Mungkin aku harus menunggu paling tidak seminggu. Menunggu semuanya reda. Ada baiknya begitu. Selama seminggu itu pula aku harus menahan perasaan bersalah itu. Anggap saja itu adalah hukuman bagiku. Bayaran yang setimpal, supaya aku lain kali lebih dapat menahan diri untuk tidak menyakiti perempuan.

Tegukan air putih segelas. Kuputuskan begitu. Kutunggu seminggu. Dan aku akan nongkrong setiap malam di sana, moga-moga ketemu dengan dia.

Sunday, June 05, 2005

BAB 13 HARDI

Aku tidak bisa tidur lagi malam ini. Sejak dari angkot sampai di ranjang, aku tidak bisa mengampuni diriku. Apa yang telah kuperbuat padanya. Salah apa aku padanya. Perasaan aku malah belum berkata apa-apa. Mengapa ia langsung menarik diri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? …

Pertanyaan terus mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Aku tak bisa tidur…


“Hardi! Hardi!” teriak temanku.
“APA!” teriakku tak kalah kerasnya.
“Ngebakso yuk?” ajaknya bernada lapar.
“Tunggu bentar, hampir game nih,” aku masih berkonsentrasi pada permainan kelerengku.
“Cepatlah, bentar lagi masuk.”
“Nggak apa-apa telat-telat dikit. Pelajaran IPA, Pak Darwin pasti telat masuk lagi,” kilahku.
“Terserahlah, susul nanti yah.”
“OK boss,” jawaban anak-anak sok kebule-bulean, meniru film barat yang baru ditonton di bioskop waktu pertunjukan minggu matinee.
Kuteruskan permainan kelereng yang memang sudah hampir selesai. Tinggal menunggu pukulan terakhir.
“Kena!” aku langsung berlari mengemas kelerengku dan berlari ke warung bakso kesayanganku.
Saking terburunya aku menabrak seseorang. Gubrak! Aku jatuh, semua kelereng dalam kantongku tumpah berceceran. Aku tidak langsung marah dan naik pitam, karena itu memang bukan gayaku. Lagi pula kayaknya aku yang salah, aku yang menabrak. Sedikit meringis kulihat siapa yang kutabrak. Seorang gadis kecil kakak kelasku. Ia berbeda dengan gadis yang lain, ia sudah “dewasa”. (Tentu saja waktu itu aku belum mengerti bahwa ia sudah haid dan oleh karena itu ia “agak berbeda” dengan teman-teman putriku yang lainnya. Aku sudah lupa sekarang bagaimana raut wajahnya dulu.)
“Maaf, nggak sengaja, lagi buru-buru ke tukang bakso. Sudah hampir habis jam istirahat.”
“Nggak apa-apa Di, aku tahu kok kamu nggak sengaja,” jawabnya manis.

Yah, aku terkenang lagi sebuah kenangan di masa kecilku. Sebuah kenangan yang sudah lama terpendam di alam bawah sadarku. Entah mengapa perasaan itu muncul kembali. Perasaan yang sama yang kualami sepuluh tahun yang lalu. Perasaan yang hanya muncul sekali, namun merasuk dalam sanubariku.


“Ciee…, Hardi ada yang naksir nih ye…”
“APAAN!” teriakku gusar.
“Itu tuh yang tabrakan kemarin, enaaaaaak…” gurauannya semakin tidak lucu.
“Apanya yang enak, tabrakan itu sakit goblok!”
“Tapi kan jatuhnya empuuuuuk.”
“Terus kenapa? Dia itu udah gede. Nggak boleh pacaran sama perempuan yang lebih gede,” otakku pintar memutar alasan untuk membela diri.
“Tapi suka kaaaan…” godaannya semakin menjadi.
“Pokoknya aku nggak naksir dia!” jawabku sengit.
“Tapi dia bilang dia suka kamu lho…”
“Wah, kurang ajar nih, mesti dijelaskan nih!”
Aku langsung beranjak dari bangku menuju kelasnya. Kucari dia. Aku gusar. Dia seenaknya menebar gosip kalau ia suka sama aku. Masak sih cuma tabrakan sekali saja sudah dianggap suka. Keterlaluan nih!
Begitu ketemu orangnya langsung aku tanya.
“Kamu bilang ke anak-anak kalau kamu suka aku yah?”
Teman-teman langsung mengerubut dari belakang seperti wartawan majalah gosip sedang meliput pasangan selebriti yang sedang diklarifikasi.
Ia bukannya marah, eh, malah tersenyum.
“Kamu itu lucu…,” katanya tidak menjawab pertanyaanku.
“Aku tidak lucu!” kataku sengit.
“Kamu mungkin cocok jadi pacarku!”
Langsung darahku naik. Tak sadar kuambil kantong kelerengku dan kuhempaskan sembarangan. Kelerangku tak segaja melayang ke arahnya, mengenai pelipisnya. Berdarah…
Ia langsung berlari, tapi tidak menangis. Mukaku memerah menahan rasa marah dan malu. Benar-benar situasi yang tidak mengenakkan. Kelerengku tersebar ke sana kemari tanpa ada yang peduli. Dalam kondisi biasa anak-anak pasti sudah berebut mengambilnya. Tapi tidak sekarang. Semua tertegun.
Aku pun lari, kuambil tasku dan langsung pulang, aku bolos hari itu.

Perasaan yang sama. Perasaan bersalah yang dalam. Bedanya waktu itu aku masih kecil dan membuat sebuah kebodohan anak kecil. Gengsi, malu ditertawakan punya pacar. Malu ditertawakan teman-teman. Amarah bercampur gengsi telah membuat aku menyakiti seorang perempuan.


Keesokan harinya aku masuk sekolah dengan sedikit harap-harap cemas. Peristiwa kemarin tidak kuceritakan kepada kedua orang tuaku. Aku berjanji akan menanggung semuanya sendiri, bila dipanggil ke ruang kepala sekolah hari ini. Aku adalah anak laki-laki! Dan seorang laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Aku akan maju sendiri.
Jam istirahat sudah tiba. Panggilan yang kuharapkan tidak kunjung tiba. Apakah ia tidak melaporkan aku ke kepala sekolah? Atau pulang sekolah nanti mungkin. Hari itu terasa begitu panjang. Jam istirahat ke dua aku juga tidak dipanggil. Seberuntung itukah aku lolos begitu saja. Aku seakan tidak percaya. Tapi aku tetap saja tidak merasa lega. Bagaimana pun aku telah melukainya. Sengaja atau pun tidak sengaja, akulah yang melukainya. Aku lebih baik menerima hukuman atas kesalahanku ketimbang harus memendam rasa bersalah di dalam hati.
Pulang sekolah aku tak kunjung di panggil. Bahkan bolosku kemarin pun tidak dipersoalkan. Teman-teman pasti telah menutupi kesalahanku dengan berbohong. Aku berjalan pulang dengan lunglai, masih diliputi oleh perasaan bersalah. Kulihat ia berjalan mendekat ke arahku. Aku tertunduk tak berani mendekat juga tak berani menjauh. Aku bagaikan seekor anjing yang sedang dimarahi tuannya.
“Di, aku nggak marah kok. Aku tahu kamu nggak sengaja. Aku juga tahu kamu begitu karena malu.”
Aku masih diam. Tak berani bernafas.
“Sudahlah, kakak maafkan. Nggak apa-apa kok lukanya. Cuma kegores sedikit. Nih lihat, nggak apa-apa kok. Sudah ditempel Handyplast.”
Kuberanikan diri mengangkat wajahku untuk melihat bekas lukanya. Syukurlah memang tidak apa-apa. Untung saja mengenai pelipis. Bagaimana kalau mengenai kedua bola matanya?
“Maafin aku yah…,” aku minta maaf sambil menelan ludah, “aku benar-benar nggak sengaja. Aku malu banget kalau kalau dibilang pacar kamu.”
“Ah, sudahlah. Kakak benar-benar nggak marah kok. Lagi pula siapa yang mau jadi pacar kamu. Kamu kan masih kecil.”
Aku jadi tersenyum malu.
“Kalau kamu sudah besaran dikit mungkin kakak mau…”
Lho…!

Sejak peristiwa itu akan berjanji tidak akan menyakiti perempuan. Aku akan bertindak hati-hati, karena perempuan adalah makhluk yang lembut, yang harus dilindungi. Mereka akan kujaga, seperti aku menjaga ibuku. Tapi apa daya, aku baru saja melukai perasaan perempuan lagi. Dan yang lebih tololnya, aku tak tahu bagaimana cara aku melukainya! Apa salahku? Dan apa yang harus kulakukan untuk menebusnya.

Aku tak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku.

BAB 12 DWINA

Aku berlari masuk ke angkot yang mengarah asramaku. Mataku terasa penuh dengan air mata, tapi kutahan sebisa mungkin supaya tidak keluar. Ternyata ia sama saja dengan laki-laki lain. Ia sama saja dengan Steve. Mengapa semua laki-laki seperti itu. Aku tidak butuh diingatkan kalau aku sedang sedih. Mestinya mereka tahu itu? Buat apa sih bertanya: sedang sedih ya sayang, kenapa menangis, kenapa bersedih, kok murung dan sederet pertanyaan lainnya. Mengapa sulit sekali buat kaum lelaki untuk mengerti kalau kami tidak butuh kata-kata seperti itu. Kami, kaum perempuan hanya butuh perhatian mereka, bukan pertanyaan interogasi mereka.

Selama di angkot, aku tidak lagi sadar akan apa yang terjadi di sekitarku. Hanya ada kesedihanku. Setiap pohon yang kulewati seakan mengejekku. Lihat aku bisa berdiri tegar sendiri, kata mereka. Kau tak bisa! Kau butuh orang lain, untuk mendengarkanmu. Kau butuh teman hidup. Kau lemah! Benci! Aku benci sekitarku. Mereka semua tidak ada yang memahami aku. Dan yang paling kubenci dari semua adalah kau, Steve.

Mengapa dulu kau datang padaku sebagai seorang penyelamat. Aku tidak meminta kau untuk mencintaiku. Kau lah yang pertama kali datang menawarkan cintamu padaku. Waktu itu kau tahu betul bahwa aku baru putus dengan pacarku yang sebelumnya. Kau dekati aku dengan sangat lembut sehingga aku sama sekali menaruh curiga padamu.


“Dwina, kapan kau mau datang ke acara himpunan. Kita mulai acaranya jam tiga sore.”
“Mungkin aku akan sedikit terlambat. Suster asrama ngasih tugas ke aku.”
“Kalau begitu kutunggu kau di depan asrama, supaya begitu selesai kita bisa berangkat langsung naik motor.”
“Nggak usah Steve, ngerepotin kamu.”
“Nggak apa-apa, aku cuma nggak mau kamu terlambat. Nggak enak acaranya dimulai kalau nggak bareng. Kamu kan salah satu panitianya.”
“Nggak apa-apa kok Steve. Aku bisa datang sendiri. Nggak apa-apa kok aku terlambat, sungguh!”
“Bener nih, nggak apa-apa, kamu kan biasanya suka marahan kalau flow acaranya nggak sesuai dengan keinginan kamu.”
“Nggak, suwer deh,” kataku dengan sedikit kesal.
“Bener yah, nggak marah. Jangan nanti anak-anak kena semprot kamu seperti kejadian sebulan yang lalu,” katanya sedikit sok manis.
“Iya, percaya deh, sudah berangkat duluan sana, cek dekornya sudah siap atau tidak.”

Awalnya ia memang sangat perhatian. Tidak seperti pacarku sebelumnya. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Ia selalu sabar menghadapiku. Meskipun awalnya aku selalu tidak pernah memperhatikannya, lama kelamaan aku mulai merasa nyaman bila ia berada di dekatku. Kadang aku berpikir mengapa ia bisa begitu sabar menghadapiku. Aku tidak pernah berlaku manis dihadapannya. Dan itu bukan kulakukan dalam waktu yang singkat. Setahun kubiarkan engkau mengikutiku seperti seekor anjing setia. Ya, meskipun kadang kupikir aku keterlaluan memperlakukan engkau seperti anjing peliharaanku. Kadang aku membuatmu menungguku sampai lama waktu yang tidak manusiawi.



“Steve, sudah kubilang tidak usah kujemput aku. Urusanku dengan suster belum selesai.”
“Nggak apa-apa, aku sudah bilang ke teman-teman kita akan terlambat.”
“Steve, kamu bukan asisten pribadiku. Kamu nggak usah ikut kemana pun aku pergi. Sudah kubilang aku masih jalan sama Mas Nardi. Nggak ada gunanya kamu berlaku manis denganku seperti ini. Kamu nggak akan kutanggapi.”
“Dwina, Dwina… Siapa yang mau mengharapkan hatimu. Aku cuma nggak mau kamu terlambat saja ke acara himpunan. Acara itu kan sudah kamu persiapkan sejak bulan lalu. Dan aku tahu pasti kalau kamu pasti marah-marah kalau ada yang nggak beres. Aku cuma nggak pengen itu terjadi.”
Kata manisnya begitu membuai sehingga aku benar-benar berpikir kalau ia memang benar-benar perhatian tanpa mengharap balas sama sekali dariku.
“Terserah kamulah. Tunggu sampai aku keluar, aku nggak janji lho akan keluar jam berapa.”
“Iya, tuan putri, hamba akan menunggu tuan putri sampai tuan putri siap untuk berangkat.”
Ia masih punya waktu untuk menggodaku. Senyumnya yang innocent itulah yang kadang-kadang membuat aku nggak tahan.


Waktu terasa berjalan begitu perlahan. Kok masih lama sekali perjalanan ke asramaku. Mengapa sampai waktu pun tidak berpihak kepadaku. Kenapa kau panjangkan durasi luka di hatiku. Kenapa tak cepatkan detak detikmu. Biarlah semuanya cepat berlalu karena kutahu waktu adalah penyembuh lara yang paling mujarab. Wahai Sang Waktu, janganlah kau bersekongkol dengan Sang Nasib. Sudah cukup derita yang ditorehkan oleh saudaramu di batinku. Tolonglah bekerja sama denganku sedikit saja. Hanyutkanlah aku dalam dirimu. Buailah aku seperti angin. Biarkan aku larut, aku ingin larut. Aku tak ingin lagi diam dalam kekinian yang penuh nestapa ini. Ini bukan waktuku. Tuhan, ini bukan waktuku. Entah sudah lewat atau belum tiba aku tidak tahu, tapi yang jelas ini bukan waktuku.

Akhirnya aku sampai di gerbang asramaku. Kubayar angkot segera, dan seraya berlari aku turun. Kupijit bel seliar-liarnya, supaya mereka membukakan pintu secepatnya. Aku tahu sekarang sudah malam, tapi aku tak peduli. Kenapa pula aku harus peduli dengan mereka sedangkan mereka tidak pernah peduli denganku.

“Kenapa sih kamu Dwin, sudah malam gini! Emang ini rumahmu apa sampai mencet bel seperti itu,” seniorku mendampratku.

Tapi aku tak peduli. Aku toh tidak memperlihatkan air mataku di hadapan mereka. Air mataku terlalu berharga untuk kutumpahkan di depan mereka. Aku berlari menuju kamarku. Kulepaskan jaketku, dan kulempar sembarangan. Langsung aku menuju kotak kecil penyimpan obat di meja belajarku. Kukeluarkan botol obat tidur. Sempat aku tergoda untuk menenggak semuanya. Kupikir mungkin saatnya aku akhiri semuanya. Mudah sekali bukan, setenggak keabadian, tidur yang abadi. Hanya saja aku masih takut dengan kematian. Bukan rasa sakitnya yang aku takuti, tapi kesendiriannya. Bagaimana kalau saat kita mati kita benar-benar sendiri. Bukankah kesendirian adalah hal yang paling aku takuti. Mungkin neraka bukanlah pilihan yang mengerikan bila di sana kita tidak sendirian. Akhirnya kutelan dua buah, dua kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Aku butuh dosis lebih malam ini. Tuhan pun tahu itu. Oh, Morpheus , belailah aku, aku ingin kau buai sejenak, lepaskan aku dari kekinianku saat ini. Ajaklah aku menyelami sedikit keabadianmu. Mainkanlah harpamu, petikkan senarnya, kalahkan detak waktu yang menjeratku di kekinian ini. Biarkan dawaimu menggulung aku dalam lautan letargimu.


Bab 11 HARDI & DWINA

Kustop angkot pertama ke arah Cilaki yang pertama kutemui. Tanpa banyak pikir aku naik dalam angkot yang tinggal menyisakan satu tempat duduk dalam formasi 4-6. Aku merasa sedikit gembira dan tersanjung karena terpancing dengan makan gratis. Kapan lagi kupikir? Selama ini aku tidak pernah ditraktir klien. Meskipun sebenarnya ini dilarang tapi kupikir sekali-kali nggak apa-apa lah. Cuma sepiring steak kok, bukan apa-apa.

Tak berapa lama aku naik baru aku sadar. Loh kok kayaknya ada yang aneh. Yang duduk di sebelahku semua kok dandanannya menor-menor semua. Setelah kuperhatikan lebih lanjut, aku baru sadar, aku seangkot dengan bencong semua! No offense. Bukan berarti menyinggung, cuma rasanya aneh saja. Lagi pula inilah cara mereka mencari nafkah. Aku hanya berusaha untuk tidak menghakimi, itu saja. Belakangan aku baru sadar bahwa untuk tidak menghakimi bukanlah perkara yang mudah. Kita, manusia fana yang cuma secuil ini, selalu sok alim, sok baik di muka Tuhan maupun manusia. Kita selalu merasa diri kitalah yang paling benar, yang lain salah semua. Anak-anak kita kelakuannya tidak pernah benar. Mereka seharusnya lebih rajin, lebih sayang kepada orang tua. Orang tua kita juga tidak pernah benar. Mereka seharusnya lebih perhatian, pulang kerja lebih sore, memberi uang jajan lebih banyak. Suami kita tidak pernah benar, mestinya ia berpenghasilan lebih besar, tidak sering dinas keluar kota, tidak pernah lupa hari ulang tahun perkawinan. Istri kita tak pernah benar, selalu marah-marah, tidak pernah dandan, mengejar karir melulu sehingga melupakan suami. Pacar kita tidak pernah benar, matanya masih suka ngelirik yang lain, janjian suka mungkir, berantem melulu bawaannya. Tetangga kita tidak pernah benar, mereka suka sok tahu, iri hati kalau kita membeli barang baru, tidak mau memotong dahan yang menjulur ke rumah kita. Guru kita tak pernah benar, selalu memberi banyak pe er, suka mukul, kerjanya jualan buku tapi sering bolos. Murid kita tak pernah benar, selalu terlambat, kerjanya cuma bisa mencontek saja, seragam tidak pernah dimasukkan. Kucing kita bahkan juga tidak pernah benar, malas menangkap tikus, tahunya hanya mencuri makanan. Dan daftar ini terus bertambah, presiden, menteri, polisi, tentara, pedagang, sopir, paman, bibi, kakek, nenek, pembantu, dan lain-lain, dan lain-lain, dan di atas itu semua itu tentu saja Tuhan. Tuhan tidak pernah mengerti kita. Kita sudah shalat, sembahyang, baca kitab suci, doa rosario, novena, puasa, mati raga, ziarah, naik haji, memberi zakat, perpuluhan, ke gereja, mesjid, kelenteng, kuil, pura, vihara, sinagoga, apa pun namanya tapi nasib kita seperti begini-begini saja.

Ah, tak terasa sudah sampai di dekat Cilaki, tinggal berjalan kaki sedikit saja. Perasaan tidak enak tiba-tiba menyelimuti perutku. Apakah ini pertanda buruk atau malah baik? Kulayangkan pandanganku sedikit was-was seakan takut tidak akan bertemu dengannya. Hei, kenapa aku tiba-tiba takut tidak bertemu dengannya! Bukankah di antara kami tidak ada hubungan apa-apa. Apakah aku telah melewati batas dengan menembus batas emosional konselor dan klien yang seharusnya memang tidak kulewati? Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri tenda-tenda penjual makanan di Cilaki. Belum terlihat batang hidupnya. Aku mencoba menghibur diri dengan berpikir seandainya pun ia tak datang aku tidak akan terlalu kecewa. Siapa tahu ia ada halangan, ada keperluan lain yang mendadak. Mungkin tiba-tiba ia mendadak ada urusan dengan teman-temannya. Atau… ia ada janji mendadak dengan cowoknya. Loh, kok aku cemburu? Memangnya aku siapa? Wah, kacau nih. Pertahananku sudah mulai bobol, aku harus menyusun kembali semua pertahananku. Mudah kok. Aku dari dulu sudah terlatih untuk itu. Teknik kompartementalisasi perasaan. Sebuah perasaan ditempatkan ke dalam sebuah kompartemen, yang tidak boleh dicampurkan dengan perasaan induk yang menjadi sumber energi kita. Tidak apa kita merasa sedih atau cemburu, yang penting adalah tidak mencampurkannya dengan perasaan inti kita. Perasaan itu boleh saja hadir, tapi langsung diisolasi. Aku merasa lebih baik sekarang.

Sudah sekitar lima menit aku celingak-celinguk di sana dan tidak melihat bayangannya. Perasaan was-was mulai berganti dengan perasaan lega. Kalau ia tak datang pikirku, aku malah tidak akan terjerumus terlalu jauh ke dalam perasaanku. Kuputuskan dalam lima menit lagi kalau ia tak datang, aku akan pulang. Satu-satunya yang kusesali hanya acara makan-makan yang tertunda.

Satu menit lagi aku akan pulang. Sudahlah kupikir, mungkin sedang tidak rejeki. Sebuah angkot berhenti tepat di depanku. Beberapa orang penumpang turun. Mulanya aku berharap ada dia di antara mereka yang turun. Orang pertama, orang kedua, orang ketiga, dan orang ke empat. Ia tidak ada di dalam angkot itu. Kukuatkan niatku untuk pulang. Sudah terlalu lama aku menunggu.

Baru saja aku naik angkot kembali ke tempat kosku, aku melihat ia sekelebat berlalu. Ia baru turun dari taksi. Cepat-cepat aku turun dari angkot dan minta maaf pada sopirnya.
“DWINA!” teriakku.
Ia langsung membalik dengan senyumnya yang mengembang. Duh, manisnya…
Sedikit perasaan lega bergulir di dadaku. Paling tidak ia menempati janjinya.
“Kau baru datang?”
“Ya baru saja,” kataku berbohong.
Ia langsung menarik tanganku tanpa aba-aba. Aku yang tidak siap sempat sedikit tersentak, dan ragu. Setelah tersadar, aku hanya bisa menurutinya, tidak ingin menyakiti hatinya. Bahkan aku tak tega berbohong kalau aku sudah menunggunya cukup lama, dan sudah akan pulang. Aku yakin ia pasti punya alasan untuk datang terlambat.
“Kita kemana?”
“Ikut saja, percaya deh sama aku,” katanya setengah memerintah dengan nada ceria.
Andaikan aku bisa seceria dia, dengan pikiran yang dipenuhi dengan banyak skenario di otakku.
“Sorry yah, kelamaan, kupikir kamu sudah nunggu lama, tadi temanku nelpon, nanyain tugas.”
“Angkotku juga kelamaan ngetem di simpang,” kukarang sebuah cerita.
“Kalau gitu pas bener yah, jadi kamu nggak nungguin aku.”
“Yah.”

Tak lama kemudian kami sudah duduk berhadapan di sebuah tenda sederhana. Warung tenda yang sebenarnya biasa-biasa saja, yang aku tidak tahu keistimewaannya dibandingkan dengan warung tenda yang lainnya. Langganannya kali.
“Mau makan apa?”
“Waduh nggak tahu, nih, kamu makan apa?”
“Ini aku kasih tahu, kalau tenderloin itu lebih lembut, kalau sirloin itu lebih kenyal, kalau T-bone bertulang dengan sedikit tenderloin, mirip rib.”
“Rib tulang iga maksudmu?”
“Iya lah, kamu ngerti Bahasa Inggris kan?”
Sok pintarnya keluar lagi. Tapi entah mengapa aku selalu berpikir untuk mengalah padanya. Apa karena ia masih berstatus sebagai klienku? Atau karena aku melihat sesuatu yang memaksa aku untuk jatuh kasihan padanya?
“Aku mesen T-bone saja.”
“Pak, T-bone dan tenderloin, sama milk-shake, o ya kamu minumnya apa?”
“Es teh lemon.”
“Satu ice lemon tea ya Pak.”
Sambil menunggu pesanan tiba, ia memasang lagi muka manisnya dengan gigi berkawatnya.
“Makasih ya, mau dateng nemenin aku.”
“Sama-sama, aku juga terima kasih sudah ditraktir.”
“Ah nggak apa-apa, murah kok.”
“Tapi aku tetap saja nggak sanggup, maklum anak kos, pas-pasan.”
“Ya, pas lapar pas ada yang nraktir,” godanya.
Kupaksakan sedikit untuk tersenyum.
“Katanya lagi bete…,” aku berbalik menggodanya.
Mukanya langsung berubah sejenak. Aku jadi sedikit menyesal mengungkit masalah betenya. Ia menghela nafas panjang. Matanya sedikit menerawang.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,” cepat-cepat aku minta maaf.
Ia masih diam, membisu.


Cukup lama kami saling diam, sampai pesanan datang. Ia pun makan sambil diam. Sungguh suasana yang sangat tidak mengenakkan. Siapa yang akan tahan akan keadaan seperti ini. Kalau ia ingin marah, marahlah. Semprotlah aku. Itu akan jauh lebih baik ketimbang diam seperti ini. Aku benar-benar kehabisan akal. Aku ingin membujuknya, namun aku takut kalau kata-kataku malah akan membuat keadaan semakin parah. Yang terdengar hanya denting pisau dan garpu kami ditambah obrolan orang di sekitar kami. Ya, kami makan sambil diam sampai selesai.

Selesai makan ia pun membayar dan langsung pulang tanpa menyapaku sama sekali. Ia pun berlalu meninggalkan aku yang masih bingung memikirkan kesalahan apa yang telah kuperbuat.